Dunia perguruan tinggi kita heboh lagi. Untuk kesekian kalinya, kinerja para profesor menjadi perbincangan. Yang memicunya kali ini adalah Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 20 Tahun 2017 yang “mengancam” pemberhentian tunjangan kehormatan bagi para profesor yang tidak produktif.
Permenristekdikti itu menyatakan bahwa tunjangan akan dihentikan sementara jika sang profesor tidak menghasilkan sedikitnya satu karya ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal internasional bereputasi atau tiga karya ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal internasional terindeks dalam kurun waktu tiga tahun. Untuk bidang tertentu, karya ilmiah tersebut dapat digantikan dengan paten, karya seni, atau desain monumental.
Permenristekdikti ini sebetulnya tidak terbit tiba-tiba. Sebelumnya, ada Permendikbud Nomor 78 Tahun 2013 yang mengatur pemberian tunjangan profesi dan tunjangan kehormatan bagi profesor beserta dengan “ancaman” pemberhentiannya. Dalam permendikbud itu, selain kewajiban menghasilkan karya ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal ilmiah bereputasi, para profesor diwajibkan pula menulis buku yang akan dievaluasi oleh Ditjen Dikti setiap lima tahun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dirunut lebih jauh ke belakang, ada Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2009 perihal tunjangan profesi guru dan dosen, tunjangan khusus guru dan dosen, serta tunjangan kehormatan profesor yang diterbitkan untuk melaksanakan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Berdasarkan UU inilah, guru dan dosen (PNS maupun non-PNS) yang telah memenuhi persyaratan diberi tunjangan profesi tiap bulan.
Selain itu, para profesor yang memenuhi persyaratan sesuai peraturan perundang-undangan diberi tunjangan kehormatan. Dalam UU itu pula dinyatakan bahwa pemberian tunjangan kehormatan akan dihentikan jika sang profesor tak memenuhi persyaratan yang ditentukan.
Beberapa usulan
Lalu mengapa sekarang heboh? Dalam tulisan berjudul “Hantu Scopus” (Kompas, 21/2/2017), Deddy Mulyana mempermasalahkan sedikitnya dua hal. Pertama, terkait dengan kriteria jurnal ilmiah bereputasi yang oleh Kemenristekdikti diidentikkan dengan jurnal yang terindeks oleh pemeringkat internasional seperti Web of Science dan Scopus serta punya impact factor lebih besar dari nol menurut Web of Science atau serendah-rendahnya termasuk kuartil tiga (Q3) menurut Scimagojr.
Kedua, terkait bentuk output ilmiah yang dihasilkan. Menurut Deddy, buku teks berkualitas harusnya diperhitungkan juga. Dalam Permendikbud No 78/2013, profesor memang diminta menulis buku. Namun, jika mengacu pada permendikbud itu, kewajiban menulis buku merupakan kewajiban tambahan selain menghasilkan karya ilmiah yang diterbitkan di jurnal bereputasi.
Menyoroti permasalahan ini, Terry Mart (Kompas, 28/2/2017) mengusulkan jalan tengah berupa kewajiban menghasilkan karya ilmiah yang diterbitkan di jurnal bereputasi atau buku yang berkualitas. Alih-alih menghentikan tunjangan kehormatan, Syamsul Rizal (Kompas, 2/3/2017) mengusulkan agar Kemenristekdikti memberi insentif tambahan bagi profesor yang produktif.
Protes dan seruan dari sejumlah profesor diperkuat oleh Forum Senat Akademik Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum dengan beberapa usulan revisi yang perlu dilakukan Kemenristekdikti terkait pemberian tunjangan kehormatan bagi profesor.
Pertama, evaluasi tunjangan kehormatan profesor dilaksanakan setiap 5 tahun dan dievaluasi untuk pertama kali pada 2018 dengan tetap memperhitungkan karya-karya ilmiah yang dihasilkan sejak 2013 sekaligus menyusun petunjuk teknisnya sesuai Permendikbud Nomor 78 Tahun 2013 juncto Nomor 89 Tahun 2013.
Kedua, memberlakukan bentuk insentif berupa maslahat tambahan sesuai Pasal 52 dan 57 UU No 14/2005, bukan berupa ancaman penghentian tunjangan profesi/tunjangan kehormatan. Insentif dapat diberikan kepada dosen yang menerbitkan/menghasilkan: (a) karya ilmiah nasional, internasional, dan internasional bereputasi; (b) buku nasional dan internasional; atau (c) karya teknologi atau seni yang bermanfaat bagi masyarakat sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 106 Tahun 2016.
Ketiga, menghapuskan keharusan menghasilkan karya ilmiah terpublikasikan pada jurnal nasional terakreditasi atau jurnal internasional, paten atau karya seni monumental/desain monumental bagi lektor kepala.
Keempat, kriteria jurnal internasional bereputasi merujuk pada Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit Kenaikan Pangkat/Jabatan Akademik Dosen dengan memberdayakan indeksasi ilmiah Indonesia.
Misi perguruan tinggi
Melalui tulisan ini, saya hanya ingin mengajak kita semua, terutama pemerhati perguruan tinggi , untuk merenungkan kembali misi perguruan tinggi dan peran para profesor yang berada di garis depan dalam melaksanakan tugas mulia sebagai agen transformasi dan pengembang iptek guna meningkatkan kualitas kehidupan bangsa.
Barangkali hanya di Indonesia ruang gerak perguruan tinggi dan kewajiban dosen diatur demikian rinci dan seragam. Bagi saya, mengatur kewajiban profesor serinci itu bak membuat peraturan bahwa para petani harus bertani. Dengan standar output yang begitu rendah (dibandingkan dengan tuntutan profesor di negara jiran sekalipun), sesungguhnya kita sedang mempermalukan diri sendiri. Namun, yang lebih menyedihkan adalah reaksi dari sejumlah profesor yang menawar standar output yang rendah itu.
Di mana sumber permasalahan sesungguhnya? Di beberapa tulisan terdahulu (dimuat harian ini), saya mengungkapkan berbagai permasalahan seputar perguruan tinggi kita. Terkait fungsi dan kinerja profesor yang sedang mencuat kali ini, kita mesti menengok kembali sistem perekrutan dosen dan kriteria kenaikan jabatan akademik dosen, khususnya pengangkatan profesor.
Seorang profesor semestinya diangkat karena ada misi perguruan tinggi yang diamanatkan kepadanya terkait pengembangan ilmu, bukan semata-mata karena yang bersangkutan telah memenuhi angka kum yang ditentukan. Namun, di negeri ini, ketika seseorang diusulkan menjadi profesor, urusan kum menjadi fokus perhatian unit terkecil di mana yang bersangkutan bekerja hingga kementerian. Energi begitu banyak dicurahkan, tetapi hasilnya begitu-begitu saja. Singkat kata, sistem yang dianut selama ini sesungguhnya tidak efektif atau bahkan gagal.
Dalam benak saya, Kemenristekdikti cukup mengatur peran dan output perguruan tinggi, khususnya PTN yang berada di bawah kendali dan pengawasannya serta mendukung pembiayaannya. Selebihnya, biarkanlah perguruan tinggi mengatur strategi dan mengelola sumber dayanya serta berlomba dalam menjalankan peran dan mencapai output-nya.
HENDRA GUNAWAN, Guru Besar Matematika FMIPA ITB, Bandung
——————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 Maret 2017, di halaman 7 dengan judul “Profesor dan PT”.