Wacana penataan internal manajemen perguruan tinggi melalui penggabungan perguruan tinggi swasta merupakan tahap awal pembinaan dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. Namun, menggabungkan tak akan mangkus dari segi falsafah berdirinya setiap PTS dulu kalanya.
Tak ada kata pasti berapa banyak jumlah perguruan tinggi (PT) yang ideal dalam sebuah negara. Dari jumlah yang ada saat ini, capaian angka partisipasi murni (APM) PT masih 31 persen, jauh dari yang sudah dicapai negara sekelas Korea Selatan dan Jepang di atas 60 persen.
Perguruan tinggi swasta (PTS) memang jadi sorotan penting mengingat keberadaannya mengusik logika dari berbagai sudut pandang. Persebaran lokasi keberadaannya tidak merata antar- pulau-pulau utama. Di Jawa banyak jumlahnya, sementara luar Jawa jarang, yang jadi salah satu pemicu migrasi calon mahasiswa dari luar Jawa ke Jawa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Keberadaan jurusan yang tersedia dengan yang dibutuhkan juga belum seimbang. Penyelenggaraan bidang keilmuan yang bergelar (S-1) banyak, sementara penyelenggara pendidikan kepoliteknikan terbatas dan dapat dihitung dengan jari. Capaian akreditasi baik (B dan A) masih terbatas, dan yang banyak itu tidak terakreditasi atau akreditasi C. Jauh lebih penting lagi adalah jaminan ”mutu” untuk sebanyak 70 persen anak muda yang menggantungkan cita-cita masa depannya.
Jumlah PTS melebihi angka 4.043 dan PTN sebanyak 370. Ini telah membuat wacana semakin menggelinding agar PTS dikurangi. Wakil Presiden Jusuf Kalla termasuk yang memandang bahwa penggabungan antarinstitusi PTS sangat diperlukan agar lebih efisien dari sisi pandang bisnis. Namun, implementasinya tidak mudah.
Masa depan mahasiswa
Boleh saja beberapa PTS digabungkan, tetapi mesti didasari atas berbagai pemenuhan kepentingan. Kepentingan masa depan mahasiswa dapat dalam bentuk perbaikan efisiensi eksternal, yang dilihat dari keterpakaian para alumnus dengan masa tunggu waktu yang lebih pendek masuk ke pasar kerja.
Memperpendek masa tunggu waktu kerja berupa pengembangan kemandirian bekerja jauh lebih perlu. Apa pun kondisi eksternal pasar kerja dan ekonomi di daerah-daerah, PTS mesti segera melakukan koreksi diri. Dimensi keperluan pasar kerja apa yang berubah berimplikasi pada penyesuaian kurikulum dan metode pembelajaran apa yang seharusnya diperoleh mahasiswa selama perkuliahan.
Orientasi keilmuan akan melahirkan manusia-manusia yang cerdik, pintar, dan cepat dalam mengambil keputusan. PTS sewaktu awal berdiri umumnya mengajukan pembukaan jurusan berorientasi keilmuan, banyak peminat, mudah dikelola, sedikit biaya laboratorium. Padahal, dilema yang dirasakan adalah untuk menguatkan keilmuan sangat bergantung pada penyediaan dosen yang telah menempuh jenjang pendidikan lanjutan minimal S-2, dan tentunya bermutu dan profesional.
Menyediakan dosen memerlukan investasi yang tidak sedikit dan tidak mudah, jangka panjang, serta menjadi kendala utama selama ini. PTS mengakal-akalinya dalam menyediakan dosen. Akhirnya dosen tidak tersedia secara memadai. Kepercayaan masyarakat semakin kurang, dan berbagai jurusan ditinggalkan oleh masyarakat.
Sementara untuk memenuhi jurusan yang orientasinya memenuhi keterampilan, peserta didik memerlukan dosen dan laboratorium yang mahal. Pendiriannya terkendala dan pengelolaannya menjadi tidak layak.
Menggabungkan PTS-PTS tidaklah sesuatu yang mungkin karena pendirinya berbeda-beda dalam tujuan. Pengalaman di Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) Wilayah X, banyak PTS yang berorientasi bisnis, ada yang berorientasi sejarah, ada yang berorientasi penyediaan ruang belajar murni sosial keagamaan. Aset mereka berbeda satu sama lainnya. Alhasil, proses auditnya akan kompleks. Karena itu, Kemristek dan Dikti mesti menyiapkan skenario dan konsepsi yang jelas dan matang untuk menata kembali PTS ini.
Pematangan konsep
Empat hal yang dapat dikondisikan agar PTS yang ada sekarang eksistensinya tidak merugikan peserta didik. Pertama, PTS didorong untuk memastikan dan mengoreksi kembali misi keberadaannya. Tidak salah misi untuk menyediakan pendidikan yang mengarah pada vokasi dibandingkan bertahan pada misi untuk menyediakan pendidikan keilmuan, tetapi mesti dirumuskan oleh kalangan internal PTS secara jelas. Proses pembinaan dapat dilakukan selama selang lima tahun ke depan melalui fungsi pengawasan, pengendalian, dan pembinaan Kopertis setempat. Mereka ditempatkan di Kopertis-kopertis untuk memperbesar fungsi pembinaan Kopertis yang dirasa mandul selama ini.
Kedua, Kemristek dan Dikti dapat menyusun terlebih dahulu stereotip PTS yang akan menjadi binaan di kemudian hari. Idealnya PTS-PTS yang sulit berkembang selama ini sebaiknya mendaftar kembali untuk ikut program francechise, mirip yang dikembangkan Kementerian Pendidikan Tinggi Malaysia. Di sana pembentukan MARA Institute, tempat di mana mahasiswa bisa belajar program vokasi.
Ketiga, untuk mewujudkannya, sejumlah envelope pendanaan dapat disediakan secara kompetitif. Pendanaan yang dapat digunakan untuk menyelenggarakan program new vocational development project (NVDP). Tawaran ini ditujukan kepada PTS-PTS di daerah-daerah sambil disediakan pendampingan manajemen dan tenaga ahli.
Keempat, mengakomodasi pembukaan program yang sangat diperlukan di daerah-daerah. Seperti pesan Presiden Joko Widodo, mengapa jurusan di ekonomi hanya tiga (manajemen, ilmu ekonomi, dan akuntansi), padahal e-dagang jadi kebutuhan, dan tidak satu pun yang menyelenggarakan program studi (prodi) itu. Pendiriannya tentu dengan memedomani daftar program studi dan jurusan yang langka dan diperlukan. Sebaliknya, juga memastikan penutupan prodi-prodi yang menjadi beban yayasan selama ini.
Elfindri, Profesor Ekonomi SDM Unand dan Koordinator Kopertis 2008-2010
Sumber: Kompas, 2 November 2017