Banyak rakyat Indonesia mendukung Joko Widodo menjadi residen karena integritas dan keberpihakannya kepada masyarakat miskin.
Banyak keputusannya ketika menjadi Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta yang hebat. Salah satunya adalah cara Jokowi memindahkan pedagang kaki lima ke wilayah yang telah disediakan Pemerintah Kota Solo. Cara Jokowi dinilai humanis. Jokowi dikenal dengan kegiatan blusukan karena turun langsung ke lapangan untuk melihat langsung persoalan masyarakat. Jokowi juga dikenal dengan terobosan pemberian izin satu pintu.
Integritas dan keberpihakan Jokowi terhadap masyarakat kecil tidak diragukan lagi. Namun, kini Jokowi dihadapkan dengan paradigma pembangunan. Paradigma pembangunan yang berorientasi pertumbuhan ekonomi dengan paradigma pembangunan yang semua aktivitasnya mempertimbangkan masa depan lingkungan. Pembangunan yang mempertimbangkan lingkungan itu dikenal dengan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Apakah Jokowi yang berlatar belakang pengusaha dan sarjana kehutanan itu berpihak kepada penyelamatan lingkungan atau pertumbuhan ekonomi?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Indikator
Konsep pembangunan berkelanjutan menyeimbangkan kepentingan pertumbuhan ekonomi dan lingkungan. Namun, kenyataannya, ada empat indikator yang menunjukkan Jokowi tidak berpihak pada pembangunan berkelanjutan.
Pertama, Jokowi menggabungkan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dengan Kementerian Kehutanan (Kemenhut). Keputusan itu menggambarkan bahwa Jokowi tidak berpihak pada paradigma pembangunan berkelanjutan.
Kewenangan Kemenhut sesuai Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan adalah (i) mengatur hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; (ii) menetapkan status kawasan hutan; serta (iii) menetapkan hubungan hukum antara orang dan hutan. Sementara tugas utama KLH tercantum dalam Pasal 4 UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, meliputi (i) perencanaan, (ii) pemanfaatan, (iii) pengendalian, (iv) pemeliharaan, (v) pengawasan, dan (vi) penegakan hukum dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Dalam bahasa sehari-hari, KLH adalah wasit/pengawas/pengendali pembangunan, sementara Kemnehut adalah pelaku/pelaksana pembangunan hutan. Maka, penggabungan kedua kementerian membuat wasit sama fungsinya dengan pelaku, yang sangat berisiko terhadap konflik lingkungan.
Kedua, Jokowi dalam pidatonya mengatakan bahwa kita telah lama memunggungi laut. Jokowi dan kabinet kerja berapi-api bicara poros maritim, tetapi kesannya justru eksploitasi besar-besaran laut kita. Jokowi hampir tidak pernah memprihatinkan tentang kondisi terumbu karang dan hutan mangrove yang sudah sangat kritis.
Mengelola laut
Sejatinya, kita bekerja mengelola laut berdasarkan kondisi riil laut kita. Kita mulai dengan berbicara soal pengeboman terumbu karang yang merusak ekosistem terumbu karang kita. Pemerintahan Jokowi bicara pencurian ikan tanpa mengingat peralatan nelayan kita sehingga tidak mampu menangkap ikan di laut lepas. Ditambah lagi dengan pernyataan Jokowi untuk menenggelamkan kapal pencuri ikan.
Jika kita bandingkan dengan isu pencurian ikan dengan isu rusaknya terumbu karang-termasuk akibat pengeboman-isu besarnya adalah kerusakan terumbu karang. Jika terumbu karang baik dan nelayan kita memiliki peralatan canggih untuk menangkap ikan, ikan-ikan di laut berkelimpahan. Jadi, mengembalikan ikan bertelur di terumbu karang agar ikan tumbuh cepat menjadi substansi pokok.
Kita langsung terkagum-kagum dengan keberanian menteri kelautan dan perikanan karena keberaniannya. Benar bahwa keberanian dibutuhkan, tetapi harus berbasis substansi pokok yang hendak kita kerjakan.
Ketiga, hilangnya institusi yang berfungsi pengawasan pembangunan secara fisik. Dana desa akan dikucurkan secara merata ke desa-desa. Di berbagai media orang berbicara dan beberapa artikel menuliskan tentang pengawasan dana desa. Hampir tidak ada yang bicara bagaimana dampak dana itu terhadap lingkungan di desa. Tidak ada analisis risiko pembangunan infrastruktur, seperti jalan bagus ke desa.
Padahal, jalan bagus dapat mengakibatkan harga tanah naik dan warga desa tergiur menjual tanah. Lama-kelamaan warga desa tergusur dari kampung halamannya. Kita perlu ingat, fungsi utama infrastruktur, seperti jalan, adalah mempermudah akses warga desa untuk mengangkut hasil bumi mereka.
Kasus semacam itu harus diproteksi suatu lembaga untuk melindungi masyarakat. Saat ini, tidak ada pengawasan pembangunan sebagaimana diamanatkan UU No 32/2009 tentang UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Satu pintu BKPM
Keempat, diterbitkannya Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 97 Tahun 2014 tentang pendelegasian wewenang pemberian perizinan dan non-perizinan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan terkait pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu pada Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Kebijakan itu jelas menunjukkan bahwa pemerintahan Jokowi mengutamakan pertumbuhan ekonomi dan mengesampingkan lingkungan. Kepentingan investasi dan lingkungan sangatlah berbeda. Konflik berkepanjangan akan terjadi. Dengan kata lain, Permen ini akan memuluskan investasi tanpa pertimbangan perlindungan lingkungan. Dokumen lingkungan hanyalah pelengkap administrasi semata.
Dari uraian dalam tulisan ini dapatlah kita menyimpulkan bahwa pembangunan tidak cukup mencakup integritas dan penyelesaian konflik sosial, tetapi juga tidak boleh mengabaikan kepentingan lingkungan.
Pertumbuhan ekonomi setinggi apa pun tidak ada artinya ketika bencana alam melanda. Harapan kita kini hanyalah dari gerakan kekuatan sipil (civil society) untuk mengawasi kinerja pemerintahan Jokowi.
Gurgur Manurung, Praktisi Lingkungan, Alumnus Pascasarjana Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan IPB
—————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 6 Juni 2015, di halaman 7 dengan judul “Nasib Lingkungan dan Pemerintahan Jokowi”.
Posted from WordPress for Android