Bangsa Indonesia dituntut untuk lebih mengembangkan studi sejarah demi membangun fondasi identitas bangsa di tengah kehidupan global. Langkah ini dimungkinkan karena sejarawan dapat bekerja lebih optimal dalam kehidupan pasca Reformasi yang lebih bebas.
”Tanpa pengetahuan sejarah, bangsa Indonesia akan kehilangan identitas kebudayaan dan kebangsaan. Risikonya, bangsa akan terpecah belah dan tidak mampu membawa diri untuk mengejar perkembangan globalisasi,” kata sejarawan asal Inggris, Peter Carey, dalam orasinya ”The Uses and Abuses of History: A British Historian’s View of Indonesia”, di Universitas Indonesia (UI), Depok, Jawa Barat, Senin (1/12). Pidato ini bagian dari pengukuhan Carey sebagai guru besar tamu (adjunct professor) di Jurusan Sejarah UI.
Menurut Carey, pemahaman dan kecintaan atas sejarah nasional memudahkan bangsa Indonesia untuk meraih cita-cita politik, ekonomi, dan pendidikan pada masa depan. Sebagaimana dinyatakan Presiden Soekarno, kita diingatkan agar ”jangan sekali-kali meninggalkan sejarah” (jasmerah).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Ini membutuhkan kerja sama antargenerasi. Generasi muda bertanggung jawab memastikan mereka tidak melupakan sejarah dan kehilangan identitas sebagai bangsa Indonesia. Generasi tua bertanggung jawab memastikan generasi muda memiliki akses untuk mempelajari sejarah secara mendalam dan akurat,” ujar Carey.
Dia memberikan contoh, bagaimana Jerman dan Korea Selatan pernah mengalami masa kelam akibat peperangan. Namun, masyarakat kedua negara tersebut memahami bahwa untuk melangkah ke depan, mereka harus membereskan persoalan dari masa lalu itu. Bangsa Jerman pun belajar dari kesalahan partai Nazi sehingga bisa membentuk republik yang demokratis seperti sekarang.
”Hasilnya, kedua negara tersebut tidak hanya memiliki perekonomian yang makmur, tetapi juga memiliki identitas kebangsaan yang jelas. Bahkan, identitas tersebut juga menjadi salah satu daya tarik komersial,” tutur Carey.
Empat cerita
Carey menjelaskan, sejarah di Indonesia merupakan subyek yang relatif sulit. Sejak kemerdekaan, bangsa Indonesia harus membentuk sejarah mereka dari nol. Namun, jika diteliti, setidaknya ada empat cerita yang membentuk sejarah negeri ini.
Keempat cerita itu mencakup gerakan sekuler dan Islam dalam membentuk ideologi negara, kebangkitan gerakan komunis setelah masa kemerdekaan, perjuangan kemerdekaan melalui diplomasi, serta masa Orde Baru yang membatasi diskusi sejarah.
”Untuk memahami keseluruhan rangkaian peristiwa sejarah, diperlukan pandangan yang netral dan ilmiah. Perlu juga penelitian yang mendalam dan butuh waktu lama dengan biaya yang tidak sedikit,” ujar Carey.
Menurut dia, bangsa Indonesia sepatutnya menanamkan kesadaran untuk memahami pentingnya sejarah. Untuk itu, perlu dimasukkan pendalaman sejarah yang netral ke dalam kurikulum pendidikan di sekolah, sekaligus memopulerkan sejarah agar lebih menarik untuk masyarakat umum. ”Namun, tetap harus dipastikan bahwa sejarawan yang memopulerkan sejarah itu konsisten dalam studi dan penelitian,” katanya.
Dalam pengukuhan itu, Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) UI Adrianus Laurens Gerung Waworuntu mengungkapkan, selain Carey, FIB UI memiliki dua guru besar tamu yang lain. Mereka adalah ahli filologi dari Universitas Leiden, Belanda, Willem van den Molen, serta ahli prasasti dari Ecole Française d’Extrême-Orient, Arlo Griffiths. (DNE)
Sumber: Kompas, 2 Desember 2014