Lompatan Deduksi dalam Penyidikan

- Editor

Jumat, 13 Januari 2017

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

TAK sedikit yang tahu, banyak berita acara pemeriksaan (BAP) disangkal dalam sidang-sidang pengadilan Indonesia setelah terdakwa mengungkapkan pengakuan mereka dibuat di bawah tekanan pemeriksa.

Namun sedikit yang tahu, banyak pula BAP gugur –masih dalam sidang-sidang pengadilan Indonesia– karena kesemberonoan pemeriksa, atau karena dibuat berdasarkan skenario yang ada di benak pemeriksa, bukan berdasarkan kesimpulan ketat dari data yang ditemukan di lapangan atau di tempat kejadian perkara.

Pakar identifikasi Djaja Surya Atmadja DSF PhD dari Bagian Forensik Fakultas Kedokteran UI mengatakan, tak jarang kekeliruan penarikan kesimpulan itu disebabkan pengabaian pengetahuan paling elementer tentang saksi-saksi biologis seperti darah, Iiur, sperma, cairan vagina, keringat, atau cairan tubuh lain.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Djaja mencontohkan sebuah kasus perkosaan di kota B baru-baru ini, masih di Indonesia. Seberkas cairan mani ditemukan di satu sektor tubuh korban. Dari situ diketahui golongan darah si pemilik cairan mani: B.

Korban menyebutkan pemerkosa hanya seorang. Polisi menemukan empat orang yang dicurigai melakukan perkosaan itu. Golongan darah masing-masing dari keempat orang itu diperiksa. Kebetulan hanya satu di antara mereka bergolongan B. Panggil saja dia Parni. Dengan mudah si pemeriksa berkesimpulan Parni adalah terdakwa yang siap disidangkan.

Dengan segala alibi Parni menyangkal. Bagian Forensik kemudian dimintai bantuan. Cairan tubuh terdakwa lalu diperiksa. Ternyata Parni adalah seorang nonsekretor. Ke dalam kelompok nonsekretor, sekitar 15 persen dari populasi dunia, adalah orang-orang yang cairan tubuh lainnya selain darah tidak memperlihatkan suatu indikasi mengenai golongan darahnya.

Berhubung Parni nonsekretor, cairan maninya pastilah tidak mengandung unsur informasi mengenai golongan darahnya. BAP tentang Parni sebagai terdakwa gugur demi akurasi alat bukti. Pemeriksaan sembrono seperti ini semestinya tidak terjadi sebab kata Djaja, ”Pengetahuan tentang sekretor dan nonsekretor sudah standar dan sangat elementer.”

Ada satu lagi kebiasaan buruk para pemeriksa tersangka di Indonesia. Hampir dalam setiap kasus pencurian di rumah yang diadukan ke polisi, setelah mengopi berkas sidik jari pada barang-barang yang diduga disentuh pencuri, polisi bertanya kepada korban, ”Siapa tetangga atau pembantu yang dicurigai.” Pemeriksa kemudian mencail data yang memperkuat jawaban atas pertanyaan itu dan melakukan pencocokan karena, di kepala mereka sudah ada skenario.

Prosedur ini jelas-jelas salah. Yang seharusnya dilakukan, menurut Djaja, mengumpulkan sebanyak mungkin alat bukti atau saksi biologis, memeriksanya, kemudian menyusun skenario berdasarkan temuan-temuan itu.

FORENSIK, terutama di Amerika Serikat, Jepang dan negara-negara Eropa, masih terus mengembangkan instrumen penyidikan dengan teknologi kedokteran canggih. Salah satu yang terkenal dari upaya itu adalah ditemukannya metode identifikasi dengan sidik jari DNA.

Sidik jari DNA sangat instrumental mengidentifikasi seseorang berdasarkan sedikit saja bagan tubuh yang ia tinggalkan. Selalu dapat diekstraksikan DNA dari bagian tubuh mana pun, bahkan dari seujung rambut dibelah tujuh, untuk kemudian dikodifikasi. Kodifikasi yang dihasilkannya unik untuk setiap orang. Kelebihan lain metode ini, bukti (DNA) yang sangat sedikit, itu dapat digandakan sampai milyaran kali dengan teknik PCR (polymerase chain reaction) hanya dalam tempo sejam.

Persoalannya, secanggih atau seteliti apa pun alat penyidikan bila masih saja terjadi lompatan logika pemeriksa dalam penarikan kesimpulan, keadilan hanya ada di negeri utopia sana.

Forensik sebagai bagian ilmu kedokteran untuk mencari keadilan, bukan sekadar melulu berurusan dengan jenazah. Di Indonesis sering kali hanya diasosiasikan dengan kasus-kasus kriminal, jarang dipakai dalam kasus-kasus politik.(sal)

Sumber: Kompas, Minggu, 26 Mei 1996

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes
Kalender Hijriyah Global: Mimpi Kesatuan, Realitas yang Masih Membelah
Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?
Berita ini 8 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Jumat, 27 Juni 2025 - 14:32 WIB

Zaman Plastik, Tubuh Plastik

Jumat, 27 Juni 2025 - 08:07 WIB

Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes

Berita Terbaru

Artikel

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Senin, 7 Jul 2025 - 08:07 WIB

Fiksi Ilmiah

Bersilang Nama di Delhi

Minggu, 6 Jul 2025 - 14:15 WIB

Artikel

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Sabtu, 5 Jul 2025 - 07:58 WIB