Universitas Indonesia, merupakan satu satunya universitas yang menggunakan nama bangsa dan dikenal sebagai kampus Perjuangan Orde Baru. Tanggal 2 Februari 1990 nanti UI merayakan ulang tahunnya yang ke 40. Dan UI yang dulu bermarkas di dua tempat, Rawamangun dan Salemba, kini sudah mulai menyatu di kampus baru, Depok Jawa Barat. Banyak perubahan sudah terjadi, terutama sikap mahasiswanya. Sri Fitrisia M, Myrna Ratna M, dan Tonny D. Widiastono menuliskannya dalam dua tulisan di halaman I dan sebuah tulisan di halaman II.
BASUKI, tokoh pembuat ketawa itu pernah berseloroh. Universitas Indonesia yang biasa disingkat UI itu sudah berganti nama menjadi IU. Banyolan yang ditayangkan melalui layar kaca beberapa waktu lalu itu memang pernah mencuat sebagai bahan guyonan. Tetapi ketika pemerintah mencanangkan keinginan untuk membuat senat mahasiswa pada tingkat fakultas dan universitas akhir tahun lalu, bayangan masyarakat pun lalu menerawang jauh ke belakang. Berbagai komentar atas senat mahasiswa yang muncul dari berbagai tokoh masyarakat, tidak bisa dilepaskan dari bayangan gejolak mahasiswa. Berbicara mengenai gejolak mahasiswa, bayangan masyarakat pun tak akan lepas dengan nama Universitas Indonesia.
Tetapi UI memang kini sudah berubah. Bahkan di saat memasuki masa “puber” kedua, pada usia 40 tahun, prestasi yang dicapai UI tak lagi secemerlang dulu. Gelar UI tak lagi seimbang dengan prestasi yang dicapai. Di mata masyarakat, citra UI dirasakan sudah agak memudar. UI dikesankan tidak lagi mempunyai kepedulian terhadap masalah masalah sosial yang terjadi di sekitarnya. Sebagai lembaga, termasuk juga mahasiswanya, misalnya, kerakyatannya kurang terlihat. UI sudah menjadi lembaga pendidikan yang elit.
“Pandangan masyarakat seperti itu memang tidak bisa disalahkan. Tuntutan masyarakat terhadap UI amat tinggi mengingat perannya dulu begtu besar. Sekarang, makin banyak lembaga perguruan tinggi lain yang juga memainkan peran serupa, sehingga sosok UI menjadi agak tertutup,” tanggap Dekan FISIP UI, Prof Dr Juwono Sudarsono.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Meski demikian. UI memang sedang mengalami efek kelambanan. Keterlibatan UI pada awal orde baru yang sangat tinggi di saat solidaritas pemerintah dan rakyat juga tinggi, berbeda nilai dengan situasi yang sama 25 tahun kemudian. Kini, keterlibatan yang sama dilihat sebagai UI yang mapan mempertahankan status quo dan bagian dari pemerintahan. Efek kelambanan ini menimbulkan kesan seolah olah UI dan pemerintah telah melupakan rakyat kecil.
“Ini sama sekali tidak betul karena misi perguruan tinggi negeri di mana pun adalah untuk rakyat banyak.” tambah Yuwono.
Hingga kini cantelan UI di pemerintahan masih ada, sehingga kesan UI menjadi bagian dari sistem yang mapan begitu kuat dan mengakibatkan elannya berkurang. Adanya sejumlah cendekiawan UI yang duduk dalam kabinet memang tidak bisa dipakai sebagai pedoman. Sebab, pada awal Orde Baru, sekitar 35 persen anggota kabinet adalah orang UI, sedangkan sekarang sudah susut menjadi 15 persen. Artinya, yang digunakan kini tidak melulu orang orang UI, tetapi sudah meluas. UI tidak lagi bisa memonopoli. Barangkali ini sudah tuntutan zaman, tetapi mungkin juga karena “ada sesuatu” dalam tubuh UI sendiri. Apa sih yang sedang terjadi di UI?
PERUBAHAN yang terjadi pada UI sebagai lembaga, juga tidak mungkin dilepaskan dengan keadaan mahasiswanya sekaligus lingkungannya. Dan kalau mahasiswa UI kini sering dikesani kurang peka lagi terhadap berbagai masalah sosial, itu juga tidak lepas dari keadaan secara menyeluruh. Dan saat ini, kepekaan mahasiswa di seluruh Indonesia memang mulai menurun. Tetapi di beberapa sentra, misalnya UI, penurunan itu terasa lebih drastis. Secara keseluruhan, penurunan kepekaan itu mulai terasa setelah peristiwa Malari yang barang kali disebabkan pendekatan yang dilakukan kepada mahasiswa bersifat security approach. Kepekaan yang dimaksud di sini tidak selalu bersifat oposisional dan tidak selalu nongovernment, tetapi lebih pada ketanggapan.
“Ada banyak faktor yang menyebabkannya, bukan melulu karena NKK. Di antaranya adalah faktor tempat. Bagaimana mau mengembangkan kepekaan pada suatu ekosistem yang tidak peka. Dengan kata lain, bagaimana UI mau mengembangkan kepekaan kalau UI sendiri berada dalam kota yang sedang menumpulkan kepekaan,”ujar Sartono Mukadis, mantan dosen Fakultas Psikologi UI.
Kalaupun pandangan Sartono itu benar tentu saja berbagai hal itu tidak bisa dijadikan alasan bagi UI untuk mengendurkan kepekaan sosialnya, mengingat ketajaman berpikir, antisipasi ke masa depan, ketanggapan terhadap masalah di sekitar, sifatnya sangat universal. Dan letak geografis, tentunya tidak dapat dijadikan alasan mengapa sebuah universitas bisa dekat dengan masyarakat di sekitarnya sementara universitas yang lain tidak. Menanggapi persoalan menipisnya kepekaan sosial mahasiswa asuhannya, Pembantu Rektor III UI, dr Merdias Almatsir segera menyergahnya. Kepekaan anak asuhnya justru diwujudkan dengan belajar tekun, mengingat tantangan untuk masa depan jauh lebih besar dan sulit. Di lain pihak, keadaan sekarang jauh lebih mapan daripada tahun tahun sebelumnya.
“Jadi kesadaran dan kepekaan sosial mahasiswa UI jangan dilihat kalau mereka banyak bicara, atau turun ke jalan. Zaman sudah berubah, pengalaman dulu tentu tidak bisa digunakan sebagai standar. Dalam kasus kenaikan tarif listrik, mereka juga berbicara. Atau juga menanggapi kasus Henry, si gubuk derita, anak anak tidak tinggal diam. Kepedulian itu disalurkan melalui jalan yang ada, bukan dengan teriak teriak atau turun ke jalan,” katanya.
“Perguruan tinggi lain menunjukkan concern nya terhadap persoalan rakyat bawah secara terbuka, sedang UI mencoba secara diam diam. Apakah yang diam diam itu tidak concern. Banyak penelitian di UI yang berkaitan dengan masyarakat bawah, terutama di daerah industri dan perkotaan. Masalahnya, ya karena jarang diberitakan,” tambah Yuwono.
Dalam hal kekurangpekaan UI kepada masalah sosial, pakar ekonomi UI, Dr Dorodiatun Kuntjoro Jakti melihat peran lokasi Jakarta sebagai kancah perubahan ekonomi yang sedemikian cepat, ikut memberi warna generasi muda pada umumnya. Perhatian mereka pun jauh lebih tertuju pada hal-hal konkret dan praktis ketimbang masalah idealisme. Dengan demikian, UI yang berada di Ibu Kota, berada dalam dua dimensi yang saling tarik-menarik, materialisme dan idealisme.
“Ini bukan apologia. Pengaruh yang begitu kuat pada dimensi materialisme di Ibu Kota ini menepiskan perhatian anak muda pada masalah masalah sosial. Ya karena masyarakat makin terbuka untuk segala hal yang serba materi,” ujarnya.
MESKI demikian, ada persoalan lama yang selalu ikut memateri bahwa UI tidak lagi peka terhadap masyarakat bawah. Persoalan lama itu adalah asal mahasiswa UI yang hampir 65 persen datang dari golongan kelas menengah keatas, terutama pejabat negeri sipil dan militer dari Jakarta dan kota kota besar. Artinya, orang yang mampu dan sanggup membiayai anaknya untuk mondok di Jakarta di tempat yang layak. Tentu saja mereka berasal dari sekolah yang baik dan karena status sosial ekonominya, mereka mempunyai akses cukup pada pengetahuan terbaru.
Di lain pihak, karena mereka berasal dari masyarakat yang sudah mapan, yang notabene sudah menikmati hasil pembangunan, mereka tidak merasa perlu lagi untuk bertingkah yang “aneh aneh” dan menyerempet bahaya, agar kemapanan itu tidak terusik. Maka jadilah anak yang manis manis, “anak mami” yang tidak boleh “rewel”. Dalam suasana seperti ini, mana mungkin mereka terasah kepekaannya terhadap berbagai persoalan yang muncul di masyarakat.
Sementara itu, mata kuliah yang mereka terima pun umumnya sudah mengarahkannya ke jajaran yang tinggi. Fakultas Ekonomi, misalnya -yang sering dijuluki sekolah menteri- jauh lebih terlatih untuk memikirkan dan menangani perusahaan perusahaan besar dan bukan mengurusi perusahaan kecil semacam warung padang atau warung tegal. Atau jurusan Hubungan Internasional di FISIP, yang seringkali banyak “didominasi” oleh putra putri pejabat kedubes Indonesia. Sasaran yang ingin dicapai pun jelas, diplomat!
Besarnya mahasiswa yang berasal dari kalangan menengah atas, mau tidak mau juga ikut mempengaruhi pola tingkah laku dan sikap hidup mahasiswa. Karena itu tidak perlu heran, bila masuk kampus UI, betapa mobil milik mahasiswa bisa berjajar jajar di sekitar FISIP, Sastra, Tekriik (di Depok), Ekonomi dan Kedokteran yang masih ada di Salemba. Bahkan bisa jadi, mahasiswa bermobil jauh lebih banyak daripada dosennya. Tidak perlu heran, kalau melihat mahasiswa UI datang kuliah naik BMW. Dan kelakar yang muncul kemudian, masuk UI bukan untuk mencari semangat populis tetapi untuk mengikuti arus populer yang pragmatis.
Atas dasar itu, kalaupun masyarakat punya kecenderungan penilaian bahwa mahasiswa UI banyak mendongak ke atas, menurut Yuwono, antara lain disebabkan oleh asal mereka yang kebanyakan dari kalangan menengah atas. Tiap orang adalah produk dari lingkungan dan jenjang sosial ekonominya. Lumrah bahwa aspirasi yang muncul dalam benak seseorang, sangat dipengaruhi dari mana ia berangkat, dan pandangan seseorang tentang sesuatu, tergantung dari mana kita berasal.
“Kalau anak pejabat militer dan sipil dari kalangan menengah atas aspirasinya adalah menjadi bankir, arsitek, akuntan, pejabat di wilayah kota, sebetulnya itu adalah produk dari lingkungan sosial ekonomi perkotaan. Kita kena getahnya karena kita dekat dengan lingkungan itu,” tambahnya.
Tetapi, lanjut Yuwono, justru di sinilah letak keunggulan komparatif UI. Banyaknya anak anak dari kelas menengah atas bisa dimanfaatkan untuk menjaring dana yang bisa dialokasikan untuk membiayai mereka yang berasal dari keluarga tak mampu. “Kan tidak adil, kalau kita memberlakukan ketentuan hanya membuka UI untuk yang tidak mampu, sementara yang mampu disuruh sekolah di Singapura saja,”lanjutnya.
MESKI demikian, menurut Dorodjatun, penipisan kepekaan terhadap masalah masalah sosial ini juga sedang melanda banyak tempat. Bahkan mungkin sekali keluhan serupa nanti akan muncul di kota lain. Selain itu drive untuk bekerja keras, agaknya selalu akan dikaitkan dengan imbalan jasa yang akan diperolehnya. Akibatnya, tendensi generasi muda kini mengambil pendidikan yang serba cepat, lulus, cari kerja yang enak. Jarang sekali ada yang mau mengejar sampai gelar doktor.
“Adanya kesan elit, menurut saya akibat lokasi yang memaksa suatu pola hidup, yang kebetulan pola hidup itu sangat menonjol di kalangan elit Indonesia dan didambakan oleh kelompok elit Indonesia. Jadinya, ya sangat materialistis. Apa elit Indonesia tidak demikian?” tanyanya balik.
Meluasnya gejala materialisme yang hampir mengalahkan idealisme juga mulai nampak dari riset yang makin memudar. Hal itu bukan dikarenakan tidak ada dana, tetapi karena rasa ingin tahu pun tidak ada, juga semangat untuk mencari ilmu pun tak ada. Kurang percaya? Lihat saja perpustakaan-perpustakaan, juga di UI, banyak yang kosong.
“Saya sudah beruntung kalau bisa meyakinkan mahasiswa pada waktu menulis skripsi, untuk mau enam bulan melakukan penelitian. Tapi saya tidak yakin bahwa sesudah skripsi selesai, mereka kemudian ingin mengetahui lebih banyak lagi dan mengejar pendidikan yang lebih tinggi. Sama halnya dengan imbauan untuk banyak membaca buku. Malas membaca!” ujarnya. Sementara itu, Sartono mencoba melihat adanya nilai ganda yang diterapkan pada para pengajar di UI, yaitu penanaman birokrasi yang ditutupi dengan pengabdian. Berbagai persoalan seringkali muncul hanya karena secarik kertas yang sebetulnya informal sifatnya.
Tetapi yang menjadikan Sartono tetap prihatin yaitu, dari luar UI kelihatan wah, tetapi pegawainya sendiri cenderung amburadul. Dengan kata lain, selama ini ada sikap semu. “Saya mencintai UI, tetapi kalau saya mau jujur, ada semacam luka yang berasal dari rasa sayang. Tapi bagaimanapun juga, saya tetap berharap UI dapat menjadi tempat di mana seseorang bisa menuangkan sesuatu yang tidak bisa dilakukan di tempat lain. Universitas menjadi tempat berpaling, tempat di mana seseorang bisa bicara dengan jernih tanpa pretensi apa pun termasuk mengemukakan, mempertanyakan, menggugat ide idenya,” ujarnya.
Komentar lain mengenai UI dalam usianya yang ke 40 juga muncul dari Dr Arief Budiman, sosiolog lulusan Fakultas Psikologi UI tahun 1968. Meski tak mengikuti secara akrab perkembangan UI, bahkan satu kali pun belum pernah datang ke kampus UI yang megah di Depok, ia berucap, “UI memang menyandang gelar tetapi kurang diimbangi dengan prestasi yang menonjol”. UI memang tidak sama dengan UGM, tetapi lembaga ini perlu membuat trade mark nya sendiri. Karena itu, harapan yang ditegarkan kini, UI diimpikan mengembangkan kegiatan penelitian dengan fokus tertentu.
“Perguruan tinggi lebih membanggakan dikenal karena pengembangan ilmunya, dan bukan seberapa banyak dosennya duduk di birokrat pemerintah,” ujarnya. ***
—————
Sejarah Universitas Indonesia
Universitas Indonesia (UI) didirikan 2 Februari 1950, pada awalnya menempati areal kampus Universiteit van Indonesiê hasil bentukan Pemerintah Pendudukan Belanda di kota Jakarta, Bogor, Bandung, Surabaya dan Makasar. Namun, secara spiritual UI merupakan kelanjutan dari Balai Perguruan Tinggi Republik Indonesia yang berakar pada budaya nasional Indonesia.
Secara berangsur cabang-cabang tersebut menjadi perguruan tinggi masing-masing,Universitas Airlangga (1954), Universitas Hasanuddin (1956), Institut Teknologi Bandung (1959), Institut Pertanian Bogor (1963). IKIP Jakarta (1964) dan yang terakhir Politeknik UI pada tahun 1998 menjadi Politeknik Negeri Jakarta.
Sejak 5 September 1987, UI secara resmi memiliki/menempati kampus baru seluas 318 Ha yang berlokasi di Depok (wilayah perbatasan Jakarta Selatan dan Jawa Barat), disamping kampus lama Jalan Salemba 4 seluas 93.850 meter2 dan Jalan Pegangsaan Timur seluas 7.703 meter2 keduanya di Jakarta
Pada tanggal 26 Desember 2000 melalui Peraturan Pemerintah RI Nomor 152 Tahun 2000, UI ditetapkan sebagai perguruan tinggi negeri mandiri berstatus Badan Hukum Milik Negara (BHMN) atau autonomous public university. Dalam status tersebut UI wajib lebih mengedepankan kinerja pengelolaan sebuah universitas publik dengan prinsip-prinsip efisiensi, efektifitas, akuntabilitas dan transparansi
Diambil dari Kompas, 28 Januari 1990