Pembekuan Sel Telur Berisiko dan Belum Tentu Berhasil

- Editor

Sabtu, 11 Agustus 2018

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Jumlah perempuan yang ingin membekukan sel telurnya, dengan berbagai alasan, terus bertambah. Namun, banyak perempuan belum memahami risiko yang harus ditanggung, termasuk peluang untuk hamil di masa mendatang saat umur mereka telah mencapai lebih dari 35 tahun.

“Pembekuan sel telur bukan jaminan untuk bisa mendapat bayi di masa depan,” kata profesor kedokteran reproduksi dan Ketua Perhimpunan Fertilitas Inggris (British Fertility Society) Adam Balen seperti dikutip BBC, Rabu (8/8/2018).

KOMPAS/GREGORIUS MAGNUS FINESSO–Sejumlah ibu hamil mempraktekkan senam yoga khusus bagi ibu hamil di Pendopo Si Panji Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Minggu (11/10). Yoga ibu hamil tersebut dilakukan di sela-sela peluncuran SMS Bunda di wilayah tersebut. SMS Bunda merupakan layanan informasi gratis tentang kesehatan ibu dan anak hingga 1.000 hari sejak awal masa kehamilan. Melalui informasi langsung kepada ibu hamil, diharapkan angka kematian ibu dan bayi dapat ditekan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Namun pembekuan sel telur itu bisa memberikan solusi bagi perempuan yang ingin menunda kehamilan hingga siap secara mental untuk mendapatkan bayi. Perempuan tidak seharusnya dihukum karena belum memiliki anak, baik karena ingin fokus dengan karirnya, belum menemukan pasangan yang tepat, hingga menjalani proses penobatan. Perempuan juga tidak perlu tertekan dengan terus turunnya jumlah dan kualitas sel telur mereka.

“Perempuan tidak seharusnya ditekan untuk menjalin hubungan demi mendapat kehamilan,” tambah Jara Ben Nagi, konsultan ginekolog dengan subspesialis kedokteran reproduksi di Pusat Kesehatan Reproduksi dan Genetika (Center for Reproductive and Genetic Health), London, Inggris.

Pro dan kontra
Meski pembekuan sel telur sudah berlangsung lebih dari tiga dekade, pro dan kontra terhadap layanan ini terus muncul. Kasus terakhir yang muncul adalah persalinan aktris Brigitte Nielson pada umur 54 tahun pada Juni lalu. Dia membekukan sel telurnya pada umur 40 tahun dengan peluang hamil dari sel telurnya itu hanya 3-4 persen. Selama 14 tahun terakhir, dia juga mengikuti program bayi tabung atau in vitro fertilization (IVF).

https://kompas.id/baca/utama/2018/08/02/jumlah-perempuan-hamil-berumur-lebih-dari-35-tahun-terus-meningkat/

Di Indonesia, layanan pembekuan sel telur itu sudah ada di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta sejak tahun 2011. Pembekuan sel telur itu dianggap jadi solusi bagi perempuan yang ingin menunda kehamilan pada usia muda. Sementara, kuantitas dan kualitas sel telur akan terus menurun seiring bertambahnya usia.

Saat usia pubertas, jumlah sel telur perempuan sehat sekitar 300.000-400.000 sel. Saat usia mereka menginjak 35 tahun, sel telurnya tinggal 25.000 sel.

Pembekuan sel telur juga jadi solusi perempuan muda yang harus menjalani kemoterapi dan radiasi namun tetap ingin hamil di masa depan. Proses pengobatan kanker dan sejumlah penyakit lain yang membutuhkan radiasi dan kemoterapi memang bisa memengaruhi kesuburan. Saat perempuan tersebut sudah sehat dan ingin hamil, sel telur tersebut dapat dikembalikan. (Kompas, 21 September 2011)

KOMPAS/WAWAN PRABOWO–Gerakan Remaja Sayang Ibu (Gemas) bersama Tim PKK Kecamatan Pleret menggelar Senam Massal Ibu Hamil di Gedung Olah Raga Pleret, Bantul, DI Yogyakarta, Rabu (30/7). Kegiatan yang diikuti oleh sekitar 500 ibu hamil ini menjadi salah satu acara yang menyemarakkan HUT ke-177 Kabupaten Bantul.

Balen yang merupakan anggota Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Inggris atau Royal College of Obstetricians and Gynecologists mengakui tingkat keberhasilan pembekuan sel telur, mampu menghasilkan kehamilan dan melahirkan bayi, meningkat secara signifikan selama beberapa tahun terakhir.

Kondisi itu menawarkan kesempatan lebih besar bagi perempuan yang belum siap memiliki anak untuk membekukan sel telurnya. Namun, “Perempuan seharusnya didukung untuk melakukan pilihannya dengan diberikan informasi tentang tingkat keberhasilan pembekuan sel telur yang masih rendah, biayanya yang tinggi, maupun efek sampingnya,” tambahnya.

Studi terbaru menunjukkan, tingkat kelangsungan hidup sel telur dari telur yang dibekukan dengan metode vitrifikasi (pembekuan suhu sangat rendah dengan sangat cepat) baru adalah 85 persen. Namun tingkat kehamilannya baru 27 persen, mirip dengan tingkat keberhasilan bayi tabung pada usia 35-37 tahun yang hanya 23 persen.

Selain itu, perempuan juga harus menyadari bahwa pembekuan sel telur memiliki batas waktu penyimpanan. Aturan pembatasan waktu itu berbeda di setiap negara, seperti Inggris yang membatasi penyimpanan sel telur itu maksimal 10 tahun.

Waktu terbaik pembekuan sel telur adalah di awal umur 20 tahun hingga sebelum umur 37 tahun. Lebih awal pengambilan sel telur, makin besar peluang keberhasilan. Karena itu, kesadaran untuk menyimpan sel telur seharusnya juga muncul saat memasuki usia dewasa awal.

Perencanaan untuk mulai menyimpan dan mengambil telur itu penting mengingat banyak perempuan yang tidak mengambil kembali sel telur mereka.

Meski demikian, Timothy Bracewell-Milnes dari Imperial College London menilai mayoritas perempuan menyimpan sel telur mereka sudah terlalu terlambat. Banyak perempuan justru mengikuti program pembekuan sel telur itu sebagai upaya terakhir untuk hamil, bukan sebagai pilihan yang didasari informasi yang tepat pada umur 20-an hingga 30-an awal.

Banyak perempuan muda tidak menyadari bahwa tingkat kesuburan mereka ada batasnya. Di sisi lain, kurangnya informasi membuat mereka juga terlalu melebih-lebihkan tingkat keberhasilan dari pembekuan sel telur tersebut.

Menurut Ben Nagi yang mengutip sebuah penelitian, dari 1.382 perempuan yang mengikuti program pembekuan sel telur, hanya 120 perempuan yang menggunakan kembali sel telurnya dalam waktu rata-rata lebih dua tahun sejak disimpan. Selain itu, dan 45 dari 90 perempuan yang menyimpan sel telurnya saat lajang, mengambil kembali telurnya saat sudah memiliki pasangan.

Risiko
Penundaan kehamilan yang makin banyak dilakukan perempuan dipicu banyak hal. Teknologi pembekuan sel telur juga diyakini secara tidak langsung akan mendorong perempuan untuk menunda kehamilannya.

Namun perempuan juga perlu mengingat, makin tua usia kehamilan, apalagi kehamilan pertama, makin besar pula risiko bagi ibu, mulai dari peningkatan tekanan darah, preeklamsia atau diabetes gestasional. Potensi janin mengalami kelainan genetik juga meningkat seiring bertambahnya usia ibu.

KOMPAS/RIZA FATHONI (RZF)–Pemeriksaan USG pada ibu hamil di RS Bunda, Menteng, Jakarta, Kamis (9/10/2014). Deteksi dini pada ibu hamil diperlukan untuk mengantisipasi berbagai penyakit yang mungkin ditularkan kepada anak termasuk hepatitis.

Selain risiko kehamilan di usia yang tak lagi muda, proses pembekuan sel telur pun juga memiliki risiko. Dikutip dari mayoclinic.org, risiko yang muncul dari pembekuan sel telur itu salah satunya dari penggunaan obat-obatan kesuburan.

Penggunaan obat kesuburan suntik dapat menyebabkan sindrom hiperstimulasi ovarium. Kondisi itu membuat indung telur bengkak hingga menimbulkan rasa sakit setelah ovulasi (lepasnya sel telur dari indung telur) atau pengambilan sel telur. Gejala yang muncul dari sindrom itu antara lain nyeri perut, kembung, mual, muntah, dan diare. Bahkan dalam kondisi lebih berat, meski jarang, sindrom ini bisa menyebabkan penumpukan cairan di perut dan sesak napas.

Risiko lain yang muncul dari proses pembekuan sel telur itu adalah komplikasi selama proses pengambilan sel telur. Walau jarang, risiko pendarahan, infeksi atau kerusakan pada usus, kandung kemih dan pembuluh darah bisa saja terjadi saat penggunaan jarum untuk mengambil sel telur.

Hal lain yang tak bisa disepelekan adalah risiko emosional. Pembekuan sel telur bisa memberikan harapan palsu. Bukan hanya karena keberhasilan pembekuan sel telur yang masih rendah, peluang kehamilan yang biasanya dilakukan melalui bayi tabung juga masih rendah. Karena itu, meski pembekuan telur dilakukan sejak umur muda, tidak ada jaminan keberhasilan akan bisa hamil di masa depan.

Selain itu, penggunaan sel telur beku juga berisiko keguguran. Tingkat risiko keguguran itu akan makin besar saat usia calon ibu makin tinggi ketika menyimpan sel telur. Namun, riset tidak menunjukkan bahwa risiko kecacatan bayi yang lahir dari telur yang dibekukan akan bertambah. Meski demikian, banyak riset tambahan perlu dilakukan.

Apapun risikonya, semua kembali pada keinginan perempuan untuk mengatur kehamilannya. Namun, pilihan itu harus didasari oleh informasi akurat serta memahami segala risiko dan tantangannya.–M ZAID WAHYUDI

Sumber: Kompas, 10 Agustus 2018

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Masalah Keagenan Pembiayaan Usaha Mikro pada Baitul Maal wa Tamwil di Indonesia
Perkembangan Hidup, Teknologi dan Agama
Jembatan antara Kecerdasan Buatan dan Kebijaksanaan Manusia dalam Al-Qur’an
AI di Mata Korporasi, Akademisi, dan Pemerintah
Ancaman AI untuk Peradaban Manusia
Tingkatkan Produktivitas dengan Kecerdasan Artifisial
Menilik Pengaruh Teknologi Kecerdasan Buatan dalam Pendidikan
Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel
Berita ini 2 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 16 Februari 2025 - 09:06 WIB

Masalah Keagenan Pembiayaan Usaha Mikro pada Baitul Maal wa Tamwil di Indonesia

Minggu, 16 Februari 2025 - 08:57 WIB

Perkembangan Hidup, Teknologi dan Agama

Minggu, 16 Februari 2025 - 08:52 WIB

Jembatan antara Kecerdasan Buatan dan Kebijaksanaan Manusia dalam Al-Qur’an

Minggu, 16 Februari 2025 - 08:48 WIB

AI di Mata Korporasi, Akademisi, dan Pemerintah

Minggu, 16 Februari 2025 - 08:44 WIB

Ancaman AI untuk Peradaban Manusia

Berita Terbaru

Berita

Perkembangan Hidup, Teknologi dan Agama

Minggu, 16 Feb 2025 - 08:57 WIB

Berita

AI di Mata Korporasi, Akademisi, dan Pemerintah

Minggu, 16 Feb 2025 - 08:48 WIB

Berita

Ancaman AI untuk Peradaban Manusia

Minggu, 16 Feb 2025 - 08:44 WIB