Wapres: Manfaatkan Teknologi untuk Ketahanan Pangan

- Editor

Selasa, 31 Oktober 2017

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Keamanan pangan menjadi masalah yang selalu dihadapi dunia. Di Indonesia penyusutam lahan pertanian berbanding terbalik dengan pertumbuhan jumlah penduduk secara terus menerus. Teknologi diharapkan mampu menjawab tantangan ini, sehingga kebutuhan pangan bisa terpenuhi dari dalam negeri.

Di Indonesia, setiap tahun 1,5 persen lahan pertanian berubah menjadi perumahan dan lahan industri. Sebaliknya, jumlah penduduk bertambah sekitar 1,5 persen pertahun.

“Jadi, setiap tahun harus ada peningkatan produktivitas di atas 3 persen baru kita dapat berbicara tentang sustainability dan ketahanan pangan,” tutur Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam pembukaan Asia Pacific Food Forum di Jakarta, Senin (30/10). Dalam acara ini, Wapres didampingi Menteri KoordinatorBidang Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani serta Menteri Kesehatan Nila F Moeloek.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Negara pun mengatasi kekurangan dengan mengimpor bahan pangan. Indonesia, menurut Kalla, juga masih mengimpor beras tahun lalu, demikian pula jagung, terigu, gandum, bahkan cabai dan bawang. Diharapkan tahun ini kebutuhan beras bisa terpenuhi dari dalam negeri.

Untuk mengatasi kebutuhan pangan, diharap teknologi bisa dimanfaatkan. Varietas padi atau jenis tanaman pangan yang baik bisa dipilih. Pola bercocok tanam yang berkelanjutan pun perlu disebarkan ke semua petani. Pupuk digunakan sesuai kebutuhan. Pengelolaan lahan menjadi hal penting untuk mendapatkan hasil optimal.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO–Eat Asia Pacific Food Forum – Wakil Presiden Jusuf Kalla (kedua dari kanan) didampingi Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani (kanan), Menteri Kesehatan Nila Moeloek (kiri kedua), serta Pendiri dan ketua Yayasan EAT Gunhild A Stordalen membuka Eat Asia Pacific Food Forum, di Hotel Shangri-La Jakarta, Senin (30/10).

Oleh karena itu, Kalla mengharapkan semua pemangku kepentingan yang mengikuti konferensi tersebut mampu memberi sumbangsih untuk sekitar empat miliar manusia di benua Asia dan sekitar Samudera Pasifik.

Direktur EAT Foundation Gunhild A Stordalen dalam sambutannya mengingatkan, makanan tak hanya berkaitan dengan kesehatan, tetapi juga lingkungan, ekonomi dan keadilan sosial. Kenyataannya, sektor agrikultur mendorong emisi efek rumah kaca, menyebabkan deforestasi, menurunkan keragaman hayati, dan merusak ekosistem. Kendati makanan adalah urusan ekonomi terbesar di dunia, tetapi kerap kali bisnis di sektor ini tidak adil dan tidak efisien.

“Lebih dari satu miliar orang bekerja untuk memproduksi dan menyediakan makanan setiap hari termasuk di beberapa hutan dunia. Dan sepertiga dari semua yang kita produksi hilang atau terbuang,” tuturnya.

Segala tantangan terkait makanan, lanjut Gunhild, perlu diatasi dengan sistem yang berkelanjutan, adil, sehat, dan inklusif. Hal ini memerlukan sinergi baik oleh para ilmuwan, politisi, ekonom, petani, pengusaha, koki, dan konsumen.

Ketika terjadi, menurut Gunhild, banyak sekali pekerjaan tercipta dalam sistem pangan yang sehat, adil, dan berkelanjutan itu. Bahkan, nilai ekonomi yang dihasilkan bisa mencapai dua triliun dollar AS pada 2030.

Secara terpisah, Sekretaris Eksekutif Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) Bambang Widianto mengatakan, hasil Asia Pacific Food Forum di Indonesia akan termasuk dalam upaya mengatasi gizi buruk kronis (stunting). Pemerintah saat ini memastikan makanan tambahan yang disediakan benar-benar tepat sasaran. (INA)–NINA SUSILO

Sumber: Kompas, 30 Oktober 2017

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes
Kalender Hijriyah Global: Mimpi Kesatuan, Realitas yang Masih Membelah
Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?
Wuling: Gebrakan Mobil China yang Serius Menggoda Pasar Indonesia
Berita ini 8 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Rabu, 2 Juli 2025 - 18:46 WIB

Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa

Jumat, 27 Juni 2025 - 08:07 WIB

Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes

Jumat, 27 Juni 2025 - 05:33 WIB

Kalender Hijriyah Global: Mimpi Kesatuan, Realitas yang Masih Membelah

Berita Terbaru

Fiksi Ilmiah

Bersilang Nama di Delhi

Minggu, 6 Jul 2025 - 14:15 WIB

Artikel

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Sabtu, 5 Jul 2025 - 07:58 WIB