Gerhana matahari total 9 Maret 2016 bukan hanya momentum para astronom, komunikator astronomi, astronom amatir, dan wisatawan berburu gerhana. Ahli falak atau astronomi Islam pun tak ketinggalan. Gerhana adalah momentum yang bisa digunakan memeriksa ulang akurasi perhitungan posisi Bulan untuk menentukan awal bulan dalam kalender hijriah.
“Akurasi data hisab (perhitungan) sangat penting. Salah melakukan hisab terhadap posisi Bulan bisa menimbulkan kesalahan pengambilan kesimpulan untuk menentukan awal bulan kalender,” kata anggota Lembaga Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU) Pengurus Besar NU, Hendro Setyanto, Sabtu (20/2).
Gerhana matahari sejatinya adalah ijtimak yang terlihat. Ijtimak adalah kesegarisan Matahari, Bulan, Bumi yang menjadi batas dimulainya fase Bulan baru untuk menentukan awal bulan dalam kalender Hijriah. Namun, saat ijtimak tidak selalu terjadi gerhana matahari karena ada perbedaan kemiringan bidang edar Bulan mengelilingi Bumi sebesar 5 persen terhadap bidang edar Bumi mengelilingi Matahari.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Jika waktu penentuan ijtimak tidak teliti, bisa salah dalam menentukan awal bulan kalender atau menentukan posisi hilal,” tambahnya.
Perbedaan 0,1 derajat dalam menentukan ketinggian hilal atau jarak sudut Matahari-Bulan bisa memengaruhi penentuan awal bulan Hijriah. Perbedaan kecil itu bisa saja diperoleh sebagai galat dari proses perhitungan yang dilakukan. Galat itulah yang berusaha diperkecil sehingga hasilnya hisab memiliki keakuratan tinggi.
Bagi NU, data hisab merupakan dasar menentukan awal bulan di luar bulan Ramadhan, Syawal, dan Zulhijah sesuai kriteria imkannur rukyat atau kemungkinan hilal bisa teramati. Selain itu, data hisab juga digunakan sebagai dasar melakukan pengamatan (rukyat) hilal di ketiga bulan itu serta menjadi landasan menerima atau menolak kesaksian melihat hilal.
Pengakurasian itu penting mengingat di NU terdapat sejumlah sistem hisab yang dikembangkan ulama-ulama NU sejak dulu. Sistem hisab itu beragam, mulai dari yang sederhana hingga sesuai perhitungan astronomi modern, seperti sistem hisab yang dikembangkan KH Ahmad Ghazali dari Pondok Pesantren Lanbulan, Sumenep, Madura, dalam kitab Darul Aniq.
Untuk membuat akurasi data hisab itu, LFNU dari sejumlah pengurus NU di berbagai tingkatan, menggelar pendidikan dan pelatihan untuk menguji akurasi hisab mereka. Mereka juga berencana mengamati gerhana matahari di sejumlah wilayah, seperti Bangka Tengah di Bangka Belitung dan Balikpapan di Kalimantan Timur.
Secara terpisah, Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ma’rifat Iman mengatakan, gerhana adalah sebuah kepastian berdasarkan perhitungan yang sudah dilakukan. Namun, hasil perhitungan itu tidak harus dibuktikan dengan kejadian alam sebenarnya. “Gerhana adalah pertanda awal bulan. Kami yakin dengan perhitungan yang dilakukan,” katanya.
Meski demikian, Hendro dan Ma’rifat sama-sama mengimbau agar umat Islam tidak hanya menyaksikan gerhana semata, tetapi juga melakukan shalat gerhana yang disunahkan. Shalat gerhana sebaiknya dilakukan setelah mengamati terjadinya gerhana yang merupakan kekuasaan Tuhan.
“Gerhana bukanlah perkara mistis atau aneh sehingga tidak perlu ditakuti. Gerhana adalah peristiwa alam rutin yang bisa diperhitungkan,” ujar Ma’rifat. (MZW)
——————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Februari 2016, di halaman 24 dengan judul “Momentum Memperbaiki Data Hisab”.