Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia mengembangkan reaktor plasma yang dipasang pada insinerator, instalasi pembakaran sampah. Dengan metode itu, gas hasil pembakaran sampah diurai sehingga tidak mencemari udara. Namun, teknologi itu tetap harus disertai perbaikan pengelolaan sampah dari hulu hingga hilir.
“Lebih dari 90 persen dioksin hilang menggunakan insinerator plasma,” kata peneliti Unit Pelaksana Teknis Balai Pengembangan Instrumentasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Anto Tri Sugiarto dalam Diskusi Publik “LIPI Kembangkan Teknologi Bersih Pengolah Sampah dengan Insinerator Plasma”, Jumat (20/11) di Jakarta.
Dioksin salah satu senyawa pencemar dari pembakaran plastik yang bisa meningkatkan risiko kanker serta mengacaukan hormon. Jika terhirup, dioksin terakumulasi dalam tubuh.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Selama ini, sejumlah kalangan menolak insinerator karena bisa memperburuk pencemaran udara. Kompas (1/9/2014) menulis, Indonesia Toxic Free Network menginformasikan, insinerator memerlukan pemanasan minimal 1.000 derajat celsius. Jika kurang dari itu, sisa pembakaran sampah lebih berbahaya bagi manusia. Sebanyak 80 persen dilepaskan mengemisi udara, sisanya jadi abu, abu terbang, hingga limbah cair berbahaya.
Anto mengatakan, teknologi reaktor plasma muncul sebagai solusi mencegah terbentuknya dioksin dari pembakaran sampah di insinerator. Teknologi itu muncul di Jepang tahun 1990-an. Plasma berarti gas terionisasi dari pemanasan gas.
Reaktor plasma berupa cerobong setinggi 150 meter. Di dalam reaktor plasma terdapat elektroda-elektroda berbahan baja tahan karat. Gas-gas dari insinerator masuk reaktor plasma, lalu terionisasi dengan pemanasan sekitar 1.000 derajat celsius.
Dengan cara itu, gas-gas berbahaya terurai dalam bentuk yang tak mencemari udara sehingga tak berisiko kesehatan. Selain menghilangkan dioksin, reaktor plasma juga menguraikan gas-gas beracun, seperti Nox, Sox, furan, bahkan logam berat semacam merkuri.
Anto menuturkan, LIPI sudah menguji coba di Tempat Penampungan Sampah Sementara (TPS) Sunter dengan memasang insinerator mini buatan LIPI yang dilengkapi reaktor plasma. Hasil uji emisi Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah DKI Jakarta dan PT Unilab Perdana, besaran emisi dari cerobong insinerator plasma memenuhi standar baku mutu di Indonesia, kecuali dioksin, karena Indonesia belum membuat standar pengukuran emisi dioksin.
Peneliti Pusat Penelitian Metalurgi dan Material LIPI Rahardjo Binudi mengatakan, insinerasi membuat padatan dari sampah tinggal 10 persen berupa abu. “Dengan pengolahan lebih lanjut, abu bisa dimanfaatkan sebagai pupuk, batako, atau untuk reklamasi daratan,” ujarnya.
Meski demikian, Rahardjo menekankan teknologi pembakaran sampah pilihan terakhir setelah pengelolaan sampah berjalan. (JOG)
———————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 November 2015, di halaman 14 dengan judul “Reaktor Plasma Cegah Pencemaran Udara”.