Skripsi Wajib Publikasi, Siapkah?

- Editor

Kamis, 21 September 2017

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan , Surat Edaran No.152/E/T/ 2012 tentang Persyaratan Kelulusan bagi Mahasiswa Program Strata.

Poin krusial dari surat edaran yang ditandatangani oleh Dirjen Dikti Djoko Santoso pada 27 Januari 2012 itu, adalah ketentuan memublikasikan hasil penelitian di jurnal ilmiah untuk mahasiswa program strata 1 (S-1).

Untuk mahasiswa S-2 wajib memublikasikan hasil penelitian di jurnal ilmiah nasional yang terakreditasi di Dikti. Adapun untuk mahasiswa S-3 di jurnal internasional. Kebijakan ini berlaku pada kelulusan setelah Agustus 2012.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Lahirnya kebijakan ini bukan tanpa pemikiran kritis. Sadar dengan kondisi internal pendidikan di Tanah Air yang minim publikasi tulisan penelitian ilmiah sesuai dengan standar akademik, maka Kemendikbud memandang mahasiswa perlu setengah dipaksa untuk menghasilkan karya ilmiah bermutu.

Bukan saja bermutu, Kemendikbud juga melihat karya yang dihasilkan mengandung esensi kejujuran. Bukan plagiat, yang kerap dilakukan dalam penyusunan laporan tugas akhir atau skripsi mahasiswa di berbagai perguran tinggi.

Akan tetapi, niat baik pemerintah tersebut menimbulkan kebingungan di kalangan perguruan tinggi, khususnya terkait dengan kesiapan mahasiswa dan pengawasan pembuatan karya ilmiah.

Rektor Universitas Pelita Harapan Jonathan Parapak berterus terang saat ini banyak perguruan tinggi yang belum siap melaksanakan kebijakan baru tersebut. ”Hal itu sangat memberatkan bagi mahasiswa,” ujarnya kepada Bisnis pekan ini.

Menurut dia, bila kebijakan tadi berjalan tetapi tidak diawasi dengan cermat, maka bisa terjadi kecurangan. Positifnya kebijakan itu adalah melatih mahasiswa bisa menulis secara akademis, tetapi negatifnya mereka belum siap.

Di kampus luar negeri, seperti di Australia dan Amerika Serikat, bagi mahasiswa S1 jangankan menerbitkan makalah akademis, menulis skripsi saja tidak ada, ungkap Parapak kepada Bisnis pekan ini.

Bertahap
Pernyataan senada diungkapkan oleh Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) Bonaventura Satya Bharata. Menurut dia, aturan tentang kewajiban menerbitkan publikasi ilmiah bagi mahasiswa jenjang S-1 sebaiknya dibuat dengan melihat realita di lapangan.

”Jangan seakan menutup mata dengan kondisi untuk mewujudkan kebijakan tersebut. Jika semua lembaga pendidikan tinggi berada dalam kondisi ideal, artinya memiliki kualitas yang kompetitif dan merata, tentu bukan masalah,” tuturnya.

Sayangnya, realita saat ini tidak seperti itu. Kondisi antarlembaga pendidikan tinggi sangat berbeda, di kalangan perguruan tinggi swasta saja ada yang akreditasinya A, B, atau C, belum lagi perbedaan perguruan tinggi di Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa.

Bonaventura menyarankan implementasi aturan tersebut dilakukan secara bertahap, tidak langsung untuk seluruh perguruan tinggi di Indonesia. Perguruan tinggi juga harus diberikan kesempatan untuk menyiapkan seluruh keperluan penerbitan jurnal ilmiah. ”Cukup mendadak kalau semua harus berlaku per Agustus tahun ini.”

Rektor Universitas Bakrie Sofia W. Alisjahbana melihat mahasiswa sebenarnya sudah mampu menghasilkan karya tulis ilmiah karena tugas semacam itu sudah berjalan. ”Jadi tinggal pembenahan saja, di mana para mahasiswa harus diberi pengertian apa sebenarnya suatu karya ilmiah.”

Apalagi dengan kemajuan teknologi, katanya, pengawasan terhadap karya tulis ilmiah menjadi lebih mudah. Software untuk mengecek apakah suatu karya tulis ilmiah asli dan tidak ada unsur plagiat sudah banyak. Jadi pembimbing dapat dengan mudah mengecek keaslian dari suatu karya tulis.

Untuk perguruan tinggi yang telah memiliki program S-3, kebijakan Ditjen Dikti tadi tidak terlalu sulit diterapkan. Karena untuk setiap lulusan S-3 sudah diwajibkan sebelum menyadang gelar doktor, mereka harus menghasilkan minimal dua karya tulis yang dipublikasikan di jurnal ilmiah.

Untuk perguruan tinggi yang penyelenggara program S-1 dan S-2, Sofia memandang belum sepenuhnya siap, sehingga mereka harus menata kurikulum. ”Oleh karena itu, kebijakan baru tersebut perlu terus disosialisasikan, terutama untuk perguruan tinggi yang belum mapan, belum memiliki program pascasarjana (S-2 dan S-3).”

Salah satu perguruan tinggi yang menyatakan telah siap melaksakan kebijakan baru tersebut adalah Unpad Bandung. Menurut rektor perguruan tinggi itu, Ganjar Kurnia publikasi karya tulis di jurnal ilmiah merupakan bentuk akuntabilitas dan transparansi dari apa yang dikerjakan mahasiswa.

”Selain [karya ilmiah] bisa dibagi, juga harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Oleh karena itu, Unpad siap melaksanakan kebijakan baru Dikti,” tuturnya.

Menurut dia, Unpad malah sudah 3 tahun belakangan ini menerapkan publikasi karya ilmiah untuk persyaratan kelulusan. Meskipun, belum merata dan belum menjadi persyaratan utama. Untuk media publikasinya, Unpad tidak menggunakan jurnal ilmiah cetak, tetapi memanfaatkan website internal. ”Jurnalnya tidak perlu dalam bentuk hard copy, tapi bisa melalui website dan lain sebagainya. Sekarang yang menjadi persyaratan utama adalah memasukkan soft copy itu.”

Percaya diri
Ganjar menambahkan dengan adanya kebijakan ini mahasiswa juga dituntut untuk percaya diri membuat karya ilmiah. Kebijakan ini adalah upaya meningkatkan kualitas SDM perguruan tinggi yaitu mampu menulis karya ilmiah yang tidak asal-asalan. ”Kalau tidak percaya diri atau merasa belum siap ya tidak usah lulus. Ini upaya meningkatkan kualitas menulis dengan baik.”

Rektor Universitas Muhamadiyah Surakarta (UMS) Bambang Setiadji juga melihat kebijakan baru Kemendikbud ini sebagai langkah positif.

Hanya saja, dia mengingatkan unsur plagiatisme di dalam jurnal ilmiah harus dihilangkan. Inilah yang membedakan antara hasil karya ilmiah dan skripsi atau laporan tugas akhir.

”Secara jumlah halaman jurnal ilmiah itu lebih ringan tetapi yang berat adalah kejujurannya. Dikti sudah menyiapkan alat pelacak yang akan mengukur orisinalitas karya ilmiah yang dihasilkan,” jelasnya

Dengan demikian lanjut Bambang, sejak penyusunan jurnal ilmiah mahasiswa diajarkan untuk menerapkan kejujuran dengan menyusun satu laporan yang ringkas, padat, bermutu, serta dapat dipertanggungjawabkan keasliannya.

”Kami pun sudah dari setahun lalu memasang berbagai spanduk di sekitar kampus, plagiat itu sama dengan korupsi. Sejak awal, kita terus-menerus mengampanyekan hal tersebut,” tegasnya.

Upaya mahasiswa yang menghalalkan segala cara dengan menjiplak laporan tugas akhir inilah yang menyuburkan bisnis pembuatan skripsi, tesis, hingga disertasi.

Mahasiswa seolah tak ingin ribet dengan penyusunan laporan akhir hingga ratusan halaman yang kerap menguras energi tersebut.

Berdasarkan informasi yang diperoleh Bisnis, sekarang ini satu laporan skripsi bisa ditawarkan Rp 2 juta, disertasi bisa sampai puluhan juta dengan jumlah halaman ratusan.

Pakar pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia Said Hamid Hasan Pakar menilai kebijakan Kemendikbud tersebut perlu ditanjau ulang. Alasannya penyusunan kebijakan tadi hanya berdasarkan perbandingan ke Negara-negara maju, dan tidak melihat kondisi sarana dan prasarana perguruan tinggi di Tanah Air

Di mata Said standar kelulusan para calon sarjana cukup perguruan tinggi yang menentukan sebab masing-masing universitas memiliki Education for Sustainable Development (ESD), otonomi,
dan dignity.

Di samping itu, juga didukung oleh Badan Akreditasi Nasional (BAN) yang sudah terakreditasi untuk memberikan gelar kepada lulusan perguruan tinggi.

Dengan berbagai argumentasi tersebut, Said berpesan janganlah pemerintah membuat suatu keputusan yang bisa menyebabkan pendidikan mahal dan terlambatnya mahasiswa menyelesaikan studi. (K9/ K23/K29/Fita Indah Maulani/ RAHMAYULIS SALEH/Stefanus Arief Setiaji)

ISMAIL FAHMI, Bisnis Indonesia (ismail.fahmi@bisnis.co.id)

Sumber: Bisnis Indonesia, Edisi Minggu, No. 273, 19 Februari 2012 Tahun XXVII/ No. 8994
————–
Sosialisasi aturan terlalu mepet

Meski baru menginjak kuliah pada semestef I, Ressa Saridona cukup risau mendengar kebijakan baru untuk lulus perguruan tinggi. Di mana setiap mahasiswa yang menulis skripsi wajib memublikasikan risalahnya di jurnal ilmiah.

”Sepertinya itu cukup berat karena saya belum banyak baca jurnal-jurnal ilmiah, belum punya pengetahuan cara menulis ilmiah,” ujar mahasiswi jurusan Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi Unpad, saat ditemui Bisnis di kampus Unpad, Bandung.

Meski berat Ressa tetap menanggapinya positif dan berniat mulai mengasah kemampuan menulis ilmiah. Mojang Bandung ini masih merasa beruntung karena dia punya banyak waktu untuk belajar dan membuat karya ilmiah ”Ya, ini bagus juga sih untuk memotivasi mahasiswa biar mau menulis.”

Gita Widhasmara, mahasiswa semester VIII Program Pendidikan Hubungan Internasional Universitas Indonesia berterus terang untuk masuk ke jurnal ilmiah tak gampang, walaupun kampusnya memiliki media tersebut.

“Yang dimaksud jurnal ilmiah itu seperti apa? Sementara saya menunggu sosialisasi aturan tersebut dari universitas,” tuturnya.

Gita masih bingung. Karya tulis apa saja yang perlu diterbitkan di jurnal ilmiah?

”Kebetulan FISIP arahnya ke penelitian jadi tak ada masalah. Saya sudah ada stok 20 makalah. Setiap semester saya buat makalah, kalau ini syarat kelulusan akan memberatkan mahasiswa yang tidak banyak membuat makalah dalam kuliahnya,” katanya.

Gita menyayangkan surat edaran Ditjen Dikti tertanggal 27 Januari 2012 ini sosialisasinya sangat singkat.

”Satu semester persiapannya sangat singkat bagi mahasiswa yang jarang bikin makalah. Fakultas yang banyak praktik tak sebanyak FISIP untuk membuat makalah. Sosialisasi aturan dan waktu pelaksanaanya sangat mepet,” tuturnya.

Kuranq membaca
Sebagai seorang yang mengenyam pendidikan di perguruan tinggi memang menulis merupakan salah satu kemampuan yang harus dimiliki.

”Hanya sayangnya, mahasiswa sekarang kurang suka membaca. Dengan demikian, mereka menjadi represif atas berbagai peristiwa yang terjadi di sekitarnya dan kurang bijaksana,” kata dosen dan kandidat doktor Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Univesitas Indonesia Dwi Woro Mastuti.

Menurut Woro, terkadang waktu menjadi kendala dari sebuah konsultasi atau bimbingan.

Apakah jurnal di FIB mampu menampung sekian banyak makalah atau karya ilmiah dalam waktu yang singkat agar para mahasiswa tidak terlambat Iulus?

”Setahu saya, di FIB UI hanya ada satu jurnal ilmiah yaitu Jurnal Wacana. JeIas satu jurnal yang terbit sekali setiap 6 bulan itu, tidak akan mampu menampung tulisan-tulisan mahasiswa sebagai syarat kelulusan.”

Lagi pula, lanjut Woro, tingkat pemaparan sebuah tulisan S-1 berbeda dengan S-2 dan S-3. Setiap semester FIB meluluskan sekitar 200 mahasiswa. ”Saya tidak tahu bagaimana mekanisme pelaksanaan peraturan tersebut nanti.”

Sebagai kandidat doktor, Woro cenderung menuliskan hasil riset disertasinya dalam sebuah buku ketimbang jurnal.

Bila memang harus menerbitkan makalah di jurnal internasional dia mengaku kesulitan untuk menentukan jurnal internasional terakreditasi yang bisa menerima tulisan para kandidat doktor (Herry Suhendra/K9/K23/K29)

Fita Indah Maulani

Sumber: Bisnis Indonesia, Edisi Minggu, No. 273, 19 Februari 2012 Tahun XXVII/ No. 8994
————–
Dosen pembimbing ikut tanggung jawab

Kewajiban memublikasikan ringkasan skripsi, tesis, dan disertasi di jurnal ilmiah membuat kalangan perguruan tinggi pontang-panting mengarahkan mahasiswa mereka memenuhi aturan baru tersebut,

Akan tetapi bagi Universitas Indonesia, menurut rektor perguruan tinggi tersebut Gumilar Rusliwa Somantri, pelaksanaan kebijakan yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) Kementerian Pendidikan Nasional itu tidak ada masalah.

”Bagi mahasiswa [Universitas Indonesia] membuat ringkasan dari skripsi dalam format jurnal untuk S-1 regular tidak ada masalah. Mereka pada umumnya pandai-pandai. Ada dua kemungkinan [penerbitannya] yaitu di jurnal cetak atau jurnal online,” ujarnya kepada Bisnis pekan ini.

Dia menjelaskan jurnal ilmiah yang disyaratkan oleh kebijakan tersebut tidak hanya harus milik kampus. Jurnal di luar kampus pun boleh, apalagi jurnal internasional jarang yang dikelola kampus.

”Ditambah lagi, mahasiswa yang lulus setiap tahun lebih dari 5.000 orang, maka mau tidak mau harus disiapkan jurnal online,” papar Gumilar.

Untuk mengantisipasi derasnya publikasi karya ilmiah mahasiswa, Direktorat Teknologi dan Informatika UI sudah mempersiapkan jurnal online. Publikasi karya ilmiah melalui jurnal tersebut nantinya tersambung ke perpustakaan UI, sehingga semua pengunjung perpustakaan bisa membacanya

”Dengan demikian, perpustakaan sebagai dari pablik ilmu pengetahuan bisa berkembang,” tuturnya

Menurut Rektor UI, untuk menghasilkan karya ilmiah yang bagus tidak hanya menjadi tugas mahasiswa tetapi dosen pembimbing pun bertanggung jawab. Para dosen pembimbing harus mengarahkan mahasiswa secara benar mulai dari pemilihan topik, proses penelitian hingga penulisan.

Bagi mahasiswa yang harus diperhatikan adalah pemilihan topik tulisan. Penggunaan nara sumber untuk topik tulisan harus akurat sehingga terhindar dari kemungkinan duplikasi dari karya orang lain yang ditulis sebelumnya.

”Memang [ketentuan memublikasikan karya ilmiah] ini merupakan sesuatu yang baru dan akan menimbulkan pertanyaan atau kritik. Tapi masalah ini harus kita lihat dari kacamata positif,” tegasnya.

Apakah perlu bimbingan khusus? Menurut Gumilar, untuk Universitas Indonesia hal itu tidak perlu karena mahasiswa S-1 reguler sudah mengikuti mata kuliah metodologi, terkait proposal, penelitian, dan mata kuliah yang berkaitan karya ilmiah.

Di UI memang ada mata kuliah khsusus seminar metodologi atau ada juga yang menyebut seminar skripsi, seminar tesis. Mata kuliah tersebut sudah lama berlangsung.

Untuk Fakultas Ilmu Sosial dan ilmu Politik (FISIP) UI, mata kuliah tadi sebelumnya diajarkan pada semester ganjil atau genap. Akan tetapi sejak 2 tahun terakhir diadakan tiap semester dan wajib diikuti oleh mahasiswa S-1 reguler.
Setelah lulus mata kuliah tersebut, mahasiswa baru boleh turun ke lapangan untuk mengumpulkan data dan mempresentasikannya. Dengan kata lain, bagi mahasiswa UI tak ada masalah dengan kewajiban memublikasikan hasil penelitian mereka di jurnal ilmiah. (Herry Suhendra)

Sumber: Bisnis Indonesia, Edisi Minggu, No. 273, 19 Februari 2012 Tahun XXVII/ No. 8994

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Soal Polemik Publikasi Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Minta Semua Pihak Objektif
Baru 24 Tahun, Maya Nabila Sudah Raih Gelar Doktor dari ITB
Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya
Berita ini 30 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Rabu, 24 April 2024 - 13:11 WIB

Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat

Rabu, 24 April 2024 - 13:06 WIB

Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel

Rabu, 24 April 2024 - 13:01 WIB

Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina

Senin, 1 April 2024 - 11:07 WIB

Baru 24 Tahun, Maya Nabila Sudah Raih Gelar Doktor dari ITB

Rabu, 21 Februari 2024 - 07:30 WIB

Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:23 WIB

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Berita Terbaru