Saya melihat ada dua fakta yang mengancam dan menekan profesor di Indonesia akhir-akhir ini. Ancaman pertama terkait dengan Permenristek dan Dikti No 50/2015 tentang Pendirian, Perubahan, Pembubaran PTN dan Pendirian, Perubahan dan Pencabutan PTS.
Pada Permenristek dan Dikti ini disebutkan, setiap program studi (prodi) doktor dan doktor terapan yang akan dibuka harus memiliki paling sedikit enam dosen yang berijazah doktor. Dua di antaranya harus memiliki jabatan akademik profesor. Dua profesor ini masing-masing harus memiliki dua karya ilmiah yang telah dipublikasi pada jurnal internasional dan empat doktor lainnya masing-masing harus punya satu publikasi internasional.
Saya menilai Permenristek dan Dikti ini cukup menekan para profesor. Karena kalau dalam sebuah prodi tidak ada dua profesor “produktif” yang masing-masing tak pernah memublikasikan karya mereka di jurnal internasional semasa hidupnya, maka prodi doktor akan gagal dibuka, atau terancam ditutup kalau sudah telanjur berdiri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ancaman kedua diberikan Direktur Jenderal Sumber Daya Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Kemristek dan Dikti, Ali Ghufron Mukti (Kompas.com, 19 April 2016), yaitu profesor yang tidak produktif dapat dikenai sanksi berupa pemotongan tunjangan kehormatan. Menurut Ali Ghufron, sesuai gelar tertinggi yang dimilikinya, seorang profesor semestinya memiliki tanggung jawab untuk aktif dalam memajukan perguruan tinggi. Gelar tertinggi ini harus diikuti produktivitas yang tinggi pula dalam menghasilkan inovasi dan menerbitkan karya tulis di jurnal-jurnal yang memiliki reputasi internasional sehingga membuat perguruan tingginya berstatus internasional.
Ancaman ini tentu saja masuk akal. Sebab, kalau tidak ada ancaman ini, semua profesor di Indonesia (berjumlah 5.109 orang) berhak tidur semuanya dan tidak melakukan apa pun kecuali tugas pokok mengajar saja. Sampai sekarang seakan-akan mengejar jabatan fungsional profesor merupakan upaya untuk mencapai terminal terakhir. Setelah terminal terakhir tercapai, tercapailah semuanya sampai umur 70 tahun sambil ongkang- ongkang kaki alias tidak berbuat apa pun.
Ini tentu saja akan merugikan negara. Sebab, dengan kenaikan jabatan dan gaji, tanggung jawab dan produktivitas seharusnya meningkat. Apalagi usia pensiun profesor sudah ditetapkan menjadi 70 tahun, maka dapat dikatakan bahwa menjadi profesor merupakan suatu berkah yang tiada tara. Di tengah kesulitan negara kita secara ekonomi, tentu saja tidak fair membandingkan gaji profesor di Indonesia dengan negara-negara maju di Eropa atau di benua lain.
Ini berarti, apabila seorang profesor tak mampu menghasilkan karya tulis di jurnal internasional sampai dengan akhir 2017, menurut Ali Ghufron, gaji profesor yang semula sekitar Rp 22 juta itu akan berpotensi dipotong tunjangan kehormatannya sekitar Rp 10,5 juta.
Kembali ke laboratorium
Dengan ancaman ini, tentu saja timbul hal positif. Selama ini harus kita akui, seorang profesor dinilai kariernya sukses atau tidak bergantung pada jabatan struktural yang diembannya, seperti menjadi wakil dekan, dekan, wakil rektor, ataupun rektor.
Dengan ancaman ini, mau tidak mau seorang profesor yang sadar dengan ancaman ini akan segera kembali ke laboratoriumnya untuk melakukan penelitian dan memublikasikannya pada jurnal internasional. Untuk menjalankan penelitian ini, Kemristek dan Dikti seharusnya menawarkan proposal penelitian dengan format sederhana, yang khusus ditawarkan kepada profesor, terutama kepada profesor yang selama ini belum punya publikasi internasional.
Saya menilai ancaman kepada profesor ini memang sudah dirancang Kemristek dan Dikti. Sebab, tak lama kemudian terbit Peraturan Menteri Keuangan No 106/2016 tentang Standar Biaya Keluaran Tahun Anggaran 2017. Permenkeu ini menebarkan peluang emas bagi profesor yang ingin meneliti dan memublikasikan karya-karyanya.
Dengan adanya Permenkeu ini, menurut Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan, Kemristek dan Dikti, Muhammad Dimyati, peneliti yang selama ini selalu kehabisan energi menjalani proses administrasi yang rumit saat melakukan riset akan menjadi nyaman. Karena laporan pertanggungjawaban penelitian akan dinilai berdasarkan output penelitian.
Dengan adanya peraturan baru ini, profesor diharapkan bisa fokus menghasilkan riset yang berkualitas dan memublikasikannya di jurnal-jurnal internasional. Menurut Dimyati, publikasi internasional yang dihasilkan merupakanoutput yang dinilai pemerintah.
Aturan yang menghambat
Kalau kita ingin negara kita menjadi maju, kita harus mengapresiasi tiga kebijakan pemerintah ini, yaitu Permenristek dan Dikti No 50/2015, ancaman bagi profesor yang tak produktif, dan terbitnya Permenkeu No 106/2016 yang merupakan peluang emas bagi periset di Indonesia.
Namun, saya ingin meminta perhatian pemerintah, khususnya Kemristek dan Dikti, karena ada suatu peraturan lagi yang perlu diperbaiki. Jika tidak, ia akan menghambat perguruan tinggi yang ingin maju.
Saya memperhatikan bahwa prodi doktor yang baru dibuka, yang sudah memenuhi Permenristek dan Dikti No 50/2015 tidak dengan sendirinya bisa melaju kencang untuk bisa mengabdi kepada Ibu Pertiwi. Seperti kita ketahui bersama, publikasi internasional tak bisa lahir kalau tidak ada penelitian. Penelitian akan berdampak secara signifikan kalau ada program pascasarjana yang baik.
Yang menjadi persoalan, beasiswa unggulan dosen Indonesia yang disingkat dengan BUDI itu, yaitu program beasiswa baru dari Pemerintah Indonesia untuk melanjutkan beasiswa pendidikan pascasarjana, tidak membuka kesempatan pada prodi doktor yang baru dibuka. Alasannya, prodi doktor baru ini hanya terakreditasi C oleh BAN-PT dan perlu reakreditasi terlebih dahulu. Masalahnya, kalau harus reakreditasi, nilai akreditasi prodi doktor baru ini juga akan tetap buruk karena belum punya alumni yang dipersyaratkan BAN-PT.
Saya bisa mengerti alasan Kemristek dan Dikti, yaitu beasiswa prestisius ini tidak boleh diberikan pada prodi yang berkualitas rendah. Namun, kualitas apalagi yang kita harapkan? Bukankah untuk membuka prodi doktor baru persyaratannya sudah cukup ketat? Karena sesuai dengan Permenristek dan Dikti No 50/2015 dibutuhkan dua profesor yang masing-masing punya dua publikasi internasional dan empat doktor lainnya masing- masing harus punya satu publikasi internasional.
Bahkan, prodi doktor yang telah lama dibuka pun dan terakreditasi A oleh BAN-PT belum tentu punya kualifikasi staf pengajar yang sesuai dengan Permenristek dan Dikti No 50/2015. Kemristek dan Dikti harus peka dengan persoalan ini. Jangan sampai kita memberikan punishment kepada prodi yang bermutu, tetapi memberikanreward kepada prodi yang masih belum sesuai Permenristek dan Dikti No 50/ 2015, tetapi posisinya sekarang sudah terakreditasi A atau B.
Dalam kasus ini, saya melihat, paling tidak untuk prodi doktor, akreditasi BAN-PT tak sejalan dengan semangat Permenristek dan Dikti No 50/2015. Ini harus segera dikoreksi.
Syamsul Rizal, Guru Besar Universitas Syiah Kuala, Alumnus Universitat Hamburg, Jerman
—————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 Agustus 2016, di halaman 7 dengan judul “Ancaman dan Peluang untuk Profesor”.
Make Money Online : http://ow.ly/KNICZ