Pada 20 Mei 2015, Hari Kebangkitan Nasional, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir mengeluarkan surat edaran Nomor 01/M/SE/V/2015 tentang Evaluasi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Salah satu yang dievaluasi adalah Permendikbud Nomor 49 Tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN Dikti).
SN Dikti memang menjadi trending topic di kalangan para staf pengajar di universitas. Penyebabnya jelas: SN Dikti membidik para profesor yang tidak mempunyai publikasi internasional. Terkadang para profesor ini punya nama dan institusi yang besar. Tetapi, karena tak punya publikasi internasional, profesor ini tak mungkin dilibatkan dalam proses pendidikan di program studi S-3. Bahkan, kalau profesor dan doktor yang tak punya publikasi internasional ini bergabung dalam sebuah prodi S-3, maka prodi ini berdasarkan SN Dikti terancam untuk dibubarkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tidak semua jadi doktor
Indonesia memang sudah begitu lama bermain-main dengan kualitas pendidikan doktornya. Padahal, tidak semua orang mesti menjadi doktor. Para profesornya pun, terutama di kota-kota besar, tanpa dasar sering dibesar-besarkan oleh media. Mereka bahkan jauh lebih mirip dengan para selebritas daripada ilmuwan.
Munculnya SN Dikti, membuat para ilmuwan seperti ini merasa terpojok. Menurut SN Dikti, publikasi internasional adalah instrumen yang paling cocok untuk menjaring promotor yang pantas membimbing S-3. Yang menjadi dasarnya adalah output dari hasil pembimbingan yang harus menghasilkan 2 publikasi internasional bagi kandidat doktor. Dengan demikian, menjadi tidak logis apabila para promotornya justru tidak mempunyai publikasi internasional. Seharusnya promotor juga punya sedikitnya 2 buah.
Ada tiga alasan utama, mengapa masalah publikasi internasional ini harus dipertahankan dalam SN Dikti. Pertama, pada diskusi-diskusi awal, saat pembentukan dan penggabungan Kemenristek dan Dikti diwacanakan, kita berharap universitas akan dipacu ke arah riset yang semakin bermutu.
Kalau universitas diletakkan di bawah Kemendikbud, maka dikhawatirkan riset di universitas tidak ada yang mengurus implementasinya. Begitulah kira-kira, alasan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla menggabung Kemenristek dan Dikti.
Fokus riset
Karena kita ingin fokus dalam masalah riset, maka tidak bisa tidak, masalah publikasi internasional menjadi melekat di dalamnya. Ini berarti, masalah publikasi internasional menjadi semacam roh bagi Kemenristek dan Dikti. Menafikan publikasi internasional dalam Kemenristek dan Dikti, berarti kita secara sengaja mengarahkan institusi ini bergerak tanpa roh: hanya badan saja. Kalau manusia hanya punya badan saja dan tidak mempunyai roh, maka tempatnya sudah berpindah ke alam kubur.
Alasan kedua, publikasi internasional kita sudah kalah terlalu jauh bila dibandingkan sesama negara ASEAN yang jumlah penduduknya jauh lebih sedikit daripada jumlah penduduk kita. Masalah ini sudah sering sekali dibahas. Ini fakta yang sangat memalukan dan sekaligus memilukan bangsa dan negara kita. Kita tentu saja tidak mau dan tidak rela, bangsa kita dihina dan dipermalukan, karena ilmuwan dari bangsa ini tidak mau berupaya maksimal untuk melakukan perlawanan terhadap fakta yang sangat menyedihkan ini.
Alasan ketiga, di tengah kurangnya dana pemerintah untuk membangun infrastruktur dan lain-lain, Pemerintah Indonesia, telah menggelontorkan begitu banyak uang untuk menggaji para profesor di Indonesia. Di samping itu, usia pensiun para profesor pun sudah diperpanjang menjadi 70 tahun. Belum lagi pemerintah yang telah begitu banyak mengalokasikan dana untuk penelitian di universitas.
Dari mana dana ini diperoleh pemerintah? Sebagian besar dari pajak yang harus ditanggung rakyat, sebagian lagi dari kebijakan tak populer yang harus dipertaruhkan Jokowi-JK: menaikkan harga BBM.
Kalau para profesor masih berkilah dan berkeluh kesah untuk menelurkan publikasi internasional, setelah mengetahui fakta-fakta yang dikemukakan di atas, maka kita pantas untuk turut berduka cita. Kalau tidak mau melakukan riset dan memublikasikannya secara internasional, tugas mulia apalagi yang pantas dan yang harus dibebankan kepada para profesor?
Para ilmuwan Indonesia harus mempunyai jiwa nasionalisme yang tinggi untuk menjaga marwah negara bangsa ini. Di seluruh sudut dan sektor, panji-panji nasionalisme ini harus dikibarkan, termasuk juga di sektor riset, yang di dalamnya berisi para profesor dan doktor.
Publikasi atau mati
Dalam editorialnya yang berjudul Publish or Perish, Watts (1992) mengemukakan: tidak ada jalan lain untuk memastikan bahwa riset yang kita lakukan itu bermutu atau tidak, atau bahkan betul atau salah, jika kita tidak memublikasikannya. Artikel atau manuskrip harus dikirim ke jurnal yang dapat dipastikan bahwa para juri (reviewers) adalah para ahli yang sangat menguasai bidangnya, yaitu peers.
Proses peer review adalah proses yang paling penting untuk menjamin publikasi internasional yang dilahirkan dapat dipublikasi atau tidak.
Bagi para pengarang, proses peer review adalah kesempatan untuk memperoleh bantuan dari respected colleagues, sehingga manuskrip dapat direvisi dan ditingkatkan kualitasnya. Dengan demikian, proses peer review ini, bukanlah proses yang harus ditakuti atau dihindari, tetapi justru proses yang harus dihadapi secara riang gembira para profesor dan peneliti sejati.
Setelah dipublikasi, tulisan kita menjadi public domain yang siap untuk dikritisi dan diapresiasi. Di sini kita bisa memantau, siapa saja yang mengutip tulisan kita.
Dengan demikian, riset yang kita lakukan tak berhenti sebagai laporan riset saja. Tetapi, harus dipertanggungjawabkan pula kepada komunitas ilmiah secara internasional untuk mendapatkan umpan balik (feedback).
Berkah SN Dikti
Saya ingin berbagi pengalaman ketika sempat menjadi Direktur Program Pascasarjana Universitas Syiah Kuala (2009-2014). Sebelum ada SN Dikti, sangat sulit bagi kami untuk mendirikan prodi S-3.
Di samping persyaratan yang tidak jelas, rasanya kami “kurang dipercaya” untuk mendirikan prodi S-3. Setelah SN Dikti diberlakukan, sekarang di hampir semua cabang ilmu, kami memiliki prodi S-3.
Mengapa demikian? Karena untuk mendirikan prodi S-3, SN Dikti menuntut adanya publikasi internasional dari pengajarnya dan sebagian besar profesor dan doktor di Unsyiah mempunyai publikasi internasional.
Bahkan dengan adanya SN Dikti sekarang ini, beberapa profesor dan doktor dari Unsyiah sudah mulai memublikasikan hasil penelitian bersama mahasiswa S-1-nya di jurnal internasional. Sesuatu yang sebelumnya tak terbayangkan, sebelum adanya desakan SN Dikti.
Syamsul Rizal, Guru Besar Universitas Syiah Kuala
—————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Mei 2015, di halaman 7 dengan judul “SN Dikti dan Publikasi Internasional”.