Ada kejanggalan pada alur penalaran para petinggi pemerintah dan organisasi profesi di Indonesia terkait fenomena kurangnya tenaga kerja di bidang sains-teknik.
Pada Kompas edisi 18 Mei 2016 halaman 12 disebutkan bahwa Direktur Eksekutif Persatuan Insinyur Indonesia mengeluhkan Indonesia kekurangan insinyur. Presiden dan Menristek Dikti mengatakan hal serupa dan berniat mengurangi proporsi maha- siswa sosial-humaniora guna memberikan ruang lebih luas bagi mahasiswa sains-teknik.
Indonesia menghasilkan sekitar 50.000 insinyur setiap tahun, tetapi kekurangan sekitar 10.000 insinyur setiap tahun. Data lain menyebutkan, saat ini ada sekitar 800.000 lulusan sains-teknik, tetapi hanya 45 persen atau 360.000-an lulusan sains-teknik yang bekerja di bidangnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menarik mencermati cara pandang para petinggi. Para petinggi menganggap akar masalah kurangnya tenaga kerja sains- teknik adalah orientasi pendidikan tinggi lebih condong ke sosial-humaniora daripada ke sains-teknik. Coba kita bandingkan jumlah kekurangan insinyur dengan jumlah insinyur yang tak bekerja di bidangnya. Untuk memenuhi jumlah kekurangan insinyur, adalah lebih sangkil dan mangkus menggugah para insinyur yang tak bekerja di bidangnya kembali ke jalan yang benar: bidang studi yang dipelajarinya ketika kuliah daripada mengubah orientasi perguruan tinggi menghasilkan lebih banyak lulusan sains-teknik.
Lalu, mengapa para petinggi mengotot ingin ”menyadarkan” dunia pendidikan untuk menambah lulusan sains-teknik dan mengurangi proporsi lulusan sosial-humaniora? Tampaknya ada yang tak sinkron antara pemahaman akan fenomena sosial, analisis akar masalah, dan pilihan kebijakan yang dibuat untuk menanganinya.
Penelitian kebijakan
Jabatan tinggi merupakan jabatan politis. Sudah umum, kebijakan politis lebih condong berbasis pada hitung-hitungan politis, opini instan, dan gejolak di masyarakat daripada berbasis pada pengetahuan sosial-humaniora dan akal sehat. Impian kebijakan politis adalah efek kereta musik, yaitu mengikuti arus dan keinginan orang banyak, tanpa perlu mempertimbangkan apakah keinginan orang banyak itu berdasarkan pertimbangan arif dan manusiawi ataukah tidak.
Pemerintah Jerman mulai berbenah melandaskan kebijakan-kebijakan politisnya pada dialog strategis dan penelitian sosial-humaniora. Misalnya, Kementerian Pendidikan Jerman melihat bahwa kebijakan pendidikan tak hanya berdampak pada industri dan pemerintah, tetapi juga pada institusi pendidikan dan masyarakat umum sehingga mereka mengembangkan mekanisme dialog strategis di antara keempat pihak itu. Pengembangan itu terus dipantau dengan penelitian kebijakan, salah satu jenis penelitian sosial-humaniora.
Orientasi pemerintah Jerman lebih pada melakukan penyelarasan di antara keempat pihak itu, bukan pada pilihan untuk lebih mengutamakan kepentingan pihak mana. Ada juga hasrat belajar membuat kebijakan berbasis alur penalaran yang runtut, sistematis, antisipatif, berorientasi jangka panjang.
Pemerintah kita perlu belajar dari Pemerintah Jerman dalam hal kebijakan pendidikan. Jerman terkenal dengan lulusan yang sangat ahli dan kompeten dalam sains-teknik. Namun, jangan lupa, Jerman juga menghasilkan sarjana sosial-humaniora yang sangat mumpuni. Bahkan, banyak tokoh kunci perintis sosial-humaniora berasal dari Jerman: Sigmund Freud, Wilhelm Wundt, Alexander von Humboldt, Ludwig Wittgenstein, Max Weber, Marianne Weber, dan Hannah Arendt, untuk menamai beberapa.
Kasus negara Jerman menunjukkan kepada kita bahwa untuk menghasilkan lulusan sains-teknik yang memadai, tak perlu menggeser orientasi pendidikan atau mengurangi proporsi mahasiswa di bidang lain. Kepentingan industri dan pemerintah perlu diselaraskan dengan kepentingan dunia pendidikan dan cita-cita masyarakat umum. Pada konteks Indonesia, kepentingan masyarakat umum tecermin dari cita-cita para pendiri bangsa. Karena itu, pemerintah perlu merenungkan kebijakannya apakah sudah menyelaraskan kepentingan pihak industri dengan cita-cita pendiri bangsa, atau lebih mengutamakan kepentingan industri dan kebutuhan pasar.
Dengan demikian, ada dua masalah dalam polemik sains- teknik versus sosial-humaniora saat ini. Pertama, ada kejanggalan dalam alur penalaran para pembuat kebijakan. Kedua, sistem pendidikan kita terancam bahaya laten industrialisasi dan komersialisasi yang merupakan salah satu kekhawatiran para pendiri bangsa.
Solusinya tiga. Pertama, sebaiknya pemerintah dan pejabat tinggi meningkatkan keterampilannya dalam penalaran yang runtut, sistematis, rasional, sekaligus manusiawi. Mereka perlu belajar melandaskan kebijakannya pada perkembangan ilmu sosial-humaniora. Kedua, lebih baik menemukan cara mengembalikan para insinyur yang tak bekerja di bidangnya ke ”jalan yang benar” daripada ”mengalihkan jalan” para mahasiswa di bidang ilmu selain sains-teknik.
Ketiga, perguruan tinggi sebaiknya lebih memusatkan perhatian pada perjuangan menghasilkan lulusan yang memanusiakan manusia, bekerja sesuai dengan disiplin ilmu yang merupakan bakat dan minatnya, serta berkontribusi terhadap pemenuhan cita-cita para pendiri bangsa Indonesia. Hentikan adu domba antara sains-teknik dan sosial-humaniora karena keduanya setara dan sama-sama dibutuhkan bangsa ini.
Edward Theodorus, dosen psikologi di Universitas Sanata Dharma
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 Mei 2016, di halaman 6 dengan judul “Sains-Teknik Vs Sosial-Humaniora”.