Penemuan virus Zika di Jambi pada 2015 menunjukkan kerentanan Indonesia terhadap serangan berbagai penyakit infeksi baru yang ditularkan nyamuk. Selain Zika, berbagai penyakit menular lain yang dibawa nyamuk telah lama beredar, tetapi belum diketahui secara pasti besaran masalah dan sebarannya karena keterbatasan kemampuan surveilans dan deteksi dini.
Direktur Field Epidemiology Training Program Indonesia Nyoman Kandun mengatakan, keterbatasan anggaran membuat pemerintah menentukan skala prioritas penanganan. “Dengan dana terbatas, kita harus memilih penyakit yang luas penularannya dan menimbulkan korban,” ujarnya, Senin (22/2), di Jakarta.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Siswanto mengatakan, Balitbang Kemenkes memprioritaskan pemantauan 23 penyakit, termasuk demam berdarah dengue dan malaria. “Dalam surveilans, Litbangkes mengonfirmasi sekaligus mengidentifikasi penyakit,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Terkait surveilans vektor penyakit, menurut Siswanto, Balitbangkes mengadakan Riset Khusus Vektor dan Reservoir Penyakit (Rikhus Vektora) pada nyamuk, tikus, dan kelelawar. Hal itu bertujuan mengidentifikasi dan memetakan sebaran vektor dan reservoir penyakit di Indonesia, termasuk mengidentifikasi patogen pada vektor dan reservoir penyakit.
Tahap pertama Rikhus Vektora dilakukan di empat provinsi, yakni Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Sulawesi Tengah, dan Papua. Tahun 2018, riset diharapkan bisa dilakukan di semua provinsi.
Khusus nyamuk, di Sumsel ditemukan 24 genus dan 122 spesies nyamuk, di Jateng 26 genus dan 83 spesies, di Sulteng 11 genus dan 145 spesies, serta di Papua 26 genus dan 83 spesies.
Dari semua sampel nyamuk yang terkumpul, didapati malaria, dengue, chikungunya, dan Japanese encephalitis (JE) pada 1-5 persen nyamuk.
Virus baru
Surveilans pada vektor mulai dilakukan, tetapi belum memadai, terutama untuk memetakan sebaran sumber penyakit infeksi baru. Padahal, sebagai negara tropis kepulauan dengan banyak titik masuk, Indonesia rentan penyakit menular, khususnya ditularkan oleh nyamuk.
Sebagai contoh, sebaran virus Zika belum ada datanya. Sebaran JE juga belum terpetakan, bahkan kerap tak terdiagnosis. “Banyak pasien di Indonesia, terutama terdiagnosis demam, tak diketahui penyebab infeksi. Ini bisa JE atau infeksi lain yang belum dipetakan,” kata Syafruddin, ahli nyamuk dan malaria Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.
Virus Zika dilaporkan beredar di Indonesia sejak puluhan tahun lalu. Sebelumnya, pada 2015, Lembaga Eijkman mengisolasi virus itu dari seorang pasien terduga DBD di Jambi.
Pada 1981, JG Olson dan tim melaporkan di jurnal ilmiah ada pasien di Klaten, Jawa Tengah, terinfeksi Zika. Pada 1983, JG Olson melaporkan ada enam pasien terinfeksi Zika di Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Berikutnya, pada 2013, perempuan Australia yang baru pulang setelah sembilan hari di Jakarta dilaporkan terinfeksi Zika. “Temuan virus Zika di Jambi saat riset sporadis demi mencari penyebab infeksi pasien demam, tetapi negatif dengue. Idealnya, ada surveilans sistematis dengan melibatkan semua potensi yang ada, tetapi itu bukan kewenangan kami,” kata Deputi Direktur Eijkman Herawati Sudoyo.
Sementara kemampuan daerah untuk surveilans pun terbatas. Menurut Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jambi Andi Pada, Kemenkes mengirim surat edaran agar semua daerah mengirim sampel darah para pasien negatif DBD ke Balitbangkes Kemenkes. Namun, pihaknya belum bisa melakukan hal itu karena dana belum dialokasikan di APBD.
Menurut Direktur Lembaga Eijkman Prof Amin Subandrio, ke depan, Indonesia mesti membenahi sistem deteksi dini penyakit infeksi. Caranya, memeriksa menyeluruh mereka yang datang dari negara endemis penyakit tertentu, meliputi uji serologi dan molekuler.(ADH/JOG/ITA/AIK)
————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 Februari 2016, di halaman 1 dengan judul “Sistem Pemantauan Sebaran Virus Lemah”.