Studi internasional menyatakan polusi udara meningkatkan risiko henti jantung di luar rumah sakit yang bisa berakibat fatal. Hal itu menunjukkan perlunya menggunakan sumber energi yang lebih bersih.
KOMPAS/AGUS SUSANTO–Kemacetan Tol Dalam Kota dan Jalan Gatot Subroto di Jakarta Selatan, Selasa (16/7/2019). Asap kendaraan bermotor memicu polusi udara yang terkait dengan risiko henti jantung dan masalah kesehatan lainnya.
Pencemaran udara ternyata meningkatkan risiko henti jantung di luar rumah sakit (out of hospital cardiac arrest/OHCA) meski itu berasal dari paparan jangka pendek pada konsentrasi rendah partikel halus PM 2,5. Studi internasional menemukan, kaitan itu dengan polutan gas, seperti yang berasal dari tambang atau pembakaran batubara, asap kebakaran hutan, dan kendaraan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Studi data nasional dari Jepang dipilih karena pemantauannya bagus, kepadatan populasi, mutu udara relatif, dan yang terbesar dari jenisnya. Hal itu memberi bukti menyeluruh kaitan PM 2,5 dan henti jantung dengan memakai sampel tiga kali lipat lebih besar dibandingkan semua studi sebelumnya digabungkan dan menunjukkan dampak serius pada orang lanjut usia.
Studi yang dipimpin tim peneliti dari University of Sydney menyimpulkan, standar internasional mesti diperketat. Dampak polusi itu menekankan perlunya sumber energi lebih bersih. Temuan ini dipublikasikan pada Selasa (28/1/2020), di jurnal The Lancet Planetary Health. Particulate Matter (PM) 2,5 ialah partikel udara berukuran lebih kecil dari 2,5 mikron atau mikrometer.
Penulis senior dari Fakultas Kedokteran University of Sydney, Profesor Kazuaki Negishi, menyatakan, riset sebelumnya mengenai polusi udara dan kejadian serangan jantung akut tidak konsisten, khususnya pada konsentrasi udara yang memenuhi atau memperbaiki pedoman dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Ketidakkonsistenan data itu diatasi melalui skala studi ini yang menemukan bahwa lebih dari 90 persen OHCA terjadi pada PM 2,5, lebih rendah dari pedoman WHO dan standar Australia, rata-rata harian 25 mikrogram per meter kubik. Sekitar 98 persen OHCA terjadi pada tingkat lebih rendah dari standar harian Jepang dan Amerika Serikat 35 mikrogram per meter kubik.
Henti jantung atau disebut sebagai cardiac arrest adalah kondisi saat jantung tiba-tiba berhenti berdetak. Apabila jantung berhenti berdetak, darah akan berhenti dipompa dari jantung menuju organ vital lainnya, seperti otak, hati, dan paru-paru. Akibatnya, penderita tak sadarkan diri, tak bernapas normal, bahkan berhenti bernapas.
”Henti jantung di luar rumah sakit merupakan kondisi darurat medis utama dan kurang dari satu dari 10 orang di dunia selamat dari kejadian ini. Semakin banyak bukti kaitan henti jantung dan pencemaran udara akut atau partikel halus seperti PM 2,5,” kata Negishi, ahli jantung yang juga Head of Medicine Nepean Clinical School.
Tidak aman
”Kami menganalisis, hampir seperempat juta kasus henti jantung di luar rumah sakit dan menemukan kaitan jelas dengan tingkat polusi udara akut. Studi kami mendukung bukti baru ini bahwa tidak ada tingkat polusi udara yang aman dan menemukan ada peningkatan risiko henti jantung meski mutu udara umumnya memenuhi standar,” kata Negishi.
”Mengingat fakta polusi udara cenderung memburuk, dari meningkatnya jumlah mobil dan bencana seperti kebakaran hutan, dampaknya terhadap risiko kejadian kardiovaskular selain penyakit pernapasan dan kanker paru, harus diperhitungkan dalam penanganan medis,” ujarnya sebagaimana dikutip sciencedaily.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO–Jembatan Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah atau yang lebih dikenal dengan nama Jembatan Siak IV di Kota Pekanbaru, Riau, terlihat samar akibat kabut asap, Jumat (20/9/2019) sekitar pukul 08.30. Kabut asap terjadi karena kebakaran lahan dan hutan yang tidak kunjung padam.
Profesor Negishi yang melakukan kerja lapangan setelah kebakaran tambang batubara Hazelwood pada tahun 2014 di Victoria, mengatakan, risiko tinggi kardiovaskular terkait polusi udara itu umumnya terjadi pada orang lanjut usia. ”Jika Anda masih berusia muda dan sehat, seharusnya tidak ada risiko langsung yang serius,” ungkapnya.
Namun, ia menyoroti temuan terkait paparan polusi dalam jangka pendek, tetapi dampaknya bisa bertahan sampai lima tahun. Hasil studi ini menyimpulkan pentingnya perbaikan mutu udara. Karena tidak adanya batas antarnegara terkait kualitas udara, pendekatan global untuk menangani masalah kesehatan ini perlu dilakukan bagi kelangsungan planet Bumi.
Tim peneliti menemukan peningkatan risiko 1-4 persen setiap peningkatan 10 mikrogram per meter kubik pada PM 2,5. Sydney baru-baru ini mengalami peningkatan polusi udara karena asap kebakaran hutan dan pada hari terburuknya PM 2,5 melampaui standar 25 miligram per meter kubik, melonjak menjadi lebih dari 500 miligram per meter kubik di pinggiran Richmond.
The Lancet Planetary Health Paper membandingkan OHCA yang terjadi hingga tiga hari setelah polusi udara tercatat. Namun, menurut Negishi, efek pada jantung dapat terjadi hingga 5-7 hari setelah polusi udara akut. Hal itu mengakibatkan seluruh dampak kardiovaskular bisa lebih buruk daripada yang ditunjukkan.
Data itu juga mengungkapkan hubungan antara paparan jangka pendek karbon monoksida, oksidan fotokimia, dan sulfur dioksida serta OHCA yang menyebabkan semuanya, tetapi tidak dengan nitrogen dioksida. Negishi menjelaskan, kemungkinan tingkat nitrogen dioksida, misalnya dari emisi mobil, tidak cukup tinggi untuk memicu henti jantung.
Di Indonesia
Sementara laporan Air Quality Life Index (AQLI) oleh Energy Policy Institute at the University of Chicago (EPIC) menyebut, Indonesia menjadi satu dari 20 negara berpolusi tertinggi di dunia. AQLI menunjukkan, polusi partikulat di Indonesia menjadi masalah sejak 1998. Mulai tahun itu hingga 2016, konsentrasi polusi partikulat naik 171 persen.
Para peneliti membandingkan mutu udara daerah-daerah di Indonesia dengan pedoman WHO terkait polusi partikulat halus PM 2,5. Jakarta menjadi kota paling terpolusi di Asia Tenggara dengan empat kali lipat di atas batas aman tahunan menurut standar WHO. Polusi udara diperkirakan setiap tahun menelan korban sekitar 7 juta jiwa di dunia (Kompas, 15 April 2019).
Sebelumnya, kajian Miriam E Marlier dari Universitas Columbia, Amerika Serikat, dan tim dalam jurnal GeoHealth, Juli 2019, memperingatkan, paparan asap dari kebakaran hutan di Asia Tenggara bisa menyebabkan 36.000 kematian dini per tahun di Indonesia, Singapura, dan Malaysia, selama beberapa dekade mendatang jika trennya berlanjut.
Potensi kematian dini ini disebabkan cemaran PM 2,5 dari kebakaran hutan tropis yang dinilai sangat membahayakan kesehatan, mulai dari persoalan pernapasan hingga memicu kanker (Kompas.id, 13 September 2019). Padahal, kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terus berulang setiap tahun.
Oleh EVY RACHMAWATI
Editor YOVITA ARIKA
Sumber: Kompas, 30 Januari 2020