Pada pembukaan Kongres Forum Rektor Indonesia belum lama ini, Presiden Joko Widodo menyentil peran perguruan tinggi dalam meningkatkan kualitas kehidupan bangsa.
Lebih rincinya, Presiden menyinggung terkait kurangnya hasil riset dan kajian perguruan tinggi yang dapat digunakan pemerintah dalam memecahkan beragam persoalan bangsa. Presiden memberi contoh terkait kurangnya hasil penelitian dan paparan akademik terkait untung ruginya Indonesia bergabung dalam forum Kemitraan Trans-Pasifik (Trans-Pacific Partnership/ TPP). Pemerintah, ujar Presiden, membutuhkan banyak masukan dari berbagai pihak-termasuk perguruan tinggi-terkait jadi atau tidaknya Indonesia bergabung dalam forum ekonomi lintas negara kawasan Pasifik.
Meski demikian, beberapa pihak menganggap kritik Presiden itu salah arah. Mereka berpendapat justru pihak pemerintah dan pengambil kebijakan publiklah yang kerap mengabaikan hasil riset dan kajian akademik perguruan tinggi di Indonesia. Dengan kata lain, ada jurang pemisah yang dalam antara peneliti dan pengambil kebijakan publik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Otokritik
Penulis sendiri merasa sudah sepantasnya kritik Presiden tersebut digunakan sebagai cambuk bagi sivitas akademika perguruan tinggi Indonesia untuk berkontribusi lebih besar dalam memecahkan persoalan bangsa. Momen ini dapat dijadikan tonggak penting bagi para akademisi untuk melakukan otokritik terhadap apa yang selama ini terjadi pada dunia riset perguruan tinggi kita. Paling tidak, ada tiga hal dari sisi internal perguruan tinggi yang menjadi sorotan penulis terkait perdebatan antara riset perguruan tinggi dan kebijakan publik.
Pertama, terkait jumlah penelitian yang dihasilkan perguruan tinggi di Indonesia (baca: kuantitas). Suka atau tidak suka, faktanya, jumlah penelitian perguruan tinggi nasional tidak cukup banyak untuk dijadikan rujukan oleh para pembuat kebijakan publik. Dengan kata lain, pengambil kebijakan publik tidak dapat mengambil kebijakan berbasis bukti empiris karena memang output penelitian perguruan tinggi di Indonesia tidak cukup tersedia.
Hal ini tecermin jelas dari angka jumlah penelitian yang terekam di Scimago, salah satu portal yang menghitung data penelitian berdasarkan publikasi ilmiah yang terekam di basis data Scopus. Dalam kurun waktu tahun 1996 sampai 2014, tercatat ada 32.355 publikasi ilmiah Indonesia yang dihasilkan. Dengan angka tersebut, Indonesia berada di peringkat ke-57 dari total 239 negara yang terdaftar di Scimago, dengan AS berada di peringkat teratas (8.626.193 publikasian).
Jumlah karya penelitian Indonesia tersebut kalah jauh dibandingkan dengan negara-negara tetangga di Asia Tenggara, seperti Singapura yang jumlah publikasi ilmiahnya sebanyak 192.942 dan berada di peringkat ke-32, Malaysia (153.378; 36) dan Thailand (109.832; 43). Jika tidak meningkatkan produktivitas penelitiannya, bukan tidak mungkin Indonesia akan disalip oleh Vietnam yang dalam kurun waktu sama telah menghasilkan 24.473 publikasi ilmiah (peringkat ke-66).
Kedua, terkait kualitas penelitian yang dihasilkan. Jika kita berasumsi bahwa output penelitian di Indonesia sudah optimal jumlahnya, pertanyaannya, apakah kualitasnya memang layak digunakan oleh para pengambil kebijakan? Sayangnya, setali tiga uang dengan kuantitas, secara kualitas riset Indonesia pun masih jauh dari harapan. Masih menggunakan data Scimago periode tahun 1996 sampai 2014, dengan dasar h-index sebagai ukuran kualitas penelitian, Indonesia ternyata menempati urutan ke-58 (h-index: 140) dari total 239 negara, dengan AS menduduki peringkat pertama (h-index: 1.648).
Selain lagi-lagi peringkat kita di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand, kini, secara ukuran kualitas, Indonesia ternyata di bawah Filipina (peringkat ke-57; h-index: 147) yang jumlah output penelitiannya jauh lebih sedikit daripada Indonesia (17.783 publikasian). Ini menunjukkan bahwa kendati kuantitas output penelitian Filipina jauh lebih sedikit daripada Indonesia, dari sisi kualitas penelitiannya, negara itu bisa mengalahkan Indonesia.
Hal ketiga terkait dengan adanya mismatch antara riset untuk kepentingan publikasi internasional-seperti yang terekam di Scimago-atau riset yang dilakukan untuk menjawab persoalan kebijakan nasional. Sudah menjadi rahasia umum bahwa kedua pihak pengguna riset ini memiliki fokus yang berbeda. Jurnal-jurnal unggulan internasional, misalnya, lebih banyak mendorong para peneliti untuk memberikan kontribusi bagi teori, pustaka ilmu, dan solusi global dibandingkan menjawab beragam permasalahan para pengambilan kebijakan yang cenderung bersifat terapan dan berskala lokal nasional.
Sayangnya lagi, seiring dengan tren globalisasi pendidikan, saat ini perguruan tinggi nasional lebih terobsesi untuk menjadi universitas kelas dunia dengan target pencapaian ranking internasional seperti yang dipublikasikan oleh QS World Universities Rankings (QS), Time Higher Education Rankings (THE), atau Academic Ranking of World Universities (ARWU).
Persoalannya, para pemeringkat universitas dunia tersebut lebih menitikberatkan pada jumlah dan kualitas publikasian internasional di jurnal unggulan yang notabene-seperti disampaikan sebelumnya- kurang memperhatikan kebutuhan pengambil kebijakan lokal nasional. Tak mengherankan jika kemudian banyak peneliti perguruan tinggi berlomba-lomba untuk menembus jurnal top internasional tersebut karena memang insentif, baik secara ekonomi maupun promosi jabatan, lebih difokuskan untuk mengejar publikasi internasional tersebut.
Jalan keluar
Lalu, bagaimana jalan keluarnya? Mau tidak mau perguruan tinggi di Indonesia harus meningkatkan kuantitas dan kualitas hasil penelitiannya, sehingga kemudian layak dilirik oleh para pengambil kebijakan publik. Cukup banyak upaya yang telah dirintis dan dilakukan oleh Direktorat Pendidikan Tinggi di bawah Kementerian Pendidikan Nasional (dulu) dan Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi (kini) untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas riset perguruan tinggi nasional.
Hal itu, antara lain, dilakukan lewat beragam hibah dan insentif riset yang diberikan baik secara kelembagaan maupun setiap individu peneliti. Namun, dibutuhkan pula terobosan lebih lanjut lagi untuk mendorong penelitian Indonesia menjadi lebih baik lagi sekaligus mampu menjawab kebutuhan bangsa.
Sebagai contoh, meniru kesuksesan penyelenggaraan beasiswa pendidikan melalui lembaga pengelola dana pendidikan (LPDP), perlu dipertimbangkan adanya lembaga khusus serupa LPDP yang berupa badan layanan umum untuk mengelola, mengembangkan, dan menyalurkan dana riset untuk kepentingan nasional. Badan ini memiliki kewenangan untuk mengelola, memberikan dana penelitian khusus untuk menjawab beragam agenda permasalahan bangsa, tanpa harus terbentur birokrasi penganggaran negara seperti lazimnya pendanaan yang dikeluarkan lewat kementerian.
Hal lain yang dapat dilakukan adalah mendorong para peneliti di perguruan tinggi Indonesia untuk lebih tampil ke muka publik guna mempromosikan hasil penelitiannya. Mereka harus lebih aktif mengedukasi masyarakat dan pengambil kebijakan publik, sekaligus pandai memanfaatkan media arus utama dan media sosial yang ada.
Gatot Soepriyanto, Mahasiswa Doktoral pada Program Akuntansi di Universitas Monash, Australia
————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 Februari 2016, di halaman 7 dengan judul “Riset PT dan Kebijakan Publik”.