Gagal Ginjal Kronis; Berharap pada Cangkok Organ

- Editor

Selasa, 1 Maret 2016

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Gagal ginjal kronis menurunkan kualitas hidup, bahkan mengancam keselamatan jiwa penderitanya. Transplantasi ginjal menjadi harapan bagi penderita untuk bisa kembali beraktivitas secara normal. Namun, bukan perkara mudah untuk memperoleh donor yang cocok dan layanan transplantasi organ tubuh itu.

Salah satu pasien gagal ginjal kronis yang telah menjalani transplantasi ginjal itu ialah Keyse Libertinia (39). Semula perempuan yang berprofesi sebagai pendeta itu mengalami vertigo pada 2010. Dari hasil ultrasonografi, ginjalnya ukuran kecil dan mengerut. Ia didiagnosis mengalami gagal ginjal kronis karena faktor genetik.

Ia sempat berobat ke Penang, Malaysia. Kondisinya kian parah sehingga pada November 2013 ia harus menjalani cuci darah tiga kali dalam sepekan selama 1,5 tahun. Akhirnya, ia memutuskan untuk menjalani transplantasi ginjal. “Beruntung ginjal suami saya sangat cocok bagi saya,” ucapnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Persiapan cangkok ginjal di Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo (RSCM) dimulai Januari 2015. Rangkaian tes dijalani Keyse dan suaminya, Berghouser Tambunan (39), di antaranya tes virus, kecocokan darah, tes gigi, tes mulut, dan psikotes. Seusai dicangkok ginjal pada 19 Mei 2015, ia diisolasi 6 bulan di rumah karena kekebalan tubuh dikondisikan rendah saat operasi agar organ ginjal suami tak ditolak tubuhnya.

3a9c275f41ca47f7888e3b81abe60d0eKOMPAS/MEGANDIKA WICAKSONO–Instalasi Ruang Hemodialisa Rumah Sakit Umum Daerah Dr Doris Sylvanus Palangkaraya, Kalimantan Tengah, penuh dengan pasien yang sedang menjalani cuci darah, Selasa (26/1). Pada 2015, jumlah pasien yang menjalani cuci darah 9.743 orang di RS itu, 55 orang di antaranya meninggal dunia. Sulitnya mendapat donor ginjal yang cocok membuat para pasien gagal ginjal di sejumlah daerah di Indonesia harus menjalani cuci darah selama bertahun-tahun.

Setelah cangkok ginjal, ia mengaku metabolisme tubuhnya jadi lebih baik. “Dulu saya hampir putus asa, kini saya lebih kuat jalani hidup,” ujarnya.

Namun, banyak penderita gagal ginjal kronis tak kunjung menjalani transplantasi ginjal. Mereka harus cuci darah dan mengonsumsi obat-obatan selama bertahun-tahun karena tak mendapat donor ginjal. Mereka juga antre menanti ketersediaan kamar dan jadwal operasi.

Tony Samosir (32), misalnya, telah divonis gagal ginjal hipertensi sejak 2009. Tony yang juga Ketua Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) itu mengaku sulit menemukan donor bagi para pasien gagal ginjal. “Tak ada orang rela mendonorkan ginjalnya. Sebanyak 85 pasien di komunitas belum bisa transplantasi,” katanya.

Transaksional
Ada juga orang menawarkan jadi donor ginjal tetapi transaksional. “Kami menolak karena perdagangan organ tak diperbolehkan. Kami hanya bisa berharap donor dari keluarga dan mengandalkan cuci darah untuk bertahan hidup,” kata Tony.

Meski donor, tak berarti bisa segera dilayani. Tony mendaftarkan diri untuk cangkok ginjal sejak Oktober 2015. Istrinya siap mendonorkan ginjal. Hingga kini, ia belum dioperasi karena kamar di RSCM penuh. “Kamar belum tersedia, harus pakai VVIP,” keluh peserta Jaminan Kesehatan Nasional itu.

Sejauh ini, pasien menilai cangkok ginjal jadi solusi terbaik mengatasi gagal ginjal dibandingkan dengan cuci darah dan obat-obatan. Rata-rata biaya cuci darah Rp 120 juta sampai Rp 140 juta per tahun. Sementara biaya cangkok ginjal Rp 300 juta hingga Rp 400 juta.

Tingginya kebutuhan transplantasi ginjal itu tak diimbangi kapasitas rumah sakit yang memadai. Data RSCM menunjukkan, tindakan cangkok ginjal pada 2015 mencapai 127 tindakan, naik hampir dua kali lipat dibandingkan tahun 2014 yang sebanyak 87 tindakan.

Kepala Departemen Urologi RSCM Nur Rasyid menyatakan, tingginya angka cangkok ginjal disebabkan kesadaran warga terhadap kesehatan ginjal naik dan tersedianya fasilitas JKN. “Teknik terbaru operasi, yakni laparoskopi, meningkatkan keinginan pasien untuk transplantasi ginjal,” ujarnya.

Namun, kasus jual-beli ginjal yang mengemuka akhir 2015 mempersulit pasien gagal ginjal mendapat donor organ. Menurut Nur yang juga jadi Wakil Ketua Ikatan Ahli Urologi Indonesia, di RSCM, dua orang batal donor ginjal setelah kasus jual-beli ginjal. “Mereka mencemaskan kesehatan setelah donor ginjal dan khawatir diduga terlibat jual-beli organ,” katanya.

Untuk itu, badan donor organ tubuh perlu dibentuk. Selain mencegah praktik jual-beli ginjal, itu memudahkan pasien mendapat donor. (C07/C08)
—————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 Februari 2016, di halaman 14 dengan judul “Berharap pada Cangkok Organ”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes
Kalender Hijriyah Global: Mimpi Kesatuan, Realitas yang Masih Membelah
Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?
Wuling: Gebrakan Mobil China yang Serius Menggoda Pasar Indonesia
Boeing 777: Saat Pesawat Dirancang Bersama Manusia dan Komputer
James Webb: Mata Raksasa Manusia Menuju Awal Alam Semesta
Harta Terpendam di Air Panas Ie Seum: Perburuan Mikroba Penghasil Enzim Masa Depan
Berita ini 2 kali dibaca

Informasi terkait

Jumat, 27 Juni 2025 - 14:32 WIB

Zaman Plastik, Tubuh Plastik

Jumat, 27 Juni 2025 - 08:07 WIB

Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes

Jumat, 27 Juni 2025 - 05:33 WIB

Kalender Hijriyah Global: Mimpi Kesatuan, Realitas yang Masih Membelah

Sabtu, 14 Juni 2025 - 06:58 WIB

Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?

Jumat, 13 Juni 2025 - 13:30 WIB

Wuling: Gebrakan Mobil China yang Serius Menggoda Pasar Indonesia

Berita Terbaru

Artikel

Zaman Plastik, Tubuh Plastik

Jumat, 27 Jun 2025 - 14:32 WIB