Sidang Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEA-2) di Nairobi, Kenya, Senin (23/5), mengingatkan besarnya dampak udara tercemar bagi kesehatan dan kesejahteraan manusia. Tiap tahun, 7 juta orang di dunia, mayoritas anak balita dan ibu rumah tangga, meninggal akibat buruknya kualitas udara.
Dampak jangka pendek polusi udara memang terbatas. Namun, dalam jangka panjang, partikel-partikel superkecil di udara tercemar itu memicu peradangan luas di dalam tubuh dan mengganggu kemampuan tubuh membakar energi. Konsekuensinya, kasus penyakit degeneratif dan faktor risikonya meningkat, mulai dari kegemukan, diabetes, hingga penyakit jantung.
Asap kendaraan, rokok, kebakaran lahan, penggunaan kayu bakar, arang atau kompor minyak tak hanya memicu penyakit saluran pernapasan. “Penyerapan dan sirkulasi udara tercemar dalam tubuh tidak hanya memengaruhi paru-paru,” kata peneliti Public Health Ontario dan Institute for Clinical Evaluative Sciences Kanada Hong Chen, seperti dikutip BBC, 8 Desember 2015.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Berdasarkan uji laboratorium, tikus yang terpapar udara tercemar 10 minggu punya volume lemak tubuh lebih besar pada perut dan organ dalam dibandingkan tikus yang menghirup udara bersih. Udara tercemar membuat sel tikus membesar 20 persen, mengurangi sensitivitas terhadap hormon insulin, dan memicu reaksi berantai yang mengganggu hormon pengendali nafsu makan.
Proses
Saat partikel kecil berukuran 2,5 mikrometer (PM2,5) atau 2,5 per sejuta meter yang biasa memicu kabut tipis polusi di perkotaan terhirup, partikel itu mengiritasi kantong udara kecil dan lembab di paru-paru. Kantong itu jalan masuk oksigen menuju aliran darah.
Akibatnya, paru-paru stres dan mengirim pesan ke sistem saraf hingga memicu pelepasan hormon yang mengurangi potensi insulin dan menarik darah di jaringan otot yang sensitif terhadap insulin, sehingga tubuh sulit mengendalikan kadar gula darah secara ketat. Kondisi itulah yang menjadi gerbang bermulanya penyakit diabetes.
Partikel kecil itu, lanjut Michael Jerrett dari Universitas California, Berkeley, Amerika Serikat, mendorong pelepasan besar-besaran sitokin, molekul yang memicu peradangan. Pelepasan sitokin juga akan mendorong sel kekebalan tubuh menyerang jaringan sehat. “Akibatnya, selain respons jaringan terhadap insulin terganggu, proses di otak yang mengatur pelepasan hormon pengelola nafsu makan pun kacau,” ujarnya.
Berbagai proses itu membuat keseimbangan energi di dalam tubuh terganggu sehingga memunculkan berbagai gangguan metabolisme tubuh. Selain diabetes dan obesitas, risiko hipertensi yang memicu gangguan kardiovaskular juga meningkat.
Meski mekanisme yang memicu berbagai gangguan metabolisme akibat udara kotor itu masih diperdebatkan ahli, berbagai studi menunjukkan korelasi antara tingkat polusi udara dan prevalensi penyakit degeneratif masyarakat suatu wilayah.
Penelitian Chen di Ontario lebih dari 14 tahun memperlihatkan, setiap ada 10 mikrogram partikel per meter kubik udara, risiko diabetes naik 11 persen. Penelitian lain di Swiss menunjukkan peningkatan resistensi insulin, hipertensi, dan lingkar perut penduduk yang tinggal di daerah berpolusi udara tinggi.
Penelitian Andrew Rundle dari Universitas Columbia, AS, menunjukkan, anak-anak yang lahir di daerah dengan udara tercemar berpeluang 2,3 kali lebih besar mengalami obesitas.
Kondisi itu mengkhawatirkan mengingat sejumlah kota di Asia memiliki tingkat polusi udara tinggi. Bahkan, di sejumlah kota Indonesia saat kebakaran lahan dan hutan 2015, kandungan partikel bisa lebih dari 7.000 mikrogram per meter kubik udara.
Pemicu lain
Jerrett mengingatkan, potensi pencemaran udara bukan hanya berasal dari luar rumah. Paparan asap dari dalam rumah, seperti asap rokok, juga menaikkan berat badan anak lebih cepat. “Gabungan paparan asap rokok berpadu efek polusi di luar rumah itu memberi pengaruh lebih besar,” lanjutnya.
Meski demikian, Abby Fleisch dari Sekolah Kedokteran Harvard, AS, mengatakan, berbagai penelitian itu baru mampu mengaitkan paparan asap dengan kondisi kesehatan masyarakat, belum mampu membuktikan bahwa satu faktor memicu kondisi lain. Untuk itu, faktor selain polusi, khususnya faktor individu, yang memicu kegemukan harus diperhatikan.
Pencemaran udara tak bisa dijadikan penyebab utama kegemukan dengan mengabaikan gaya hidup. Namun, karena banyak penduduk tinggal di perkotaan, pencemaran udara dalam jangka panjang akan berdampak besar pada manusia.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pertengahan Mei lalu, memaparkan, 80 persen masyarakat urban terpapar udara kotor. Sebanyak 98 persen kota di negara miskin dan berkembang memiliki kualitas udara buruk, sedangkan di negara maju 56 persen kotanya memiliki mutu udara yang tak sesuai ketentuan WHO.
Oleh karena itu, pembatasan polusi udara di perkotaan harus segara dilakukan, meski kenyataannya berbagai kebijakan sulit menekan polusi udara akibat terus berkembangnya aktivitas ekonomi manusia. Yang jelas, upaya nyata terarah dan terukur tersebut mutlak agar manusia bisa meraih kualitas hidup terbaiknya.(BBC.COM/WHO.INT/UNEP.ORG/MZW)
————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 Juni 2016, di halaman 14 dengan judul “Polusi Udara Picu Kegemukan”.