Publikasi Ilmiah dan Solusi Jangka Pendek

- Editor

Senin, 25 Februari 2013

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Karena kurang optimalnya Surat Edaran Ditjen Dikti No 152/E/T/2012 yang mewajibkan doktor memublikasikan karya ilmiah, tahun ini kewajiban tersebut akan diperketat.

Strategi yang diambil Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) secara teknis juga menarik. Demi meningkatkan kualitas jurnal ilmiah di Indonesia, Januari lalu, Dikti—bersama Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat ITB— meluncurkan Indeks Sitasi Indonesia. Ke depan, diharapkan laman tersebut bisa menjadi basis data abstrak dan sitasi dalam skala nasional.
Membangun jejaring yang mampu mengakomodasi publikasi ilmiah dosen dan peneliti dalam negeri yang terpencar tentu merupakan langkah baik. Namun, di saat bersamaan, sebagai redaktur pelaksana jurnal ilmiah nasional, saya merasakan sendiri bagaimana budaya menulis ilmiah—yang didukung kajian literatur yang serius, data yang kuat, dan analisis yang mampu mengungkap bagaimana temuan akan bermanfaat bagi publik yang lebih luas—amat langka.

Ditjen Dikti dan ITB sebagai pelaksana teknis mengambil langkah progresif menggunakan perkembangan teknologi informasi untuk mengatasi permasalahan minimnya publikasi ilmiah dalam negeri. Tetapi, jika publikasi ilmiah yang berkualitas itu langka, apakah peningkatan jumlah sitasi artikel akan menghasilkan peningkatan kualitas keilmuannya?

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Ketimbang mengungkap permasalahan struktural secara normatif, saya ingin menyampaikan bahwa minimnya publikasi ilmiah ini adalah kelalaian bersama. Permasalahan struktural ini dengan reflektif dijelaskan oleh para pengajar di Universitas Indonesia (Membangun di Atas Puing Integritas, 2012).

Permasalahan ekonomi-politik sistem pendidikan tinggi dalam negeri juga sudah menjadi pembahasan sejak 1990-an. Masalah ini makin kompleks sekitar tahun 2000-an. Dengan status Badan Hukum Milik Negara, di mana otonomi kampus dari segi keuangan ternyata tidak berkorelasi dengan peningkatan mutu pendidikan.

Berbicara dalam konteks perguruan tinggi negeri (PTN) tempat saya bekerja, banyak dosen yang tidak sempat menulis dan berkarya karena dibebankan enam mata kuliah (18 SKS) per semester (setara dengan 30-35 jam kerja per minggu) di luar memegang jabatan struktural (setara dengan posisi manajer dalam perusahaan, juga 30-35 jam kerja per minggu). Hal ini disebabkan perubahan status PTN yang memiliki implikasi sistem keuangan yang mempersulit para pemimpin departemen memproyeksikan berapa jumlah dosen baru yang perlu direkrut untuk mengatasi ketimpangan rasio dosen-mahasiswa.

Karena itu, yang diambil adalah solusi-solusi jangka pendek yang amat pragmatis. Sebutlah pemberian beban kerja berlebihan atau memberikan mata kuliah tidak sesuai keahlian akibat kurangnya dosen tetap.

Perihal peningkatan kualitas akademik, Dikti sebetulnya sudah berupaya mengembangkan kapasitas dosen dengan memberikan beasiswa doktoral untuk menempuh studi di luar negeri. Namun, karena permasalahan struktural tadi belum diatasi, ketika kembali ke Tanah Air para dosen ini kembali diberi beban mengajar yang berat, yang mempersulit mereka untuk berkarya.

Tidak ada peningkatan jumlah karya ilmiah sejak beasiswa tersebut tersedia karena permasalahan kurangnya sumber daya pengajar belum diatasi. Tak heran bila Indonesia tertinggal jauh dibandingkan negara-negara dalam regional yang sama (Evers, 2003). Sebagai ilustrasi, Singapura memiliki 94 jurnal internasional dan Malaysia memiliki 45 jurnal internasional, sementara Indonesia hanya memiliki 12 jurnal internasional.

Memikirkan Solusi
Dengan mempertimbangkan kenyataan hambatan struktural, maka inisiatif Dikti melalui Indeks Sitasi Indonesia tidak akan membuahkan hasil signifikan. Begitu pula langkah Dikti membatasi beasiswa doktoral khusus untuk program studi yang menghasilkan publikasi di jurnal internasional. Permasalahannya, setiap program studi tidak mampu membangun lingkungan akademik yang sehat sehingga menghambat pengembangan kapasitas dosen dan penelitinya.

Oleh karena itu, jika obyektif, untuk meningkatkan kualitas penelitian dan publikasi ilmiah, yang pertama harus dilakukan bukan hanya menelurkan kebijakan dari atas, tapi juga identifikasi masalah di bawah: memahami akarnya dari realitas keseharian para pengajar.

Sebagai ilustrasi, ada satu jurnal internasional—yang tak jelas peninjau dan asal-usulnya—yang menawari dosen ”negara berkembang” memublikasi karyanya dengan biaya 1.000 dollar AS dengan mengirim surat elektronik secara serentak. Solusi laissez-faire macam ini muncul karena pihak-pihak tertentu mengidentifikasi adanya ”permintaan” yang tidak dibarengi kemampuan pihak yang terlibat untuk memenuhinya. Jika Dikti tak segera mengisi ruang vakum tersebut, kemungkinan solusi macam inilah yang akan diambil, seperti dilakukan begitu banyak sektor lain di negara kita.
Oleh karena itu, yang pertama harus dilakukan adalah memberikan pelatihan kepada staf pengajar untuk membangun budaya menulis akademik. Namun, karena peneliti senior dalam negeri yang memiliki publikasi yang diakui kolega internasional amat langka, akan kurang efektif jika pelatihan tersebut dijalankan secara in-house di tiap universitas.

Konsekuensinya, pelatihan ini harus melibatkan akademisi Indonesia yang juga pegawai di sejumlah institusi pendidikan di negara seperti Australia, Belanda, dan Jepang, yang memiliki basis kajian Indonesia yang kuat.

Program Scheme for Academic Mobility 2013 (SAME) yang mendanai kerja sama antara institusi pendidikan dalam dan luar negeri bisa mengakomodasi pelatihan semacam ini. Jadi, sebetulnya pelatihan bisa direalisasikan dan dana sudah dialokasikan Dikti. Masalahnya, apakah setiap pihak yang terlibat mampu secara independen berjejaring untuk jadi bagian dari solusi.

Inaya Rakhmani,  Pengajar UI dan Kandidat Doktor Asia Research Centre, Murdoch University

Sumber: KOMPAS, 25 Februari 2013

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Mengalirkan Terang dari Gunung: Kisah Turbin Air dan Mikrohidro yang Menyalakan Indonesia
Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit
Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua
Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS
Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Melayang di Atas Janji: Kronik Teknologi Kereta Cepat Magnetik dan Pelajaran bagi Indonesia
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Berita ini 1 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 14 Juli 2025 - 16:21 WIB

Mengalirkan Terang dari Gunung: Kisah Turbin Air dan Mikrohidro yang Menyalakan Indonesia

Kamis, 10 Juli 2025 - 17:54 WIB

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Rabu, 9 Juli 2025 - 10:21 WIB

Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Berita Terbaru

Fiksi Ilmiah

Kapal yang Ditelan Kuda Laut

Senin, 14 Jul 2025 - 15:17 WIB

fiksi

Pohon yang Menolak Berbunga

Sabtu, 12 Jul 2025 - 06:37 WIB

Artikel

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:54 WIB

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Tamu dalam Dirimu

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:09 WIB