Program Cetak Sawah Dinilai Kurang Memberikan Dampak Maksimal

- Editor

Kamis, 2 Juli 2020

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Program cetak sawah yang dilakukan di sejumlah daerah dinilai tidak memberikan dampak maksimal terhadap peningkatan ekonomi masyarakat. Selain itu, muncul pula potensi kerusakan ekologis.

Program cetak sawah di Kalimantan Tengah dinilai bukan sebagai jawaban bagi pencapaian kedaulatan pangan di Indonesia. Hal ini berkaca dari proyek lumbung pangan di sejumlah wilayah yang pada praktiknya tidak menguntungkan masyarakat kecil.

Ketua Dewan Nasional Foodfirst Information And Action Network (FIAN) Indonesia Laksmi Savitri mengatakan, sejumlah proyek cetak sawah yang tidak memberikan dampak maksimal, antara lain, Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang kemudian berubah menjadi Merauke Food Estate (MFE) di Papua dan Ketapang Food Estate (KFE) di Kalimantan Barat.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Menurut Laksmi, pengelolaan proyek lumbung pangan tersebut oleh korporasi tidak memiliki ruang untuk integrasi sosial budaya warga setempat pada ekonomi baru. Proyek tersebut juga mengubah lanskap yang masif sehingga menimbulkan persoalan ekologis.

”Pada praktiknya, proyek tersebut banyak sekali masalah di lapangan. Di semua wilayah food estate tersebut, yang paling beruntung adalah mereka yang menjadi broker, baik broker tanah maupun broker tenaga kerja,” ujarnya dalam diskusi daring, Rabu (1/7/2020).

Selain itu, Laksmi juga menilai kedaulatan pangan sulit tercapai di Indonesia. Sebab, saat ini Indonesia telah menjadi bagian dari sistem pangan global. Karakteristik sistem ini ialah sangat berorientasi produksi, ada spesialisasi wilayah, menerapkan perdagangan bebas, ada penyatuan hulu ke hilir yang didominasi rantai pasok pangan oleh supermarket global, serta menciptakan korporatisasi pertanian.

”Adanya sistem pangan global ini menyebabkan kita tidak tahu pasti makanan kita berasal dari mana. Pada akhirnya, sistem pangan yang sudah rusak ini berdampak pada kerusakan ekologis dan kesehatan,” katanya.

Dalam mencapai kedaulatan pangan, diperlukan strategi gerakan sosial dan perubahan kebijakan negara yang menghormati, melindungi, serta memenuhi hak atas pangan dan gizi. Upaya tersebut ditujukan untuk mereformasi sistem pangan yang tengah terbelenggu rezim pasar bebas.

Guru Besar Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Azwar Maas mengemukakan, lahan gambut ada yang diperuntukan sebagai fungsi budidaya dan lindung. Adapun program cetak sawah dari pemerintah dilakukan di lahan dengan fungsi budidaya dan nongambut.

Menurut Azwar, yang turut meninjau langsung area cetak sawah di Kalimantan Tengah tersebut, rencana kegiatan tanaman pangan itu tidak hanya di bekas Proyek Lahan Gambut (PLG) 1995, tetapi juga di bekas Proyek Pembukaan Persawahan Pasang Surut (P4S) pada 1974 silam.

”Yang kami kunjungi memang bukan lahan gambut, tetapi tidak tahu persis apakah dulu ada unsur gambut. Sebab, setiap bentang lahan itu tidak mungkin seragam dan ada mikro reliefnya yang cembung sehingga bisa terisi oleh gambut,” ujarnya.

Meski demikian, karakteristik lahan tersebut masih kurang cocok untuk ditanami tanaman produksi. Oleh karena itu, perlu dilakukan konsep perbaikan sistem tata air sesuai kemauan tanaman sehingga ada sirkulasi air. Perbaikan ini juga dapat memberikan air segar dan mampu membilas sumber racun yang timbul dari tanah.

Selain itu, perlu juga melakukan perbaikan media tanam berupa pengeluaran racun, pemberian bahan pembenah, pupuk, dan menjaga gangguan tanaman. ”Kajian ini harus diikuti dan sejalan dengan perkembangan tata airnya. Jadi tidak dapat menata airnya saja tanpa melihat karakteristik lahan yang akan dikembangkan,” katanya.

Oleh PRADIPTA PANDU

Editor: PRADIPTA PANDU

Sumber: Kompas, 1 Juli 2020

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes
Kalender Hijriyah Global: Mimpi Kesatuan, Realitas yang Masih Membelah
Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?
Wuling: Gebrakan Mobil China yang Serius Menggoda Pasar Indonesia
Berita ini 7 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Rabu, 2 Juli 2025 - 18:46 WIB

Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa

Jumat, 27 Juni 2025 - 08:07 WIB

Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes

Jumat, 27 Juni 2025 - 05:33 WIB

Kalender Hijriyah Global: Mimpi Kesatuan, Realitas yang Masih Membelah

Berita Terbaru

Fiksi Ilmiah

Bersilang Nama di Delhi

Minggu, 6 Jul 2025 - 14:15 WIB

Artikel

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Sabtu, 5 Jul 2025 - 07:58 WIB