Dampak krisis iklim sudah semakin terasa di dunia. Hal itu ditandai dengan semakin memburuknya kualitas udara dan semakin panasnya suhu rata-rata di dunia, termasuk Indonesia. Maka, diperlukan langkah serius dari pemerintah untuk turut mengatasi krisis iklim.
Guna mengingatkan akan pentingnya mengatasi krisis iklim, Aliansi Peduli Krisis Iklim Indonesia melakukan Pawai Peduli Krisis Iklim, Sabtu (26/10/2019), di Jakarta. Peserta aksi berjalan kaki dari Stasiun MRT Dukuh Atas menuju Taman Aspirasi di depan Istana Negara. Mereka membentangkan spanduk dan poster, menyanyikan yel-yel, serta berorasi.
KOMPAS/JUMARTO YULIANUS–Aliansi Peduli Krisis Iklim Indonesia melakukan Pawai Peduli Krisis Iklim, Sabtu (26/10/2019). Mereka mengingatkan pemerintah akan pentingnya mengatasi krisis iklim.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak mengatakan, panas ekstrem yang dirasakan di beberapa wilayah Indonesia akhir-akhir ini adalah representasi dari pemanasan global. Jika melihat statistik iklim, sembilan dari 10 tahun terakhir adalah tahun terpanas bumi sejak suhu bumi bisa diukur sekitar 140 tahun lalu.
KOMPAS/JUMARTO YULIANUS–Kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak, Sabtu (26/10/2019), di Jakarta.
Stasiun Meteorologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) di Jawa hingga Nusa Tenggara rata-rata mencatat suhu udara maksimum 35-39,4 derajat celsius pada 19-22 Oktober 2019. Suhu terpanas 39,4 derajat celsius terjadi di Semarang, Jawa Tengah, pada 22 Oktober (Kompas, 23/10/2019).
”Itu semua berubah karena krisis iklim sudah terjadi. Pemerintahan Joko Widodo dengan kabinet barunya harus serius mengatasi krisis iklim. Caranya dengan transisi secepatnya dari energi kotor (batubara) ke energi terbarukan serta menjaga hutan yang masih tersisa,” tuturnya.
Menurut Leonard, energi fosil batubara dan kerusakan hutan adalah sumber emisi karbon terbesar di Indonesia, bahkan di dunia. Kerusakan hutan terjadi akibat kebakaran, pembalakan, perusakan lahan gambut, dan berbagai kejahatan korporasi. ”Harus ada perubahan progresif dan fundamental menuju energi terbarukan dan secara serius menyelamatkan hutan,” ujarnya.
Akibat krisis iklim, Leonard menyebutkan, hampir 90 persen bencana di Indonesia adalah bencana hidrometeorologis, yakni bencana yang bersumber dari cuaca ekstrem dan curah hujan ekstrem. Pola siklon tropis di Indonesia juga sudah tidak normal. Siklon tropis yang normalnya menjauhi khatulistiwa, justru malah mendekati khatulistiwa dalam beberapa tahun terakhir. ”Pola-pola yang tidak normal itu adalah dampak dari perubahan iklim yang harus kita sadari,” katanya.
KOMPAS/JUMARTO YULIANUS–Aliansi Peduli Krisis Iklim Indonesia melakukan Pawai Peduli Krisis Iklim, Sabtu (26/10/2019), di Jakarta. Mereka mengingatkan pemerintah akan pentingnya mengatasi krisis iklim.
Juru Kampanye Digital 350.org Indonesia, Irfan Toni Herlambang, mengatakan, kondisi bumi saat ini tidak baik-baik saja. Masyarakat sudah merasakan dampak suhu panas di sejumlah wilayah Indonesia. ”Krisis iklim itu ada di depan mata kita. Pemerintah jangan lagi menganggapnya sebagai hal yang biasa,” ujarnya.
Laporan Panel Ahli Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change/IPCC) menyebutkan, waktu untuk mengatasi krisis iklim sudah sangat terbatas. Untuk membuat bumi menjadi lebih baik, waktunya kurang dari 11 tahun terhitung sejak tahun ini.
Menurut Toni, Indonesia seharusnya bisa meninggalkan energi fosil karena memiliki potensi energi terbarukan sangat besar, yakni hampir 500.000 megawatt (MW). ”Untuk itu, diperlukan langkah-langkah yang luar biasa dari pemerintah,” katanya.
Terabaikan
Menurut Pemimpin Tim We Make Change Indonesia Sharon Simamora, persoalan krisis iklim di Indonesia masih terabaikan. Pemerintah belum serius mengatasinya karena tersandera kepentingan politik. ”Kalau melihat susunan kabinet baru untuk lima tahun ke depan, isu-isu iklim sepertinya masih tetap terabaikan,” katanya.
Toni mengatakan, beberapa menteri di dalam Kabinet Indonesia Maju memiliki hubungan yang sangat erat dengan perusahaan energi fosil, yakni gas, minyak, dan batubara. Mereka bahkan berada di balik perusahaan-perusahaan itu. ”Kami melihat tidak ada semangat untuk mengatasi krisis iklim yang terjadi,” ujarnya.
Meskipun demikian, menurut Sharon, semangat masyarakat untuk memperjuangkan perubahan dari energi fosil ke energi terbarukan agar bumi menjadi lebih baik jangan sampai tergerus. ”Saya tetap menaruh harapan besar di kabinet yang baru ini. Semoga para pemimpin Indonesia mempunyai komitmen untuk melakukan perubahan itu,” tuturnya
Oleh JUMARTO YULIANUS
Editor YOVITA ARIKA
Sumber: Kompas, 27 Oktober 2019