PT Kian Terindustrialisasi

- Editor

Kamis, 11 Juni 2015

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Barangkali hanya di Indonesia setiap dosen wajib memikul tiga tugas sekaligus, yakni mengajar, meneliti, dan melakukan kegiatan pengabdian kepada masyarakat.

Tiga tugas yang dirumuskan dalam konsep Tri Dharma Perguruan Tinggi ini wajib dijadikan napas setiap perguruan tinggi (PT), baik negeri maupun swasta. Kinerja seorang dosen dan reputasi sebuah PT pun diukur dari seberapa jauh ketiga dharma ini dilaksanakan secara konsisten, terintegrasi, dan proporsional.

Bagi seorang dosen, tidak ada yang salah dengan konsep Tri Dharma PT. Sebagai pengajar, bagaimanapun, tugas pertamanya adalah mengajar. Dalam dharma inilah ia mendampingi mahasiswa dalam proses menjadi individu yang bukan hanya berkecakapan, sekaligus juga berwawasan dan berintegritas. Agar ilmu yang ia ajarkan senantiasa terbarui dan semakin kaya, maka melakukan penelitian pun menjadi kebutuhan yang tak terelakkan. Kemudian agar apa yang ia teliti dan ajarkan di hadapan mahasiswa itu juga terlihat manfaat praktisnya bagi masyarakat luas, maka kegiatan pengabdian kepada masyarakat menjadi dharma yang bukan hanya tak bisa dikesampingkan, juga bentuk pertanggungjawaban moral kepada salah satu pemangku kepentingan utama lembaga PT.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Persoalannya, dalam kondisi di mana PT yang kian terindustrialisasikan, apakah seorang dosen dimungkinkan menjalankan tiga dharma itu secara semestinya? Yang saya maksud dengan PT yang kian terindustrialisasikan adalah pengelolaan PT yang semakin digerakkan nalar bisnis, yakni “cost and benefit analysis” secara finansial. Artinya, meski PT tak boleh menjadi lembaga yang berorientasi mencari laba, tetapi mendapatkan keuntungan materiil bukanlah hal yang dilarang.

Hal itu bukan hanya berlaku bagi PT swasta, yang pendanaannya memang hampir 100 persen bergantung pada uang dari mahasiswa, juga bagi PT negeri. Sebagaimana diketahui, seiring arus liberalisasi dunia pendidikan tinggi, sebagian PTN di Indonesia ada yang telah terlebih dahulu ter-“semiswasta”-kan, dan disusul banyak PTN lain dalam beberapa tahun belakangan ini. Artinya, jumlah PTN murni, dalam arti yang pendanaan untuk segala jenis biaya rutin operasional dan pengembangan sarana dan prasarana pendidikannya sepenuhnya bergantung kepada pemerintah, pun kian berkurang.

Digerakkan nalar bisnis
Salah satu wujud konkret dari pengelolaan PT yang digerakkan nalar bisnis adalah kebijakan pembukaan atau penutupan suatu program studi. Berbeda daripada negara-negara yang kebijakan resmi pendidikan tingginya berangkat dari proyeksi kebutuhan jangka sekian puluh tahun ke depan, kebijakan pembukaan dan penutupan suatu program studi yang terjadi di sebagian besar PT di Indonesia, baik negeri maupun/apalagi swasta, bergantung pada situasi pasar tenaga kerja.

Maksudnya, bila pasar tenaga kerja tengah terjadi permintaan yang tinggi akan tenaga kerja dengan latar belakang keilmuan tertentu, maka PT pun berlomba membuka program studi dengan keilmuan-keilmuan itu. Sebaliknya, bila permintaan tenaga kerja dengan latar belakang keilmuan yang lain merosot, maka program-program studi dengan keilmuan-keilmuan itu pun cenderung ditutup, atau di-merger-kan dengan program studi lain yang secara formal dianggap berdekatan. Dengan kata lain, suatu program studi dibuka dan dimekarkan, atau ditutup/merger nyaris semata-mata bergantung kepada laku-tidaknya program studi tersebut. Hampir-hampir tidak ada pertimbangan strategis keilmuan sekian puluh tahun ke depan.

Apa konsekuensinya bagi dosen bila PT dikelola dengan nalar bisnis dan mentalitas “aji mumpung” itu? Di sinilah konsep mulia Tri Dharma PT menjadi sesuatu yang nyaris tak mungkin dilaksanakan dengan semestinya.

Satu hal yang hampir selalu terjadi pada program-program studi yang tengah laku keras adalah tidak memadainya perbandingan antara pertumbuhan jumlah mahasiswa dan dosen. Rasio dosen-mahasiswa semakin melebar. Konsekuensinya, banyak dosen yang beban mengajarnya serta jumlah bimbingan penulisan tugas ilmiahnya makin tak masuk akal. Bisa dibayangkan bila seorang dosen harus mengampu 7-9 mata kuliah per semester dalam belasan kelas paralel, plus jumlah bimbingan penulisan tugas ilmiah (skripsi/tesis/disertasi) yang mencapai puluhan. Apakah mungkin ia punya cukup waktu untuk melakukan penelitian dengan semestinya?

Jangankan penelitian, mengajar dengan semestinya pun belum tentu sanggup. Mengajar pun menjadi mekanistis, tak ubahnya putar ulang materi yang telah ia susun sekian tahun sebelumnya. Memeriksa draf tugas-tugas ilmiah bimbingannya pun jelas tak mungkin bisa cermat dan mendalam. Kegiatan pengabdian kepada masyarakat mungkin masih sanggup ia lakukan, tetapi barangkali hanya formalitas sekaligus tak lebih dari sekadar variasi dari rutinitas kegiatan di kampus.

Artinya, Tri Dharma PT memang bisa berjalan, tetapi tak lebih dari formalitas belaka. Ini bukan karena para dosen enggan melaksanakannya, tetapi lebih karena akibat kondisi struktural PT yang semakin digerakkan nalar bisnis.

Hal-hal yang ideal sering sulit diwujudkan bukan karena hal- hal itu terlalu ideal, tetapi lebih karena kondisi yang ada tidak mendukung untuk mewujudkannya. Akibatnya, yang terjadi tak lebih formalitas belaka.

Solusinya ada dua pilihan: tuntutan yang ideal itu disederhanakan, atau kondisi riil yang ada dibuat kondusif bagi terwujudnya tuntutan yang ideal itu. Pilihan kedua hanya mungkin bila kebijakan yang cenderung melepas PT ke dalam mekanisme pasar direm, dan pemerintah kembali menjadi penanggungjawab utama penyelenggaraan PT.

Yang terjadi sekarang ini adalah pemerintah menempatkan diri sebagai regulator segala aspek penyelenggaraan pendidikan tinggi, sembari mengurangi tanggung jawabnya. Tidaklah mengherankan bila banyak edaran atau surat keputusan atau instruksi pejabat tinggi dari kementerian yang mengurusi masalah pendidikan tinggi mentah dalam pelaksanaan di lapangan. Terlalu banyak contohnya untuk disebutkan di sini.

Budiawan, Dosen Kajian Budaya dan Media, Sekolah Pascasarjana UGM
——————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 Juni 2015, di halaman 7 dengan judul “PT Kian Terindustrialisasi”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Baru 24 Tahun, Maya Nabila Sudah Raih Gelar Doktor dari ITB
Anak Non SMA Jangan Kecil Hati, Ini 7 Jalur Masuk UGM Khusus Lulusan SMK
Menyusuri Jejak Kampus UGM Tjabang Magelang
67 Gelar Sarjana Berbagai Jurusan Kuliah di Indonesia, Titel Punya Kamu Ada?
Berita ini 0 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Rabu, 24 April 2024 - 13:11 WIB

Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat

Rabu, 24 April 2024 - 13:06 WIB

Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel

Senin, 1 April 2024 - 11:07 WIB

Baru 24 Tahun, Maya Nabila Sudah Raih Gelar Doktor dari ITB

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB