Permukaan Laut Bisa Naik 3,6 Meter dalam Satu Abad

- Editor

Kamis, 4 April 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Hasil penelitian mengungkapkan permukaan laut pernah naik hingga 3,6 meter dalam satu abad. Kenaikan itu bisa membawa konsekuensi serius pada masyarakat maupun berbagai kehidupan yang berada di pesisir.

Kenaikan permukaan air laut telah menjadi ancaman utama kehidupan yang disebabkan oleh pemanasan global. Penelitian terbaru menemukan, pencairan es di masa lalu pernah menyebabkan kenaikan permukaan laut dengan kecepatan sekitar 3,6 meter per abad dan fenomena ini bisa kembali terjadi di masa depan.

Kajian tersebut dipimpin ilmuwan dari Universitas Durham di Inggris, menggunakan catatan geologi permukaan laut masa lalu. Catatan itu digunakan untuk menjelaskan lapisan es yang bertanggung jawab atas kenaikan permukaan laut di masa depan. Laporan studi ini dipublikasikan di jurnal Nature Communication pada Kamis (1/4/2021).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Catatan geologi menunjukkan, pada akhir zaman es terakhir atau sekitar 14.600 tahun lalu, permukaan laut naik sepuluh kali lipat dari laju saat ini. Hal itu karena terjadinya fenomena Meltwater Pulse 1A (MWP-1A), yaitu kenaikan permukaan laut setinggi 18 meter dalam 500 tahun atau 3,6 meter dalam 100 tahun. Hingga saat ini, komunitas ilmiah belum dapat menyetujui tentang lapisan es mana yang bertanggung jawab atas peningkatan pesat permukaan laut ini.

”Meskipun (fenomena MWP-1A) diidentifikasi lebih dari 30 tahun lalu, sangat menantang untuk menentukan lapisan es mana yang merupakan penyumbang utama kenaikan dramatis permukaan laut ini,” sebut penulis utama Yucheng Lin di Departemen Geografi di Universitas Durham.

Studi baru ini menggunakan data permukaan laut geologis terperinci dan teknik pemodelan mutakhir untuk mengungkap sumber MWP-1A. Menariknya, sebagian besar air hasil lelehan ini berasal dari bekas lapisan es Amerika Utara dan Eurasia, dengan sedikit kontribusi dari Antartika.

Selain membanjiri wilayah yang luas di dataran rendah, pelepasan air tawar dalam jumlah masif ke laut, setara dengan mencairnya lapisan es dua kali ukuran Greenland dalam 500 tahun, bakal mengganggu sirkulasi laut dan berikutnya terhadap iklim. Mengetahui sumber air lelehan akan meningkatkan akurasi model iklim yang digunakan untuk mereplikasi masa lalu dan memprediksi perubahan di masa depan.

—— a-c: Pola kehilangan massa es untuk NAIS, AIS dan SIS, yang digunakan untuk menghasilkan sidik jari permukaan laut yang ditunjukkan dalam (d-f) yang mewakili perubahan permukaan laut relatif global yang diinduksi elastis sesuai dengan satu unit kehilangan massa es dari setiap lapisan es. Sumber: Yucheng Lin, dkk. Jurnal Nature Communication, 2021

Lewati titik kritis
Penemuan ini terjadi bersamaan dengan mencairnya lapisan es Greenland dengan cepat, yang berkontribusi pada kenaikan permukaan laut dan perubahan sirkulasi laut global. Penelitian terpisah oleh para peneliti dari Northumbria University dan tim yang dipublikasikan di jurnal The Cryosphere pada 25 Maret 2021 telah mengonfirmasi untuk pertama kalinya bahwa situasi di Pine Island Glacier, Antartika Barat, dapat melewati titik kritis, yang mengarah ke kemunduran yang cepat dan tidak dapat diubah yang akan memiliki konsekuensi signifikan terhadap permukaan laut global.

Pine Island Glacier merupakan wilayah es yang mengalir deras yang menghilangkan area es Antartika Barat, seukuran kira-kira dua pertiga ukuran Inggris. Saat ini, Pine Island Glacier bersama dengan tetangganya gletser Thwaites bertanggung jawab atas sekitar 10 persen dari kenaikan permukaan laut global yang sedang berlangsung.

Sebelumnya, para ilmuwan telah berargumen bahwa wilayah Antartika ini dapat mencapai titik kritis dan dapat menyebabkan runtuhnya seluruh Lapisan Es Antartika Barat, yang mengandung cukup banyak es untuk menaikkan permukaan laut global lebih dari 3 meter.

Kajian para peneliti dari Universitas Northumbria ini untuk pertama kalinya menunjukkan bahwa titik kritis itu semakin dekat. Menggunakan model aliran es mutakhir yang dikembangkan oleh kelompok penelitian glasiologi Northumbria, tim telah mengembangkan metode yang memungkinkan titik kritis dalam lapisan es untuk diidentifikasi.

Untuk Pine Island Glacier, studi mereka menunjukkan bahwa gletser tersebut memiliki setidaknya tiga titik kritis yang berbeda. Peristiwa ketiga dan terakhir, yang dipicu oleh peningkatan suhu laut sebesar 1,2 derajat celsius bakal menyebabkan mundurnya seluruh gletser yang tidak dapat kembali lagi.

Para peneliti mengatakan bahwa pemanasan jangka panjang serta perubahan arus laut dan pola angin dapat mengekspos lapisan es Pine Island Glacier ke perairan yang lebih hangat untuk periode waktu yang lebih lama. Ini bisa membuat perubahan suhu sebesar ini semakin meningkat.

Penulis utama studi ini, Sebastian Rosier dari Departemen Ilmu Geografi dan Lingkungan Universitas Northumbria, mengatakan, dugaan kawasan ini untuk melewati titik kritis telah diketahui sebelumnya. ”Penelitian kami adalah yang pertama untuk memastikan bahwa Pine Island Glacier memang melewati ambang kritis ini,” katanya.

Naiknya permukaan laut akibat pemanasan iklim menimbulkan risiko besar bagi masyarakat, meningkatkan pemahaman kita tentang mengapa dan seberapa cepat perubahan bisa terjadi akan membantu kita merencanakan dampaknya.

—-Laju kenaikan muka air laut semakin cepat dari tahun ke tahun. Sumber: BIG

Menurut Kepala Pusat Jaring Kontrol Geodesi dan Geodinamika Badan Informasi Geospasial (BIG) Gatot H Pramono dalam diskusi di Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika pekan lalu, laju kenaikan muka air laut global saat ini semakin cepat.

”Kenaikan muka air laut dipengaruhi tiga hal, yaitu perubahan iklim memanaskan suhu laut sehingga mengembang. Ini kontribusinya 30 persen. Selain itu, mencairnya es yang juga berkontribusi 30 persen. Faktor lain berupa penurunan tanah yang berkontribusi 40 persen,” tuturnya.

Menurut Gatot, jika tanpa memperhitungkan penurunan daratan, pada periode 1900-1930 kenaikan muka air laut global hanya 0,6 mm per tahun, tetapi pada 1930-1992 menjadi 1,2 mm per tahun. Pada 1993-2015 kenaikan muka air laut menjadi 3,2 mm per tahun dan pada 2010-2015 menjadi 4,4 mm per tahun.

Oleh AHMAD ARIF

Editor: ICHWAN SUSANTO

Sumber: Kompas, 2 April 2021

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Berita ini 2 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:17 WIB

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 16:09 WIB

Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB