Nuklir, “Buah Apel” yang Menggoda…

- Editor

Rabu, 27 April 2011

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Evgeniya Nesterenko tak lelah terus bertanya, ”Kapan saya sembuh?” ”Ketika saya besar nanti, apakah saya bisa punya anak? Apakah anak saya akan seperti saya?” (Children of Chernobyl, Adi Roche, 1996).

Nesterenko (terpaksa) berhenti bertanya saat kematian menjemputnya di usia 8 tahun. Gadis cilik itu menderita kanker tiroid akibat terpapar radiasi dosis tinggi saat reaktor nuklir di pusat tenaga nuklir Chernobyl, di wilayah Ukraina—saat itu masih bagian dari Uni Soviet—bocor. Kebocoran tersebut mengakibatkan kebakaran radioaktif yang berlangsung 10 hari seperti diungkap Chernobyl’s Children Project International, sebuah organisasi nirlaba yang didirikan tahun 1991 untuk membantu membangun harapan bagi anak-anak korban Chernobyl. Sejarah gelap reaktor nuklir itu terjadi pada pagi hari, 26 April 1986.

Kebocoran reaktor nuklir itu mengembuskan radiasi berkekuatan 100 kali lipat radiasi bom hidrogen yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki—keduanya di Jepang—saat Perang Dunia II tahun 1945.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Nesterenko adalah satu dari sekitar 50.000 anak yang menurut perkiraan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bakal mengidap kanker tiroid sepanjang hidupnya. Menjelang ajalnya, Nesterenko nyaris tak mampu bergerak akibat rasa sakit luar biasa.

Data lain yang terungkap, saat bencana terjadi, sekitar 7 juta orang ada di wilayah yang terkontaminasi, dengan 3 juta di antaranya adalah anak-anak. Sekitar 5,5 juta orang, termasuk lebih dari 1 juta anak, hingga kini masih tinggal di daerah yang terkontaminasi zat radioaktif.

Sebanyak 31 orang dari 134 pekerja di reaktor nuklir yang terpapar radiasi ekstra tinggi meninggal dalam tiga bulan. Para pekerja operasi pembersihan reaktor, tentara dan petugas pemadam kebakaran yang berjumlah sekitar 25.000 orang, meninggal akibat kanker paru-paru, leukemia, dan gangguan pembuluh darah jantung.

Mereka yang terpapar radiasi dosis rendah berpotensi mendapat tumor, mengalami mutasi genetis, dan mengalami kerusakan pada sistem kekebalan tubuhnya. Jutaan orang akan terpapar radiasi dosis rendah selama puluhan tahun. Dunia terguncang.

Namun, ketika muncul ancaman baru, yaitu menipisnya cadangan bahan bakar fosil dan ancaman perubahan iklim sebagai akibat penggunaan bahan bakar fosil, sejumlah negara kini kembali melirik energi nuklir karena dikenal sebagai energi bersih (baca: tidak menghasilkan gas rumah kaca penyebab pemanasan global).

Lalu, terjadilah bencana Fukushima—kebakaran pada pusat energi nuklir di Fukushima—Jepang akibat gempa bumi dan tsunami.

Sementara itu, urusan Chernobyl pun belum selesai. Donor internasional, menurut kantor berita AP, akan menyiapkan 802 juta dollar AS (sekitar Rp 7,2 triliun; kurs 1 dollar AS > Rp 9.000) untuk membangun cungkup (bangunan penutup) di atas reaktor untuk menutup sumber radiasi. Setelah itu, materi radioaktif di dalamnya akan dihancurkan. Caranya dan biayanya? Entah.

Menanggapi kedua bencana itu, Direktur Umum Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) Yukiya Amano dalam pertemuan internasional di Kiev, Ukraina, untuk peringatan 25 tahun Chernobyl, sadar sepenuhnya betapa mahal harga yang harus dibayar untuk sebuah pembelajaran, meski skala kedua bencana itu jauh berbeda. Kekuatan radiasi Fukushima diperkirakan hanya sepersepuluh radiasi Chernobyl.

Pertanyaan utama dalam pengembangan teknologi nuklir sebagai sumber energi adalah ”apakah reaktor nuklir bisa (dibuat) aman?” Dia menegaskan, ”keamanan dan (lagi lagi) keamanan” adalah yang utama.

Pihak IAEA berperan sebagai koordinator untuk pengembangan teknologi nuklir ini. Di samping itu, badan legislatif harus diperkuat, informasi antaranggota IAEA dan antara anggota dengan IAEA harus diperkuat, kajian teknologi di kalangan para ahli harus diperkuat dan diperluas. Yang vital adalah transparansi penuh mengenai risiko radiasi serta bagaimana pengelolaannya. Itu pesan Amano.

Catatan pentingnya: penyebab bencana nuklir ada dua, yaitu bencana (alam) yang ”tak pernah secara tuntas kita tahu di mana batas daya rusaknya”, kedua adalah persoalan etika dan perilaku (pengembang dan pengguna teknologi) yang bakal memengaruhi teknologi yang digunakan.

Tahun 1895 Wilhelm Rontgen menemukan sinar-X yang dilanjutkan dengan penemuan uranium dan radium oleh Henri Becquerel tahun 1896. Perkembangan penemuan tersebut lalu tak terhentikan. Pada tahun yang sama Pierre Curie dan Marie Curie menamai fenomena fisika tersebut sebagai ”radioaktivitas”. Radium kemudian digunakan di bidang kesehatan. Tahun 1898 Samuel Prescott menemukan bahwa radiasi zat radioaktif mampu membunuh bakteri pada makanan.

Frisch-Peierls Memorandum, yang disusun Otto Frisch dan Rudolf Peierls di Inggris, adalah cikal bakal dari bom atom dengan menggunakan uranium-235. Energi dari zat radioaktif mulai diperkenalkan dalam praktik. Namun, tonggak perkembangan penelitian akan radioaktif sebagai sumber energi dan sebagai bahan bom dihasilkan oleh sekelompok ilmuwan di bawah payung MAUD Committee, komite penelitian untuk pertahanan udara Inggris. Mereka menyajikan dua laporan pada Juli 1941 yang bertajuk ”Use of Uranium for a Bomb” (Penggunaan Uranium untuk Bom) dan ”Use of Uranium as a Source of Power” (Penggunaan Uranium sebagai Sumber Energi).

Kini dunia dalam penantian untuk sebuah teknologi nuklir dengan proses fusi. Namun, teknologi tersebut masih dalam hitungan ”ratus tahun”—jangka waktu yang amat panjang—seperti dikatakan mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup Sonny Keraf.

Ketika energi kemudian menjadi ”napas kedua” manusia, ketika manusia tanpa energi menjadi ”lumpuh” karena tak bisa berproduksi dan berkonsumsi, maka tak terbantahkan bahwa kini berbagai belahan dunia dan banyak negara sibuk ”berburu energi”, dan nuklir seba gai sumber energi kini menjadi buruan utama. Namun, Fritjof Capra dalam The Turning Point mengingatkan: nuklir sebagai senjata dan sumber energi telah memperbesar kemungkinan kemusnahan global. Seperti kisah Adam dan Hawa, nuklir itu seperti ”buah apel” yang menggoda….[BRIGITTA ISWORO LAKSMI]

Sumber: Kompas, 27 April 2011

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Gelombang Radio
Berita ini 1 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB