Dalam beberapa kesempatan, salah satunya dengan para rektor di Kopertis Wilayah V, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi menjanjikan memodifikasi ketentuan rasio dosen-mahasiswa.
Modifikasi akan dilakukan dengan memasukkan dosen tidak tetap atau kontrak selain dosen tetap ke dalam perhitungan rasio dosen-mahasiswa.
Ini berita baik karena memang dosen kontrak senyatanya terlibat dalam proses pendidikan. Namun, jika modifikasi ketentuan rasio hanya terkait dosen kontrak, tentu kurang esensial dalam peningkatan mutu program studi (prodi) karena statusnya yang tidak penuh waktu. Yang justru lebih penting memodifikasi besaran rasio dosen-mahasiswa 1/30 untuk prodi eksakta dan 1/45 untuk sosial menjadi lebih masuk akal serta mempertimbangkan aspek finansial penyelenggaraan prodi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sementara janji tersebut belum terwujud, tanggal 4 dan 24 Juni 2015 pemerintah malah mengeluarkan dua surat edaran yang menakutkan pimpinan perguruan tinggi (PT). Surat edaran pertama berasal dari Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristek-Dikti), menyatakan bahwa PT akan dicap sebagai “tidak sehat” apabila memiliki prodi yang rasio dosen-mahasiswanya lebih kecil daripada rasio ketentuan di atas.
Surat edaran kedua dari Direktur Kelembagaan dan Kerja Sama, yang menyatakan, bila rasio lebih kecil dari 1/100, pemerintah akan menonaktifkan prodi itu mulai 1 Agustus 2015. Program itu dilarang menerima mahasiswa baru. Cap “tak sehat” saja akan merusak reputasi prodi, apalagi bila sampai dapat status nonaktif.
Padahal, pendanaan utama dan terbesar prodi di PT swasta (PTS) bersumber dari mahasiswa. Sementara itu ada cukup banyak prodi yang tidak memenuhi rasio ini.
Surat Menristek-Dikti bahkan menyatakan, 1/30 dan 1/45 bukan rasio ideal, melainkan rasio toleransi hingga 50 persen. Artinya, rasio yang dibayangkan pemerintah idealnya 1/20 dan 1/30.
Angka 20, 30 dan 50 persen adalah angka-angka aneh karena tak jelas asal-usul dan kepentingannya. Angka 30, apalagi yang 20, akan menjadikan prodi sangat elitis, mahal, serta tidak peka terhadap mereka yang miskin. PTS menjadi semakin sulit diakses kebanyakan masyarakat.
Beberapa usulan
Lalu, penetapan toleransi 50 persen juga menggelikan karena mengabaikan makna toleransi yang berarti penyimpangan. Masak, penyimpangan sampai separuh? Berikut usulan saya tentang rasio ini agar lebih sesuai dengan keadaan nyata, khususnya di PTS.
Kegiatan utama prodi S-1 adalah pembelajaran sebagaimana tecermin dalam kurikulum yang hanya berisi 6 SKS skripsi plus 3 SKS kuliah kerja nyata dan kerja praktik dari total 144 SKS. Artinya, 90 persen lebih kegiatan prodi pembelajaran di kelas. Karena itu, besaran rasio dosen-mahasiswa sebaiknya ditetapkan, pertama-tama, demi terjaminnya kualitas pembelajaran lewat pembatasan jumlah mahasiswa di kelas kuliah.
Berdasarkan pengalaman saya mengajar lebih dari 25 tahun, pembelajaran dengan jumlah peserta 60 mahasiswa masih dapat berlangsung dengan baik dan nyaman. Didukung teknologi presentasi yang mudah digunakan, dosen dapat menyampaikan gagasannya dengan optimal. Bahkan ketika dosen menghendaki terjadi diskusi kelompok, kelas dapat dibagi 5-6 kelompok. Sementara itu, kegiatan praktik dapat dibantu oleh beberapa asisten sehingga meski peserta sampai 60, setiap mahasiswa tetap dapat dilayani dengan baik.
Untuk program S-1 dengan beban minimal 144 SKS, prodi harus menawarkan mata kuliah minimal 144/2 = 72 SKS/semester. Karena beban kerja ideal dosen 12 SKS, setiap prodi S-1 diharuskan pemerintah punya minimal 72/12 = 6 dosen. Angka ini cukup ideal dan sudah jadi praktik baik selama ini. Dengan jumlah dosen 6 orang dan peserta kuliah sampai 60 mahasiswa, prodi S-1 maksimal punya 240 mahasiswa untuk empat angkatan.
Meski demikian, hanya angkatan terakhir (maksimal 60 mahasiswa) yang perlu dapat bimbingan skripsi. Setiap dosen dapat mendampingi 10 mahasiswa. Ini masih ideal bagi proses pembimbingan skripsi jenjang S-1. Dari sisi finansial, kalau setiap mahasiswa membayar Rp 5 juta/semester, prodi dapat dana sekitar Rp 1,2 miliar/semester. Dana ini mencukupi untuk menggaji 6 dosen dengan layak, menyediakan fasilitas belajar yang baik, serta mungkin menyubsidi prodi lain yang kurang mahasiswanya. Hal ini dapat dengan mudah diverifikasi ke banyak PTS yang baik, di mana kelas kuliahnya rata-rata pasti berisi 60-an mahasiswa.
Oleh karena itu, saya mengusulkan rasio ideal dosen-mahasiswa adalah sekitar 1/60. Rasio ini tak perlu dibedakan antara program eksakta dan sosial karena program eksakta justru butuh dana lebih besar. Selanjutnya, dengan rasio ini, PTS diberi kesempatan untuk mencapainya dalam jangka waktu paling lambat satu tahun. Hal ini karena perekrutan dosen baru, dari pendaftaran sampai dengan memperoleh Nomor Induk Dosen Nasional, butuh paling cepat satu tahun. Sementara berdasarkan surat edaran tadi, prodi akan dapat peringatan setiap tiga bulan apabila belum dapat memenuhi rasio di atas.
Akhirnya, pemenuhan rasio dosen-mahasiswa sebaiknya tak dikaitkan dengan “kesehatannya” karena label tersebut multitafsir, menyesatkan, dan menegasikan status akreditasinya. Cukup dikatakan, misalnya, dari aspek rasio dosen-mahasiswa, prodi yang mempunyai rasio 1/60 dengan toleransi lebih kecil dari 10 persen sebagai “sangat baik”, 10-20 persen sebagai “baik”, dan lebih dari 20 persen sebagai “kurang baik”. Angka toleransi ini masih masuk akal secara kualitatif. Dengan memakai usulan ini, pemerintah mengambil posisi lebih positif terhadap PTS karena lebih memfasilitasi ketimbang membatasi peran dan kontribusi PTS bagi kemajuan bangsa.
JOHANES EKA PRIYATMA, Rektor Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 Agustus 2015, di halaman 7 dengan judul “Rasio Ideal Dosen-Mahasiswa”.