Gangguan ginjal ternyata bisa menyerang anak-anak. Namun selama ini belum ada data nasional terkait anak-anak yang mengalami gangguan ginjal untuk dijadikan acuan penanganan medis dan pengambulan kebijakan untuk mengendalikan penyakit itu.
Data Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) tahun 2017 menunjukkan, sebanyak 212 anak mengalami gagal ginjal dan menjalani terapi pengganti ginjal dengan angka kematian 23,6 persen. Data itu didapat dari 14 rumah sakit pendidikan atau rumah sakit yang bekerja sama dengan fakultas kedokteran.
Dokter spesialis anak Eka Laksmi Hidayati mengatakan, data itu belum menggambarkan keseluruhan kasus gangguan ginjal pada anak yang ada di Indonesia. “Data itu diambil dari pasien yang ditangani dokter spesialis anak, belum diintegrasikan dengan pasien anak yang ditangani dokter penyakit dalam,” kata Eka pada temu media, Selasa (13/11/2018), di Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
INSAN ALFAJRI UNTUK KOMPAS–Dokter Spesialis Anak, Eka Laksmi Hidayati menjelaskan hasil temuan Ikatan Dokter Anak Indonesia tahun 2017 tentang gangguan ginjal pada anak, Selasa (13/11/2018), di Jakarta.
Berdasarkan data tersebut, ada sejumlah hal yang menjadi penyebab gagal ginjal pada anak, antara lain sindrom nefrotik, glomerulonefritis (radang ginjal yang bukan oleh infeksi), dan kelainan bawaan dengan ginjal berukuran kecil.
“Sindrom nefrotik paling sering ditemukan pada usia anak. Masyarakat menyebut ini sebagai ginjal bocor atau gangguan ginjal yang menyebabkan tubuh kehilangan banyak protein yang dibuang melalui urine,” kata dia.
Dia melanjutkan, anak-anak yang mengalami gagal ginjal stadium 5 (terminal) membutuhkan terapi pengganti ginjal. Terapi itu terdiri dari dua cara, yaitu cuci darah dan transplantasi ginjal. “Data nasional terkait jumlah anak yang menderita gangguan ginjal ini dibutuhkan agar pihak rumah sakit bisa memperkirakan kebutuhan pelayanan kesehatan yang sesuai,” kata Eka.
INSAN ALFAJRI UNTUK KOMPAS–Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Cut Putri Ariane.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Cut Putri Ariane mengakui belum ada data nasional terkait gangguan ginjal pada anak di Indonesia. Sejumlah kasus tercatat di Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kemenkes, namun data tersebut belum mutakhir. Ini disebabkan belum semua rumah sakit melaporkan kasus gangguan ginjal anak yang mereka tangani secara rutin.
“Kami memang belum mengetahui total kasus yang ada di indonesia. Mungkin saja ada rumah sakit yang melakukan pelayanan pasien gangguan ginjal pada anak tetapi belum terdata,” kata dia.
Putri menilai, data nasional terkait gangguan ginjal pada anak diperlukan mengingat masih terbatasnya fasilitas kesehatan terkait penyakit tersebut.
“Data nasional ini penting untuk mengetahui fasilitas kesehatan yang ada saat ini. Selain itu, ini juga menjadi dasar kebijakan apa yang harus dibuat pemerintah untuk menanggulangi penyakit tersebut,” kata dia.
Seorang penyintas, Viara Hikmatun Nisa (14), harus ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta untuk menjalani cuci darah. Ini disebabkan hanya RSCM yang memiliki ruang hemodialisa khusus anak. Ayahnya, Syaihul Hadi, menuturkan, di sejumlah rumah sakit lain di dekat tempat tinggalnya di Jawa Timur, belum ada ruang hemodialisa khusus anak. Akibatnya, Viara harus bergabung bersama pasien dewasa.
Deteksi Dini
Eka menjelaskan, gejala gangguan ginjal pada anak bervariasi. Pertama, gejala yang berhubungan dengan saluran kemih, antara lain bengkak simetris pada tubuh anak, hematuria atau adanya darah dalam urine, leukosituria atau peningkatan sel darah putih pada urine. Ada juga peningkatan protein pada urine, pengurangan produksi urine, dan hipertensi.
Beberapa gejala lain adalah gangguan pertumbuhan, pucat, kelainan tulang, sesak, dan demam berulang. Sebagian dari gejala ini bisa disaksikan secara kasat mata. Namun, ada beberapa yang harus dilakukan melalui uji urine di laboratorium.
“Intinya, ginjal hanya mengeluarkan sesuatu yang tidak diperlukan tubuh. Jika dalam pemeriksaan urine ada komponen yang tidak seharusnya keluar, artinya ginjal tidak bekerja dengan baik,” jelas Eka.
Putri menambahkan, gangguan ginjal butuh penanganan spesialis. Oleh sebab itu, penyakit ini sulit ditangani di fasilitas kesehatan tingkat pertama. Namun, sebagian gejalanya bisa diketahui sejak dini.
“Nanti kalau anaknya mengalami bengkak simetris, segera lapor puskesmas untuk dibuat rujukan ke rumah sakit. Di samping itu, tes urine juga bisa dilakukan di puskesmas.,” kata Putri.
Adapun kelompok berisiko pada penyakit ini antara lain, bayi dengan berat lahir rendah dan anak yang mengalami hipertensi, obesitas, dan diabetes. Selain itu, orangtua yang memiliki riwayat gangguan saluran kemih dan riwayat penyakit ginjal harus waspada. (INSAN ALFAJRI)–EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 14 November 2018