Produksi bahan bakar nabati memerlukan proses produksi lebih panjang dibandingkan dengan produksi bahan bakar fosil. Ditambah masih tingginya biaya yang diperlukan, produksi bahan bakar nabati hampir kehilangan gemanya.
Bahan bakar nabati dari kelapa sawit, misalnya, baru bisa diolah setelah melalui proses ekstraksi, yakni buah kelapa sawit diolah menjadi minyak mentah atau crude palm oil (CPO). Dengan proses ini, investasi yang diperlukan sangat besar karena memerlukan pabrik untuk mengolah kelapa sawit menjadi CPO. Selain biaya, waktu yang diperlukan untuk memprosesnya menjadi bahan bakar nabati siap pakai juga sangat panjang.
Namun, melalui serangkaian uji coba, Thamrin Usman berhasil mempercepat proses produksi minyak nabati dari buah kelapa sawit dengan menghilangkan proses ekstraksi. Dengan demikian, biaya investasi yang diperlukan bisa lebih kecil.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Thamrin, Guru Besar dan Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Tanjungpura, Pontianak, Kalimantan Barat, mengaku telah mematenkan temuannya tersebut.
”Pada prinsipnya, dengan menghilangkan proses ekstraksi, produksi minyak nabati sebetulnya bisa dipercepat dan investasi yang diperlukan jauh lebih kecil,” katanya.
Sejak tahun 1997, hipotesa terkait percepatan produksi tersebut sudah mengganggu pikiran Thamrin. Dia lalu melakukan berbagai eksperimen.
Untuk menghilangkan proses pengolahan buah kelapa sawit menjadi CPO, ia menggunakan metode transesterifikasi dengan mereaksikan langsung bahan baku dan metanol. Metode ini dipercepat dengan menggunakan katalisator sehingga bisa langsung diperoleh produk utama biodiesel kadar 100 persen (B100) atau bahan bakar nabati murni.
Bahan baku yang dipakai Thamrin bukan CPO, melainkan buah kelapa sawit yang sudah dihaluskan. ”Saya menguji coba penghalusan buah kelapa sawit itu dengan cara di-blender,” tuturnya.
Buah kelapa sawit yang dihaluskan itu lalu direaksikan dengan metanol basa. ”Sumber basanya saya ambil dari bahan yang sangat murah untuk menekan biaya. Dari penelitian, ternyata abu tandan buah kelapa sawit kosong merupakan sumber basa yang bagus,” katanya.
Tandan buah kelapa sawit kosong adalah sampah pengolahan buah kelapa sawit menjadi CPO. Sampah itu dapat dimanfaatkan sebagai katalisator setelah dibakar dan menjadi abu.
Dipatenkan
Penelitian dan uji coba yang dilakukan Thamrin selesai pada 2007 dan dipatenkan tahun 2009. Oleh Direktorat Hak Atas Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, hak paten itu dikualifikasi tak ternilai harganya.
Hasil penelitian Thamrin juga menjadi satu-satunya penelitian asal Universitas Tanjungpura yang dipatenkan. Metode transesterifikasi dengan katalisator abu tandan buah kelapa sawit kosong itu sudah diujicobakan pada biji jarak pagar, buah kelapa, dan kelapa sawit. Hasilnya sama bagusnya.
Selain itu, ia juga menemukan metode esterifikasi. Temuan ini menggunakan bahan baku limbah ekstraksi kelapa sawit menjadi CPO yang sering disebut sludge. Temuan ini pun bisa menekan biaya produksi bahan bakar nabati karena sludge atau limbah diperoleh dengan harga murah.
Metode esterifikasi mereaksikan sludge dengan metanol menggunakan katalisator tanah liat. Metode ini langsung menghasilkan produk bahan bakar nabati murni dengan kode B100. Reaksi kimia itu juga menghasilkan produk sampingan yang bernilai ekonomi tinggi berupa gliserol yang sering dipakai industri kosmetik, farmasi, rokok, makanan, dan bahan peledak.
Bahan bakar nabati murni temuan Thamrin sudah diujicobakan pada kendaraan bermesin diesel. ”Solar dari bahan bakar fosil di mobil kami kuras habis, lalu dimasukkan bahan bakar B100 hasil penelitian. Ketika dinyalakan, mesin langsung hidup dan saat kendaraan dijalankan tak ada masalah. Bahan bakar biodiesel juga ramah lingkungan,” katanya.
Dengan kalkulasi sederhana, bahan bakar nabati murni yang menggunakan bahan baku CPO membutuhkan biaya pokok sekitar Rp 5.000 per liter. Biodiesel yang dihasilkan Thamrin menggunakan sludge hanya membutuhkan biaya pokok sekitar Rp 3.000 per liter.
”Biodiesel dari metode transesterifikasi belum dihitung biaya pokoknya secara teliti, tetapi saya bisa pastikan antara Rp 3.000-Rp 5.000 per liter karena lebih mahal dari yang menggunakan sludge, tetapi lebih murah dibandingkan CPO,” katanya.
Diproduksi massal?
Dari sisi teknologi, temuan Thamrin sebetulnya siap diproduksi secara massal. ”Tak ada masalah dari sisi teknologi dan sumber daya manusia. Indonesia siap memproduksinya. Hanya, produksi massal itu akan terhambat tarik-ulur kepentingan penyediaan minyak nabati untuk cooking oil dan bahan pangan,” katanya.
Menurut Thamrin, ketersediaan bahan baku secara berkesinambungan sangat penting jika produksi biodiesel dengan metode esterifikasi dan resterifikasi itu dilakukan secara massal. Jika berniat memproduksi bahan bakar nabati yang ramah lingkungan secara berkesinambungan, pemerintah mesti campur tangan agar tak berbenturan dengan kepentingan penyediaan minyak untuk bahan makanan.
Produksi biodiesel bukan hal baru bagi Thamrin. Sejak 1993, saat ia memulai tesis untuk meraih gelar master kimia agroindustri di Perancis, dia sudah bergabung dengan tim energi terbarukan Eropa.
”Ketika itu isu mengenai energi terbarukan sudah menghangat di Uni Eropa. Saya diminta terlibat dalam tim itu oleh profesor promotor,” katanya.
Setelah meraih gelar doktor di tempat sama, Thamrin sebetulnya diminta tetap bergabung dalam tim energi terbarukan Eropa. Namun, dia menolak karena berniat mengembangkan energi terbarukan di Indonesia.
Sekembali dari Perancis itulah dia melirik komoditas kelapa sawit sebagai bahan baku. Alasannya, komoditas itu mudah dibudidayakan dan relatif banyak dikembangkan di Indonesia.
***
Thamrin Usman
• Lahir: Pontianak, 10 November 1962
• Istri: Dewi Ayuni
• Anak:
– Nabila Pyrenina (16)
– Abdurrahman Tsany (14)
– Amirah Narazizah (9)
• Pendidikan:
– SDN Kampung Dalam Pontianak, lulus 1974
– SMP YPK Pontianak, 1977
– SMA Negeri 2 Pontianak, 1981
– S-1 Kimia Universitas Gadjah Mada, 1987
– S-2 Kimia Agroindustri Ecole Nationale Superieure de Chimie de Toulouse, Perancis, 1994
– S-3 Kimia Agroindustri Ecole Nationale Superieure de Chimie de Toulouse, Perancis, 1997
• Pekerjaan: Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Tanjungpura, Pontianak
• Karya buku:
– Industri Oleokimia Minyak Sawit, Proses, dan Produk Turunannya, 2009
– Alternatif Bahan Baku dan Metode Menghasilkan Biodiesel, 2009
[Agustinus Handoko]
Sumber: Kompas, Senin, 27 September 2010 | 03:47 WIB