Di tengah tekanan terhadap lingkungan yang menguat, spesies baru flora dan fauna terus ditemukan di negeri ini. Tiap tahun, rata-rata ditemukan 200 fauna baru. Hal itu menunjukkan tingginya kekayaan biodiversitas Indonesia.
Dalam satu bulan terakhir ini saja, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengumumkan temuan tujuh spesies baru kumbang di Kepulauan Tanimbar, Maluku. Tujuh spesies itu yaitu Trigonopterus atuf, T. kumbang, T. laratensis, T. porg, T. selaruensis, T. tanimbarensis, and T. triradiatus. Temuan tersebut dipublikasikan Raden Pramesa Narakusumo dari Pusat Penelitian (Puslit) Biologi dan dua kolaboratornya dari Jerman di jurnal Zoo Keys.
Sumber: Biro Kerjasama, Hukum dan Humas LIPI, 2019
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sejak Januari hingga November 2019 saja, para peneliti LIPI telah menemkan 41 jenis atau spesies fauna baru. Beberapa temuan tersebut di antaranya mamalia nokturnal Tarsisius niemitzi di Sulawesi Tengah, burung Myzomela honeyeater (Meliphagidae) di dataran tinggi Alor, Nusa Tenggara Timur, tiga spesies baru katak (Sigalegalephrynus) di dataran tinggi Sumatera Utara, dan cicak batu (Cnemaspis) dari Muria, Jawa Tengah.
“Dari peneliti LIPI saja rata-rata bisa ditemukan 35 spesies baru binatang per tahun. Jika digabung dari para peneliti di luar LIPI totalnya bisa 200 per tahun, bahkan pernah sampai 230 temuan baru dalam setahun,” kata Kepala Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi LIPI Cahyo Rahmadi, di Jakarta, Rabu (13/11). “Temuan terbanyak berupa invertebrata, seperti kumbang yang bisa mencapai 100 spesies baru dalam satu tahun.
Data yang dikompilasi Puslit Biologi LIPI menunjukkan, dalam lima tahun terakhir total temuan fauna terbanyak ternyata di Pulau Jawa dengan dominasi kelas gastropoda atau sejenis siput, diikuti crustacea atau udang-udangan. “Selain itu, di Jawa dalam periode 2015-2019 juga masih ditemuan 2 spesies baru mamalia,” ujarnya.
–Temuan baru spesies fauna oleh LIPI selama 2015-2019. Sumber: Cahyo Rahmadi, Puslit Biologi LIPI, 2019
Menjaga ekosistem
Selain cicak batu di Muria, di pegunungan karst Kendeng, persisnya Sukolilo, Jawa Tengah, ditemukan spesies baru keong Landouria sukoliloensis. Menurut Cahyo, masih banyaknya temuan fauna baru di Jawa menunjukkan pentingnya ekosistem yang tersisa di pulau ini, termasuk pegunungan karst Kendeng, yang saat ini menghadapi ancaman penambangan industri semen. “Kalau untuk mamalia, temuan terbanyak dalam lima tahun terakhir di Sulawesi,” ujarnya.
Jatna Supriatna, Guru Besar Biologi Konservasi Universitas Indonesia (UI), saat berbicara dalam peluncuran buku “Sains untuk Biodiversitas Indonesia” mengatakan, Sulawesi merupakan salah satu wilayah yang memiliki fauna endemis tertinggi di dunia. Pada tahun 2017, Jatna dan kolaboratornya, Sharon Gursky dari Universitas Texas menemukan dua spesies tarsisius baru. Kedua spesies ini dinamakan Tarsisius spectrumgurskyae dan Tarsisius supriatnai.
Sekalipun eksplorasi dan upaya penemuan kekayaan hayati di Indonesia telah dilakukan sejak era kolonial, trutama oleh Alfred Russel Wallace, namun hingga saat peluang penemua baru masih tinggi. “Pada 2017 juga ditemukan spesies orang utan baru, Pongo tapanulensis,” kata Jatna.
Masih banyak
Cahyo juga meyakini, kajian yang lebih intensif akan terus menemukan beragam fauna baru di Indonesia. “Dari sisi proporsi temuan sebenarnya masih kurang karena keterbatasan jumlah peneliti dan fasilitas. Dengan negara sebesar ini dan kekayaa biodiversitas berlimpah, di LIPI hanya ada 70 peneliti fauna dan total di Indonesia hanya ada sekitar 150 orang yang aktif,” ungkapnya.
Identifikasi dan penemuan baru fauna amat penting di tengah ancaman kepunahan sejuta spesies secara global, sebagaimana diperingatkan oleh Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES) pada Mei 2019. Sebagai negara kepulauan dengan biodiversitas dengan endemisitas tinggi, ekologi di Indonesia sangat rapuh. Kehancuran ekosistem, terutama di pulau-pulau kecil berpotensi memunahkan spesies endemik yang tak bisa ditemukan di mana pun.
Oleh AHMAD ARIF
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 14 November 2019