Pencemaran Udara Turunkan Angka Harapan Hidup 1,2 Tahun

- Editor

Senin, 1 April 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Laporan terbaru Air Quality Life Index oleh Energy Policy Institute at the University of Chicago memberi harapan bahwa angka harapan hidup orang Indonesia bisa ditingkatkan melalui perbaikan kualitas udara. Dalam laporan itu disebutkan, pencemaran udara menurunkan rata-rata angka harapan hidup orang Indonesia sekitar 1,2 tahun.

Perbaikan kualitas udara tersebut bisa dicapai dengan melakukan berbagai perbaikan regulasi pengelolaan kualitas udara maupun penegakan hukum. Ini bisa menjadi pertimbangan para pengambil kebijakan untuk menakar antara manfaat dan dampak pada lingkungan serta manusia maupun pertumbuhan ekonomi.

Laporan yang disusun Energy Policy Institute at the University of Chicago (EPIC) ini berjudul Indonesia’s Worsening Air Quality and its Impact on Life Expectancy (update March 2019). Para peneliti membandingkan kualitas udara daerah-daerah di Indonesia dengan pedoman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) terkait polusi partikulat halus (PM2,5).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

KOMPAS/RIZA FATHONI–Aktivis yang menamakan diri Gerakan Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta (Ibu Kota) menggelar aksi di Bundaran HI, Jakarta, Rabu (5/12/2018). Dalam rangkaian aksinya, mereka juga mengajukan notifikasi gugatan warga negara kepada tujuh tergugat, yaitu Presiden RI, Menteri LHK, Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Jawa Barat, dan Gubernur Banten, sebagai bentuk kekecewaan kepada pemerintah yang dinilai lalai menangani polusi udara di Jakarta. Melalui gugatan tersebut, diharapkan pemerintah dapat menerbitkan strategi dan rencana aksi yang jelas soal pengendalian pencemaran udara.

“Indonesia sudah mengambil langkah penting untuk mengurangi polusi. Saat telah bergerak maju, perhitungkan semua biaya dan manfaat kebijakan sebelum menetapkan dan memastikan semua batasannya terpantau dan ditegakkan dengan hati-hati dalam menempuh jalan panjang menuju peningkatan kualitas udara,” kata Michael Greenstone, Milton Friedman Professor in Economics dari Universitas Chicago, merespons wawancara Kompas melalui surat elektronik, Sabtu (30/3/2019).

Friedman menciptakan AQLI bersama rekan-rekannya di EPIC sejak November 2018. Indeks ini dibangun bukan saja untuk menunjukkan kerusakan yang disebabkan oleh polusi, namun juga menginformasikan keuntungan yang diperoleh dari kebijakan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Ini bisa menjawab tantangan negara-negara yang menghadapi pertumbuhan ekonomi sekaligus dihadapkan pada perlindungan lingkungan dan kesehatan publik.

AQLI menunjukkan bahwa polusi partikulat di Indonesia mulai muncul menjadi masalah sejak tahun 1998. Mulai tahun tersebut hingga tahun 2016, konsentrasi polusi partikulat meningkat 171 persen, membuat negara Indonesia menjadi salah satu dari dua puluh negara berpolusi tertinggi di dunia. Peningkatan yang tajam terjadi beberapa tahun terakhir, dengan peningkatan polusi lebih dari dua kali lipat hanya dari tahun 2013 ke tahun 2016.

LAPORAN AQLI MARCH 2019–Grafik Peningkatan Konsentrasi PM2,5. Diambil dari Laporan Energy Policy Institute at the University of Chicago (EPIC) berjudul Indonesia’s Worsening Air Quality and its Impact on Life Expectancy (update March 2019).

Dalam laporan itu disebutkan, salah satu rekomendasi adalah memperketat regulasi pembatasan polusi udara pada cerobong asap PLTU berbahan bakar batubara. Pembakaran batubara tersebut mengemisikan karbon hitam (bentuk dari partikulat halus), sulfur dioksida (SO2), dan nitrogen oksida (NO2) yang akan bereaksi dengan material di atmosfer menjadi partikulat halus.

Meskipun pembangkit listrik dari batubara meningkat lebih dari dua kali lipat sejak 2010 untuk memenuhi permintaan energi yang meningkat, peraturan tentang emisi pabrik batubara masih kurang ketat dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia. Sebagai contoh, batas konsentrasi PM, SO2, dan NOx dalam emisi pabrik batubara Indonesia 3 hingga 7,5 kali lebih tinggi (lebih longgar) dibandingkan aturan di China dan 2-4 kali lipat lebih tinggi dibandingkan pembangkit listrik di India yang dibangun pada 2013-2016.

Tahun 2016, sekitar 80 persen penduduk Indonesia yang berjumlah lebih dari 250 juta tinggal di wilayah dengan rata-rata tingkat polusi partikulat tahunan melampaui pedoman WHO. Di Jakarta, kawasan yang ditinggali lebih dari 10 juta orang, rata-rata penduduk akan hidup 2,3 tahun lebih cepat (singkat) jika tingkat polusi yang tinggi ini terus berlanjut, dibandingkan jika pedoman WHO dapat dipenuhi. Di Sumatera Selatan, penduduk kota Palembang rata-rata kehilangan 4,8 tahun harapan hidup dan penduduk di Kabupaten Ogan Komering Ilir kehilangan 5,6 tahun harapan hidupnya.

“Kebijakan Indonesia yang kuat untuk mengurangi polusi udara partikulat dapat membuat orang bisa hidup lebih lama dan memiliki kehidupan yang lebih sehat,” kata dia.

Dalam laporannya, AQLI juga menyinggung langkah-langkah positif Indonesia dalam menekan kejadian kebakaran hutan dan lahan pasca 2015. Diantaranya memperpanjang moratorium izin hutan serta pembentukan Badan Restorasi Gambut (BRG).

Namun di sisi lain, upaya Indonesia untuk meningkatkan standar baku mutu emisi pada PLTU berbahan bakar batubara belum kelar. Kebijakan untuk merevisi aturan yang telah berusia lebih dari 10 tahun tersebut mendapatkan respons pro dan kontra. Disebut lagi dalam laporan, apabila revisi tersebut dilakukan, standar baku mutu emisi di Indonesia tak akan lebih ketat dibandingkan China dan India.

AQLI berdasarkan pada studi perbandingan di mana Greenstone dan rekan penulisnya melakukan penelitian di Cina berdasarkan Huai River Winter Heating policy. Eksperimen tersebut memungkinkan mereka untuk mengisolasi dampak polusi udara dari faktor lain yang memengaruhi kesehatan, dan melakukan hal tersebut pada konsentrasi yang sangat tinggi yang terjadi di China, India, Thailand, Indonesia, dan negara-negara lain saat ini.

Tahap penyusunan
Dikonfirmasi terkait laporan ini Direktur Pengendalian PEncemaran Udara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Dasrul Chaniago mengatakan, tidak ada kota megapolitan dan metropolitan di dunia yang memiliki angka PM2,5 seperti standar WHO (tahunan 10 mikrogram per meter kubik dan harian 25 mikrogram per meter kubik). Ia mengatakan, regulasi PM2,5 di Indonesia dalam pengukuran indeks standar pencemaran udara (ISPU) masih dalam tahap penyusunan.

Namun Indonesia telah memiliki baku mutu PM2,5 yaitu 15 mikorgram per meter kubik (tahunan) dan 65 mikrogram per meter kubik (harian). Alasan baku mutu tidak ditingkatkan pada standar WHO, kata dia, karena standar WHO tersebut ibaratnya visi misi dalam Pembukaan UUD yang menjadi high call atau angka ideal untuk dicapai.

Terkait angka harapan hidup, ia mengatakan faktor lain seperti pemenuhan gizi serta faktor lain juga berpengaruh. Karena itu, ia heran di Sumatera Selatan malah angka kehilangan harapan hidup mencapai lima tahun. Diduga ini bersumber dari asap kebakaran hutan dan lahan, ia mengatakan “Tidak tiap hari ada kebakaran dan kabut asap kan di Sumatera.”

Friedman mengakui Jakarta tak sendirian dalam pertarungannya melawan polusi udara. Di pusat kota di seluruh dunia, aktivitas komersial dan konsumsi energi tingkat tinggi menyebabkan peningkatan emisi polusi. Karenanya, pembuat kebijakan nasional dan lokal menghadapi tantangan berat untuk menyeimbangkan kebutuhan energi yang terjangkau dan andal dengan kebutuhan untuk meminimalkan biaya kesehatan akibat polusi.

Ia menekankan agar pengambil kebijakan dengan hati-hati menimbang biaya dan manfaat dalam menerapkan kebijakan yang efektif dari sisi keterjangkauan harga dan kebersihan udara. Disebutkan, kota terpadat di dunia, Tokyo, memiliki tingkat polusi partikulat 13 mikrogram per meter kubik yang hanya sedikit melebihi tingkat aman WHO 10 mikrogram per meter kubik.

Perhitungannya, partikulat memotong polusi hanya 3 bulan dari kehidupan rata-rata penduduk Tokyo, berbeda dengan 2,3 tahun di Jakarta. Warga Manila, Karachi, dan Bogota, semuanya kehilangan harapan hidup kurang dari 6 bulan pada tingkat polusi udara saat ini.

Oleh ICHWAN SUSANTO

Sumber: Kompas, 1 April 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel
Seberapa Penting Penghargaan Nobel?
Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024
Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI
Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin
Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Berita ini 34 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:50 WIB

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:46 WIB

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:41 WIB

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:31 WIB

Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:22 WIB

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB