“Bahkan kalender itu memuat perhitungan tanggal terjadinya gerhana bulan dan matahari sehingga masyarakat, termasuk mereka yang nonmuslim, tetap bisa memanfaatkan data itu”
MENYEBUT kota Kudus, rasanya banyak orang mengenalnya, termasuk warga luar Jateng dan beberapa negara sahabat, mengingat dari kota ini lahir dua tokoh besar penyebar agama Islam di Nusantara, yang terkenal dengan sebutan Walisongo, yakni Syekh Ja’ far Shadiq (Sunan Kudus) dan Syekh Raden Umar Said (Sunan Gunung Muria). Dari aspek ekonomi, kota ini juga terkenal dengan sebutan Kota Keretek karena memiliki banyak pabrik rokok keretek mulai skala kecil sampai besar, seperti Djarum, Sukun, Nojorono, dan banyak lagi. Bahkan sekitar 70 persen warga Kudus mencari rezeki di pabrik-pabrik itu. Kudus juga terkenal dengan jenangnya, produsennya lengkap dari skala kecil sampai besar seperti Jenang Mubarok.
Namun sepertinya masih ada yang tertinggal dalam pengetahuan masyarakat luar kota Kudus, yakni karya monumental dari tokoh religi, dan karya itu sampai sekarang masih digunakan sebagai pedoman dan panduan merancang, menentukan, dan melaksanaan kegiatan sehari-hari. Peninggalan besar itu adalah Kalender/ Almanak Menara Kudus yang disusun oleh tokoh ilmu falak (astronom) KH Turaichan Adjuri Asy-Syarofi atau Mbah Tur (lahir di Kudus 22 Rabiul Akhir 1334 H atau 10 Maret 1915 M). Dia merupakan salah satu keturunan Sunan Kudus.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Almanak Menara Kudus merupakan kalender yang sejak awal dicetak sampai sekarang selalu menghiasi dinding ruang masyarakat muslim di Kudus, dan beberapa daerah lain, terutama di rumah tokoh masyarakat, kiai, dan ulama. Hal itu mengingat almanak tersebut merupakan salah satu kalender yang bisa menjadi rujukan menentukan hari ataupun tanggal sebelum orang mengawali suatu kegiatan yang dianggapnya penting.
Lebih-lebih menjelang Ramadan dan Idul Fitri, yang baru saya kita lalui, karena masyarakat muslim pasti mencari pedoman kapan memulai dan mengakhiri bulan Ramadan. Kita semua mengetahui bahwa ada perbedaan dalam menentukan jatuhnya Idul Fitri 1432 H. Sejatinya, masyarakat bisa mencari pedomannya di almanak tersebut, sekaligus menemukan kemantapan karena perhitungan kelender itu sesuai dengan syariat Islam.
Berdasarkan pelacakan penulis dari putra bungsu dari KH Turaichan, almanak itu merupakan hasil kombinasi antara hisab qathi yang menggunakan sistem logaritma dan teori ilmu falak yang ada dalam kitab Mathla’us Said karangan Syekh Husein Zaid al-Misro dari Mesir, Badiatul Mitsal, Khulasatul Wafiyah, yang kemudian diselaraskan dengan hasil ijtihad Mbah Tur.
Memanfaatkan Data
Kalender itu juga menjadi rujukan untuk menentukan awal bulan Hijriah lainnya seperti kegiatan pengajian, Maulud Nabi, Isra Mikraj karena di dalamnya memuat penanggalan Hijriah. Bahkan kalender itu memuat perhitungan tanggal terjadinya gerhana bulan dan matahari sehingga masyarakat, termasuk mereka yang nonmuslim, tetap bisa memanfaatkan data itu untuk melihat salah satu karya agung Allah SWT.
Almanak tersebut juga bisa digunakan sebagai rujukan oleh orang Jawa sebagai petung terkait hajatan perkawinan, mengawali menempati rumah baru dan sebagainya. Hal itu sangat beralasan karena di dalamnya juga menyertakan penanggalan Jawa, dan juga China sehingga etnis China pun bisa memanfaatkannya.
Dalam praktiknya sampai sekarang, tidak sedikit petani yang memanfaatkan kalender itu untuk menentukan awal kegiatannya bersawah atau berladang. Ibaratnya, mereka menggunakan almanak itu sebagai pranatamangsa untuk menentukan waktu menyebar bibit, memupuk, dan memanen.
Karena itu, banyak ahli astronomi modern mengakui dan menganggap peninggalan Mbah Tur tersebut sangat komprehensif, lebih maju dari zamannya. Sepeninggalnya Mbah Tur tahun 1999, pengelolaan almanak ini dilanjutkan oleh putranya, Drs KH Sirril Wafa MA dengan dasar perhitungan dan desain sistematikanya yang selalu terjaga. (10)
M Agus Yusrun Nafi’ SAg MSi, Ketua Forum Komunikasi Penyuluh Agama Islam (FKPAI) Kantor Kemenag Kabupaten Kudus, pengasuh Pesantren Sirajul Hannan Jekulo Kudus
Sumber: Suara Merdeka, 12 September 2011