Ini merupakan kisah yang sangat membuat hati miris. Seorang anak bernama AL, putra Ibu Siami, yang bersekolah di SD Negeri Gadel 2, Desa Tandes, Surabaya, karena kecerdasannya, diminta oleh gurunya untuk berbuat curang memberi contekan pada teman- temannya saat ujian nasional sekolah dasar yang baru berlalu.
Merasa hal itu bertentangan dengan hati nuraninya, AL lalu melaporkan kasus itu kepada ibunya.Sang ibu merasa bahwa apa yang dilakukan guru kepada anaknya itu bertentangan dengan nilai luhur pendidikan yang bukan saja mengajarkan ilmu pengetahuan, melainkan juga kejujuran.
Sang ibu masih berpegang teguh pada prinsip,pendidikan yang baik bukan saja membuat anak didik menjadi pintar,melainkan juga cerdas dan jujur. Ibu Siami lalu melaporkan kasus tersebut kepada kepala sekolah. Ternyata,tak ada respons positif dari kepala sekolah.Kemudian dia melaporkan kepada Komite Sekolah lalu kepada Dinas Pendidikan di wilayah tersebut, responsnya pun kurang memuaskan.
Akhirnya sampailah berita tersebut ke media massa yang mem-blow up berita tersebut. Pemerintah Kota Surabaya melakukan penelusuran atas kasus itu. Hasilnya, kepala sekolah dan dua guru di sekolah itu dicopot. Kisah selanjutnya sungguh menyesakkan dada. Para wali murid yang lain marah dan menganggap keluarga Ibu Siami sok jadi pahlawan dan membesar-besarkan masalah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Mereka mendatangi, mendemo, dan mengintimidasi keluarga Ibu Siami beberapa kali dan menuntut agar Ibu Siami meminta maaf dalam pertemuan terbuka di Balai RW. Pada pertemuan itu,warga tidak mau menerima permintaan maaf tersebut, malah mencaci maki, mencerca,dan berteriak-teriak mengusir keluarga Ibu Siami dari kampung tempat tinggalnya sendiri.
Demi keamanan diri,keluarga Ibu Siami akhirnya terpaksa mengosongkan rumahnya dan mengungsi ke rumah keluarganya di kota lain. (http://bit.ly/IndonesiaJujur). Itulah harga sebuah kejujuran. Selama ini tampaknya sudah menjadi hal yang lumrah jika kepala daerah,kepala sekolah, guru, dan bahkan orang tua murid yang menghalalkan tindakan mencontek saat ujian nasional.
Mereka yang harusnya mengajarkan kejujuran dan moral yang tinggi justru menjadi orang-orang dewasa yang menyuruh anak-anaknya mencontek demi nama baik daerah, nama baik sekolah, nama baik guru, dan nama baik orang tua bila anak-anaknya semua lulus. Tingkat kelulusan yang tinggi dengan nilai yang amat baik dari hasil ujian nasional menjadi penggerak dari hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai kejujuran itu.
Padahal,awal yang buruk di tingkat sekolah merupakan penentu bagi sang anak apakah dia akan menjadi orang yang jujur di kemudian hari ataukah dia akan menjadi orang yang korup, serakah, dan menghalalkan segala cara.
SDM Bangsa
Sebagai seorang pendidik di tingkat perguruan tinggi, penulis selalu menekankan pada anak-anak kandung saya dan para mahasiswa agar percaya pada kemampuan diri sendiri. Hasil nilai yang anakanak saya peroleh memang belum tentu sangat tinggi seperti bila mereka mencontek dari jawaban UN yang beredar atau mencontek dari kawannya.
Anak sulung saya sempat bertanya, kalau nanti tidak lulus atau nilai UN-nya jelek bagaimana? Jawab saya, ”Biar saja, lebih baik kamu percaya diri.” Saya juga selalu menekankan bahwa jika ada mahasiswa yang membuat jawaban ujian bersifat take home sama dan sebangun dengan teman atau teman-temannya yang lain, tanpa mencari dari mana sumber jawaban, semua saya nilai D alias tidak lulus.
Pendidikan di era Reformasi ini serasa bagaikan mesin penghasil kelulusan siswa tanpa memandang kualitas. Bayangkan, Menteri Pendidikan Nasional M Nuh sangat bangga mengumumkan jika hasil UN tingkat SMA dan sederajat atau SMP/sederajat seluruh Indonesia di atas 90%.
Padahal hati kecilnya pasti terasa miris,karena dia sendiri tahu hal itu tidak mungkin terjadi bila ujian dilakukan secara jujur. Sebuah harian ibu kota pernah mengulas bagaimana tingkat pengetahuan baca tulis dan matematika anak-anak SMA di pedalaman Papua.Ada yang tidak bisa membedakan dua huruf, ada pula yang tidak bisa perkalian.
Bila UN dilakukan melalui sistem wilayah sekalipun, artinya soalnya disesuaikan dengan kemampuan anak-anak murid di daerah tersebut, tetap dapat dipastikan tingkat kelulusannya amat rendah.Ini berarti,bukan kepala daerah, guru, atau wali murid yang kemudian menekankan jumlah tingkat kelulusan harus tinggi,melainkan bagaimana mutu pendidikan di daerah itu yang harus ditingkatkan.
Kita juga bertanya bagaimana politik pendidikan nasional kita,apakah sekolah hanya sebagai mesin penghasil kelulusan siswa ataukah institusi yang akan menentukan bagaimana masa depan sumber daya manusia Indonesia ke depan. Kita tahu bahwa bila sejak dini anak-anak sudah diajarkan untuk tidak jujur,pastinya anak-anak didik itu akan sulit untuk bersaing di dalam kancah internasional dan bahkan akan menjadi caloncalon pemimpin bangsa yang tidak jujur.
Bila itu yang akan terjadi,jangan heran bila tidak sedikit politikus di negeri ini yang korup dan merusak masa depan bangsa. Kita tahu,konstitusi negara kita sudah menentukan bahwa anggaran pendidikan harus 20% dari keseluruhan nilai APBN atau setara dengan Rp244 triliun.
Dari jumlah itu, sekitar 56% untuk gaji dan tunjangan guru. Ini berarti, tidak sedikit guru-guru yang sudah diangkat dan mendapatkan gaji yang cukup besar dari pemerintah. Jika kemudian ada guru yang menyuruh anak muridnya memberi contekan pada temantemannya, ini tentu bertentangan dengan misi pendidikan itu sendiri.
Masih banyak guru seperti di Sumatera Utara melalui gerakan ”Air Mata Guru”yang masih jujur dan menentang kebijakan kepala sekolah atau temanteman gurunya agar anak-anak didik diberi jawaban soal UN sehingga tingkat kelulusannya 100%. Mereka benar-benar pahlawan tanpa tanda jasa yang memikirkan masa depan Indonesia.
Nasib para guru ini juga benar-benar menyesakkan dada. Mengutip seorang teman yang sering bertukar pikiran melalui pesan singkat, ”Kejujuran, dengan caranya sendiri akan tetap menang, kendati di tengah lingkungan kebohongan.”
IKRAR NUSA BHAKTI Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI
Sumber: Koran Sindo, 14 Juni 2011