Jakarta Tanpa Tanggul Raksasa

- Editor

Senin, 6 Juni 2016

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Tanggul raksasa atau giant sea wall (GSW) dan reklamasi bukanlah sesuatu yang tabu dan harus ditentang. Jika GSW memberi manfaat dengan alasan yang jelas dan dampak lingkungan yang terukur, pembangunan GSW tentu bisa didukung.

Salah satu contohnya adalah GSW di St Petersburg, Rusia, yang dibangun untuk melindungi kota dari storm surge, yaitu naiknya muka air laut akibat badai. Sebelum membangun GSW, pemerintah St Petersburg memperbanyak jumlah tempat pengolahan limbah (Sewerage Treatment Plant/STP) untuk menjamin air yang akan mengalir ke waduk penampungan memenuhi baku mutu.

Ada kajian, GSW Jakarta yang akan dibangun tidak memberi manfaat dan berdampak luar biasa bagi lingkungan. Tidak mengherankan jika usulan National Capital Integration Coastal Development (NCICD) ini perlu ditentang.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Jakarta Coastal Defence Strategy (JCDS) sebagai cikal bakal NCICD memulai ide penutupan Teluk Jakarta karena ancaman naiknya permukaan laut. Setelah dikritik bahwa storm surge, tsunami, dan muka air laut naik akibat pemanasan global di Jakarta sangat kecil, akhirnya ancaman banjir laut itu tidak lagi menjadi alasan pembangunan GSW.

Saat ini alasan utama NCICD membangun GSW adalah penurunan muka tanah atau land subsidence. Betulkah GSW diperlukan untuk melindungi Jakarta dari penurunan muka tanah?

Penurunan muka tanah memperoleh perhatian khusus Presiden Joko Widodo. Setelah rapat kabinet terbatas, pemerintah memutuskan untuk meneruskan Program NCICD yang akan menutup Teluk Jakarta dengan GSW. Keputusan ini perlu dikaji ulang karena pemerintah kurang memahami secara teknis kelemahan GSW Teluk Jakarta.

Jika GSW dibangun, selain memakan biaya sangat besar, biaya operasional dan dampak lingkungannya juga sangat besar. Yang lebih parah, GSW justru akan memperparah risiko banjir Jakarta.

Pengamanan Jakarta
Memang ada dua opsi untuk mengamankan Jakarta dari ancaman penurunan muka tanah. Opsi pertama adalah menanggul pantai dan sungai di sepanjang daerah yang terancam dan mengalami penurunan muka tanah. Opsi kedua adalah menutup Teluk Jakarta dengan GSW.

Opsi pertama pernah penulis sampaikan di Rubrik Opini Kompas (19 Maret 2013), yang merupakan pilihan tepat untuk Jakarta. Opsi ini tidak memerlukan pompa untuk mengalirkan 13 sungai dari daerah hulu Jakarta. Air mengalir dengan gravitasi tanpa bantuan pompa raksasa.

Pengelola Jakarta cukup memompa air hujan yang turun di daerah penurunan muka tanah dengan kapasitas pompa yang jauh lebih kecil. Selain itu, dengan opsi pertama, Jakarta bisa mempertahankan sumber daya ekonomi kelautan Teluk Jakarta dengan potensi luar biasa. Perairan Teluk Jakarta mempunyai nilai sangat penting untuk mendukung program pemerintah menjadi poros maritim. Dengan opsi pertama, pemerintah tidak perlu memindahkan PLTU Muara Karang, Pelabuhan Ikan Nusantara, dan merelokasi masyarakat nelayan. Dampak lingkungan dari opsi ini hampir tidak ada. Mangrove pun tetap subur untuk mendukung ekosistem Teluk Jakarta.

Opsi kedua merupakan usulan konsultan Belanda, NCICD. Teluk Jakarta akan ditutup dengan GSW yang bertujuan sebagai waduk air minum, pengatur banjir, dan melindungi daerah permukiman baru yang dibangun melalui reklamasi. Jika disimak saksama, tidak satu pun tujuan pembangunan GSW akan tercapai karena secara teknis usulan GSW tidak masuk akal dan memperparah banjir Jakarta.

Pompa raksasa
Akibat dibangunnya GSW, Jakarta tidak hanya harus memompa air hujan yang turun di daerah penurunan muka tanah, tetapi juga harus memompa air dari daerah hulu (Bogor, Cipanas, Depok, dan lain-lain). Akibatnya, biaya operasional GSW sangat besar, sekitar Rp 500 miliar per tahun, apalagi ternyata operasi GSW memperparah risiko banjir Jakarta.

Jika Jakarta hanya memperkuat tanggul pantai dan tanggul sungai di sepanjang daerah penurunan muka tanah tanpa GSW, Jakarta cukup memompa air dari daerah penurunan muka tanah. Sebuah perbedaan besar dan mudah dipahami. Daerah tangkapan dari penurunan muka tanah hanya sekitar 1/15 tangkapan area sampai daerah hulu. Artinya besar pompa GSW 15 kali lebih besar dari tanpa GSW.

Untuk menampung banjir, elevasi air di waduk direncanakan lebih rendah dari muka air laut terendah atau lebih dikenal sebagai LWS (Lowest Water Spring). Data NCICD menunjukkan jumlah air yang mengalir ke GSW Jakarta selama enam hari bisa mencapai 730 juta m3. NCICD mengklaim pompa 730 m3/detik bisa mengatur elevasi muka air 2,5 meter dengan luas waduk 75 km2. Padahal, jika dihitung dengan lebih saksama, dibutuhkan pompa 1.050 m3/detik.

Jika hanya memasang pompa 730 m3/detik, muka air di waduk GSW harus diturunkan 4,7 meter. Jika pompa macet, Jakarta akan tenggelam oleh banjir kiriman dari daerah hulu. Pompa raksasa GSW akan menjadi pompa terbesar di dunia, apakah Jakarta siap dan sanggup mengoperasikan pompa besar ini? Saat ini Jakarta mengoperasikan pompa 30 m3/detik saja suka gagal, apalagi mengoperasikan pompa 1.050 m3/detik.

Seandainya Jakarta tidak menutup Teluk Jakarta atau tanpa GSW, pompa 100 m3/detik sudah mencukupi untuk mengendalikan banjir di daerah penurunan muka tanah. Seandainya pompa macet, risiko banjir Jakarta hanya dari hujan yang turun di daerah penurunan tanah.

Penampung air minum
NCICD merencanakan elevasi waduk GSW lebih tinggi dari elevasi daerah penurunan muka tanah. Akibatnya, Jakarta tetap harus mempunyai tanggul pantai dan tanggul sungai di daerah penurunan muka tanah. Walaupun melalui pendekatan ini, NCICD mengharapkan tinggi tanggul pantai dan sungai untuk opsi kedua bisa dibuat lebih rendah daripada tanggul di pilihan pertama.

Selisih tinggi tanggul harus sesuai dengan tunggang pasang surut ditambah tinggi gelombang di Teluk Jakarta, ternyata besarnya hanya 2,0 meter. Selisih tinggi tanggul 2,0 meter yang akan dihemat NCICD tersebut jauh lebih kecil apabila dibanding tinggi tanggul GSW yang bisa mencapai 25 meter.

Dengan luas waduk GSW sekitar 7.500 ha dan kedalaman rerata 10 m atau sekitar 750 juta m3, air yang ditampung terlampau besar apabila dibandingkan dengan defisit air bersih Jakarta yang hanya 10 m3/detik. Dengan anggapan sungai mengering selama 3 bulan sekalipun, air bersih yang diperlukan hanya 78 juta m3. Seandainya waduk air bersih di Teluk Jakarta itu tetap diperlukan, luasnya cukup 1.000 ha saja.

Jika ukuran pompa GSW hanya 730 m3/detik seperti yang direncanakan oleh NCICD, untuk mengantisipasi banjir, elevasi muka air di waduk GSW harus diturunkan 5,2 meter LWS. Artinya Pelabuhan Ikan Nusantara dengan draf sekitar 4,0 meter menjadi kering atau menjadi daratan. Seandainya dikeruk 4 meter, operasi bongkar muat di pelabuhan tak bisa dilakukan karena dermaga berada 6,2 meter di atas muka air. Pemerintah tidak punya pilihan, pelabuhan perikanan Nusantara harus direlokasi.

Dengan diturunkannya elevasi muka air laut 5,2 meter, praktis PLTU Muara Karang kehilangan sirkulasi air pendingin. PLTU Muara Karang harus pindah ke lokasi baru dengan biaya tidak sedikit.

Hasil pengukuran lapangan dan kajian NCICD jelas sekali menunjukkan laju penurunan muka tanah tidak merata. Laju penurunan tertinggi adalah 25 cm/tahun. Yang menarik adalah prediksi NCICD tentang daerah yang akan berada di bawah laut, ternyata hampir 70 persen elevasi pantai lebih tinggi dari elevasi daratan. Kawasan tepi pantai akan menjadi penghalang aliran 13 sungai sebelum mengalir ke waduk GSW.

Laju sedimentasi di muara sungai akan meningkat drastis. Dapat dibayangkan jika tiba-tiba menerima banjir kiriman dari daerah hulu, sungai-sungai di daerah penurunan muka tanah akan melimpah akibat dari backwater curve karena perbedaan elevasi dasar sungai di daerah penurunan muka tanah dan elevasi dasar laut sepanjang tepi pantai. Selain itu, daerah reklamasi akan menghalangi aliran sungai. Tak dapat dimungkiri, GSW yang diharapkan bisa mengatur banjir malah memperparah banjir Jakarta.

Ide untuk menampung air kotor Jakarta di waduk GSW dan selanjutnya dibersihkan adalah kesalahan fatal. Membersihkan air sungai yang sudah tercampur polutan kota membutuhkan biaya sangat besar. Debit rerata 13 sungai Jakarta 300 m3/detik, dengan asumsi biaya pengolahan Rp 1.000 per m3, Pemprov DKI Jakarta harusmengalokasikan dana sekitar Rp 9 triliun per tahun. Tidak heran di kota-kota besar dunia, sumber polutan harus dikendalikan di STP sebelum air buangan dialirkan ke sungai. Biaya pengolahan limbah menjadi lebih murah dengan kapasitas STP yang lebih kecil.

Saat ini Jakarta tidak mempunyai STP karena saluran drainase dan selokan bergabung menjadi satu saluran. Jika Jakarta ingin membangun STP, drainase sebagai saluran pembuangan air hujan harus dipisahkan dulu dari selokan sebagai saluran pembuangan limbah kota. Got mengalir ke STP untuk selanjutnya diolah. Seharusnya Gubernur Jakarta menata dulu saluran drainase dan selokan kota Jakarta sebelum membangun GSW. Bagaimana Jakarta membangun GSW jika tidak punya selokan?

Bom waktu
Dengan dibangunnya GSW, sirkulasi air di waduk GSW akan menurun drastis, bahkan bisa dikatakan menjadi air diam (stagnant water). Pembersihan alami melalui proses adveksi dan difusi dari Laut Jawa tidak akan lagi terjadi. Seperti diketahui umumnya, ancaman dari air diam adalah meningkatnya ancaman malaria dan demam berdarah (dengue). Sejarah Jakarta membuktikan, wabah malaria besar pernah terjadi di Jakarta pada zaman kolonial Belanda dengan ribuan korban.

Dengan makin berkurangnya jumlah air di Teluk Jakarta akibat reklamasi dan hilangnya sirkulasi air akibat dibangunnya GSW, kadar polutan di waduk GSW akan meningkat drastis. Kualitas air di dalam waduk GSW akan makin memburuk sesuai dengan perjalanan waktu. Cita-cita waduk GSW sebagai sumber air minum tidak akan tercapai.

Maka, demi mengamankan Jakarta dari ancaman banjir, pemerintah perlu membuat kebijakan berikut. Pertama, menghentikan reklamasi Teluk Jakarta karena reklamasi menghambat aliran sungai, meningkatkan ancaman banjir, dan memperburuk kualitas air di Teluk Jakarta.

Kedua, menolak usulan NCICD untuk membangun tanggul karena biaya operasi dan dampak lingkungannya sangat besar.

Ketiga, melanjutkan penguatan tanggul pantai dan tanggul sungai sepanjang daerah penurunan muka tanah.

Keempat, Jakarta harus segera memisahkan selokan dari drainase dan membangun STP untuk memperbaiki kualitas air di Teluk Jakarta.

Muslim Muin, ketua kelompok keahlian teknik pantai, Intitut Teknologi Bandung
———————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 6 Juni 2016, di halaman 6 dengan judul “Jakarta Tanpa Tanggul Raksasa”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Gelombang Radio
Berita ini 9 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB