DI bukunya yang mutakhir ”Semiotik” (2009)—sebuah buku terjemahan mungil yang naskahnya sebenarnya sudah belasan tahun tersimpan di laci—terungkaplah anak-kunci-hati penulisnya. Dr Sudaryanto menulis dengan jitu: ”…di sepanjang hidup kita, kita tidak dapat memilih untuk tidak menyampaikan ’makna’ ke dunia sekeliling kita.”
Sejak sekitar 1999, ia memang tidak lagi mengajar di almamaternya, Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Akan tetapi, pergulatannya dengan bidang-bidang yang menjadi perhatian dan minatnya membuat Dr Sudaryanto—ilmuwan yang ke mana-mana hanya bersepeda onthel itu-—tak lenyap dari peta ilmuwan di Indonesia, khususnya kajian linguistik dan semiotika Indonesia.
Tiga bidang minatnya adalah pertama, linguistik (sintaksis, tipologi, dan semestaan bahasa, teori linguistik, metode linguistik, leksikografi bahasa Jawa/daerah, hiposemantik Jawa); kedua, semiotika (ikonisitas verbal); dan ketiga, pemrosesan direktori dan profil.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Bahkan, para mantan mahasiswa dan koleganya di ranah linguistik sangat menghormatinya sebagai perintis dan secara terbuka menyebut Sudaryanto seorang linguis-filsuf.
”Bapak itu filsuf. Bapak Sudaryanto harus disebut eyang guru,” kata salah satu alumni Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra UGM, dengan mata berkaca-kaca, saat perayaan Peringatan 60 Tahun Dr Sudaryanto, 12 September 2009 di Kampus Universitas Sanata Dharma, salah satu dari belasan universitas di Indonesia di mana Sudaryanto menjadi dosen pembimbing program pascasarjana.
”Anak-kunci-hati” hidup Sudaryanto terungkap kembali saat ia memberi sambutan setelah seminar dan pembahasan buku kado bagi Sudaryanto berjudul Peneroka Hakikat Bahasa, Karangan Muhibah untuk Sudaryanto, terbitan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta bekerja sama dengan Universitas Widya Dharma Klaten, Jawa Tengah.
Sudaryanto mengemukakan, ilmuwan kita rakus mengimpor teori asing dan tidak pernah mencipta teori sendiri. Padahal di Inggris, di Perancis, teman-teman ilmuwan mendialogkan kajian-kajian mereka dan mereka saling menghargai temuan mereka. Dialog jadi penting jika kita menemukan isu-isu besar. ”Apa tidak mungkin di Indonesia dikobar-kobarkan isu-isu besar. Ya, tetapi ini hanya bisa dipahami untuk orang yang punya jiwa filosofis,” kata Sudaryanto menyebut dua figur filsuf (alm) Prof Dr Driyarkara dan (alm) Prof Dr Sudjatmoko.
Di rumahnya, Perumahan Jombor Baru, Mlati Sleman, ia mengungkapkan tali-temali filosofi hidup dan rentetan peristiwa mengenaskan yang menimpa diri dan kariernya sebagai ilmuwan yang disia-siakan.
Tali-temali persoalan yang dia ungkapkan mendadak mirip gaya Sudaryanto mengelola rumah dan perabot rumahnya. Tanaman sulur-suluran dibiarkan merambat dan menjulur di langit-langit ruang tamu. Di antara sulur tanaman itu anggota keluarganya bahkan menggantungkan bonekaboneka monyet…. Di ruang tamu itu pula foto hitam-putih Sudaryanto dan istrinya (yang cantik) dalam ukuran sekitar 120 X 90 sentimeter dipajang sebagai hiasan dinding utama.
”Sekarang, saya siap berperkara dan selama ini sebagai pegawai negeri sipil (PNS) tidak pernah menerima gaji,” kata dia.
Sudaryanto sebenarnya lebih siap untuk dua hal esensial: mengarungi bidang ilmu kecintaannya dan filosofinya; serta sewaktu-waktu bila diperlukan berperkara di pengadilan untuk menuntut keadilan.
Setelah karier dan hak hidupnya dirampas sejak peristiwa tahun 1992, hampir 20 tahun ia menahan diri terhadap perlakuan atasannya di Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada. Itu bermula dari penundaan penerimaan gelar profesor tahun 1992, yang ditunda secara lisan hingga 1993, tetapi terus berlarut tanpa penjelasan resmi, kecuali pernyataan dirinya dianggap tidak loyal meskipun nilainya sebagai PNS memadai. Ia secara perlahan kemudian disingkirkan ketika ia dan istrinya pada Maret 1999 ditolak untuk mengambil haknya, gaji yang sudah terlambat dibayarkan.
Sekarang, ia lebih melihat peran dirinya sebagai ilmuwan yang berusaha mempertahankan argumentasi orisinal. ”Ini penting saya tekankan karena linguis kita berusaha keras menerapkan teori-teori yang ada karena dianggap ampuh meskipun mereka kadang ragu karena datanya tidak cocok. Pada saat teori ampuh dan data valid dibenturkan, ilmuwan kita bingung.”
Itu sebabnya ia menganjurkan lebih baik mundur lebih dulu untuk memperbanyak data, lalu dipikirkan sendiri, lalu dibuat hipotetis sendiri. Yang tak kalah penting, ilmuwan kita tidak biasa mendalami latar belakang sebuah teori. ”Jadi, seperti pernyataan Bambang Kaswanti itu. Itu sebabnya adalah komplikasi jiwa yang minder,” kata Sudaryanto.
Prof Dr Bambang Kaswanti Purwo adalah kolega Sudaryanto, linguis dari Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta. Ia menilai, kekuatan Sudaryanto adalah pada kemampuan mencari data secara cepat, dan menyusunnya menjadi metode linguistik. ”Pak Dar bahkan membuang waktunya untuk membantu linguis muda meneliti,” kata Kaswanti.
Ucapan Sudaryanto yang sering kali muncul juga dikutip pada buku Peneroka Hakikat Bahasa, Karangan Muhibah untuk Sudaryanto adalah ”Orang yang dapat memberi hanyalah orang yang memiliki. Bila seorang linguis tak memiliki pengetahuan yang meyakinkan mengenai bahasa, lalu apa yang dapat diberikannya kepada ilmuwan lain?
Namun, meskipun ia sungguh-sungguh orang Jawa, ia tahu persis dunia ilmiah tidak seperti pergaulan atau adat-istiadat Jawa. ”Jaga rasa, tepa selira, itu tidak ada dalam dunia ilmiah. Oleh karena itu, kalau pendapat saya salah, saya sangat siap mendapat masukan dan kritik. Begitu pula sebaliknya, saya tidak akan sungkan mengkritik senior saya atau ilmuwan sepuh jika argumen saya lebih benar. Karena itu dunia ilmiah dan dunia akademis mestinya dunia paling demokratis: ada argumen, sanggahan harus didukung data, berani mengakui kekeliruan.
Sudaryanto dalam pergulatannya merumuskan, abad ke-21 adalah abad hanya bagi umat manusia bermutu. Jadi, yang tidak bermutu akan tersingkir. Abad ini diperuntukkan bagi dua pihak, yaitu pertama, guru dan dosen, dan kedua, para ilmuwan aneka semiotika dan para kreator aneka tanda. ”Tetapi, kita tahu kan, ternyata guru dan dosen kita martabatnya sangat rendah. Masih tergoda dan terkecoh,”
Sedangkan ilmuwan aneka semiotika dan para kreator aneka tanda adalah mereka yang tak pernah menjadi epigon (peniru).
”Ada lima kreator—dan ini tidak berurutan secara berjenjang, yaitu seniman karena karya-karyanya yang menyentuh; ilmuwan yang berperan penemuan; kalangan patiman (yaitu orang- orang yang memberikan simpati untuk menggerakkan orang) seperti pengusaha; filsuf, makhluk yang serba bebas dan gagasannya menyeluruh serta mendasar. Kreator terakhir adalah wartawan: kerja kreatif mereka yang menyajikan kebenaran dengan sudut pandang berbeda-beda menempatkan wartawan sebagai pekerjaan kreatif.
Sulur-sulur pohon di ruang tamu Sudaryanto kini menjulur bersama akar-akar budi baiknya yang selalu menopang moril dan watak para linguis muda dan koleganya…[– Hariadi Saptono]
Sumber: Kompas, Minggu, 20 Desember 2009