Modal Geografis dan Demografis Hadapi Covid-19

- Editor

Kamis, 11 Juni 2020

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Transparansi data akan memberikan kebenaran (truth) kepada publik tentang skala masalah yang kita hadapi bersama serta penyesuaian strategi nasional penanggulangan dampak pendemi Covid-19.

Bonus geografi dan demografi dapat menjadi bonus ketahanan negara pada pandemi Covid-19. Jikalau bonus ketahanan negara terindikasi kuat, kita dapat segera keluar dari cekaman pandemi dengan memberikan perlindungan maksimal kepada para usia sepuh yang paling rentan.

Pandemi Covid-19 memang belum lagi dapat diprediksi ujung akhirnya. Akan tetapi, beberapa pola dapat digunakan untuk penyesuaian strategi nasional dalam pengendaliannya. Jumlah kasus yang fatal salah satu di antara pola itu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Jumlah kasus fatal di Indonesia, walau secara nasional sudah berstatus luar biasa, secara global masih relatif sedikit. Dari situation update Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tertanggal 22 April 2020, angka kasus fatal di Italia dan AS mencapai 24.648 dan 37.602 orang. Sementara Indonesia sampai saat itu dilaporkan 616 orang.

Kalaupun rendahnya laporan dan pengujian (under-reported/under-detected) diperhitungkan, jumlah kasus fatal di Indonesia tak mungkin melesat jauh di atas ribuan. Rendahnya pengujian pasti akan menghasilkan jumlah terkonfirmasi yang melambung. Di negara dengan penduduk aktif di media sosial demikian banyak dan demikian bebas, walau tak jarang kebablasan, data sebesar itu tak mungkin disembunyikan.

Geografis dan demografis
Mengutip informasi dari sejumlah media, WHO Indonesia dalam Situation Report per 9 April 2020 menyebutkan peningkatan jumlah pemakaman di Jakarta pada Maret sekitar 1.300 lebih banyak dari rata-rata setiap bulan. Informasi ini sangat perlu divalidasi untuk memperoleh fakta sebenarnya.

China sebagai episentrum pandemi pertama mencatatkan total kasus fatal 4.642 orang. Jumlah itu juga jauh di bawah Italia dan AS. Apa yang membuat fenomena itu terjadi? Penulis menduga, faktor geografis dan demografis berperan.

Secara geografis, Indonesia negara tropis dengan kelembaban tinggi. Maret lalu, bahkan, BMKG mencatatkan anomali kenaikan suhu di Indonesia. Suhu udara normal bulan Maret di Indonesia periode 1981-2010 rata-rata 26,63 derajat celsius dan suhu udara rata-rata Maret 2020 sebesar 27,42 derajat celsius. Ini pasti jauh di atas suhu udara di China, Italia, dan AS saat gelombang Covid-19 mulai melanda. Saat itu di China, Italia, dan AS masih musim dingin.

Kelembaban udara di Indonesia bervariasi di beberapa daerah, tetapi cenderung lebih tinggi dari tiga negara itu. Di Jawa Tengah, pada 2018 rata-rata 81 persen. Angka ini sedikit di atas Wuhan, episentrum pertama Covid-19, yaitu 78,0 persen. Kelembaban udara di Italia berkisar 70-76 persen, tetapi sore hari hanya 54 persen. Kelembaban New York sebagai salah satu konsentrasi wabah di AS berkisar 62-72 persen dan sore hari lebih kering, sekitar 59 persen.

Sudah lama dikonfirmasi bahwa virus korona ringkih terhadap suhu udara dan kelembaban tinggi. Data tentang ketahanan Covid-19 pada suhu udara dan kelembaban tinggi memang belum ada. Sementara ini, kita asumsikan demikian, sampai data Covid-19 keluar dan membantah kenyataan itu.

Untuk tak terjadi kesalahpahaman, ketahanan yang dimaksud di atas adalah ketahanan virus Covid-19 di luar tubuh manusia. Jikalau virus sudah berhasil masuk ke dalam tubuh kita, suhu dan kelembaban tidak bermakna lagi.

Kondisi geografis lain yang juga menguntungkan Indonesia adalah bentuk negara kepulauan. Laut adalah penahan geografis yang efisien membatasi penyebaran Covid-19. Virus Covid-19 menular hanya melalui kontak antarorang. Penularan lewat angin dan hewan yang dapat terbang antarpulau tak terjadi. Karena itu, pembatasan sementara transportasi udara lewat laut dan udara akan efektif menekan laju penyebaran.

Walau punya daya sebar seperti roket, virus Covid-19 ini tak selalu menyebabkan sakit, apalagi yang parah. Sejak akhir Desember 2019, Covid-19 memang sudah dikonfimasi pada 2,4 juta orang per 23 April 2020. Walaupun besar, proporsi orang tertular yang perlu perawatan rumah sakit di bawah 10 persen.

Yang dapat menjadi kasus berat dan fatal bahkan lebih rendah dari itu. Penyakit Covid-19 berlangsung fatal umumnya pada pasien usia sepuh dengan riwayat penyakit lain. Data dari Wuhan yang dipublikasi di Jurnal Asosiasi Kedokteran Amerika, JAMA, saat jumlah kasus sekitar 44.000, fatalitas pada pasien di atas umur 80 tahun adalah 14,8 persen, sedangkan usia 70-79 tahun adalah 8,0 persen. Fatalitas pada kelompok umur yang lebih muda lebih rendah lagi.

Kebanyakan kasus fatal juga punya riwayat penyakit lain. Istilahnya komorbiditas, yaitu adanya satu atau lebih kondisi tambahan yang terjadi bersamaan infeksi Covid-19. Urutan komorbiditas yang paling banyak adalah hipertensi, diabetes, gangguan jantung, dan gangguan pernapasan.

Indonesia telah lama disebut-sebut punya keuntungan demografis, yaitu tersedianya angkatan kerja usia produktif yang lebih banyak ketimbang yang sudah pensiun. Keunggulan demografis ini tampaknya juga meningkatkan ketahanan bangsa dalam menghadapi pandemi Covid-19.

Penulis melihat, struktur populasi suatu negara tampaknya berpengaruh pada tingginya angka kematian. Dari data indexmundi (https://www.indexmundi.com/), proporsi penduduk umur di atas 65 tahun yang rentan infeksi Covid-19 berat dan fatal di Indonesia, China, AS, dan Italia berturut-turut 7,26 persen, 11,27 persen, 16,03 persen, dan 21,69 persen.

Proporsi penduduk rentan China, Italia, dan AS berturut-turut sekitar 1,5, 2, dan 3 kali proporsi Indonesia. Dibandingkan ketiga negara sebagai tolok ukur itu, Indonesia lebih banyak punya proporsi penduduk berusia 0-24 tahun. Catatan sementara menunjukkan proporsi pasien dan korban Covid-19 dari kelompok umur itu paling kecil.

Faskes untuk para sepuh
Walau terlihat diuntungkan, tingkat fatalitas di Indonesia untuk sementara ini termasuk tinggi, yaitu 8,6 persen. Angka ini memang lebih rendah dari Italia (13,4 persen), tetapi lebih tinggi dibandingkan dengan China (5,5 persen) dan AS (4,8 persen). Fasilitas kesehatan (faskes) yang masih tertinggal, penulis duga, sebagai kemungkinan penyebab tingkat fatalitas tinggi.

Di samping itu, kemungkinan pasien baru memeriksakan kondisi kesehatannya ke faskes setelah berada di stadium lanjut dapat saja terjadi. Data yang tersedia di Kementerian Kesehatan seharusnya dapat memastikan hal ini.

Masalah lain Indonesia, menurut hemat penulis, adalah kepadatan penduduk yang tinggi, terutama di Pulau Jawa dan Bali, keadaan ekonomi, dan ketaatan penduduk dalam mengikuti anjuran pemerintah untuk diam di rumah, bekerja dari rumah, beribadah di rumah saja. Kepadatan penduduk memperbesar risiko penularan Covid-19. Keadaan ekonomi, terutama sektor informal, memaksa penduduk tetap keluar mencari nafkah walaupun dengan risiko tertular.

Berita soal penduduk yang keras kepala, sengaja pergi ke pusat perbelanjaan walau berstatus pasien dalam pengawasan, juga beredar luas, baik dalam pemberitaan maupun media sosial. Ketaatan penduduk akan jadi faktor penentu keberhasilan penanggulangan pandemi Covid-19 di Indonesia.

Penulis mengakui, keuntungan geografis dan demografis di atas masih bersifat hipotesis. Fakta sebenarnya akan kita ketahui setelah pandemi berlalu dan semakin banyak penelitian dilakukan. Untuk keluar dari cekaman Covid-19, inovasi untuk perlindungan bagi para sepuh dan modalitas yang akan mengurangi ancaman fatalitas penderita kasus berat akan sangat membantu.

Penerapan pembatasan sosial berskala besar atau pembatasan sosial skala terbatas seharusnya disertai ancaman denda atau hukuman yang akan memberi efek jera kepada pelanggarnya.

Hal lain yang semestinya diperhatikan adalah akurasi dan transparansi data. Data pola umur kasus terkonfirmasi, perawatan intensif, dan kasus fatal pasien Covid-19 di Indonesia sulit diperoleh. Berita tentang kenaikan kasus kematian yang luar biasa di Jakarta di atas perlu diklarifikasi.

Transparansi data akan memberikan kebenaran (truth) kepada publik tentang skala masalah yang kita hadapi bersama serta penyesuaian strategi nasional penanggulangan dampak pendemi Covid-19. Hanya dengan demikian, kepercayaan publik (trust) untuk taat strategi pengendalian dapat ditingkatkan.

Gusti Ngurah Mahardika, Profesor Virologi, Universitas Udayana, Denpasar.

Sumber: Kompas, 11 Juni 2020

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Gelombang Radio
Berita ini 1 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:13 WIB

Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom

Rabu, 23 Maret 2022 - 08:48 WIB

Gelar Sarjana

Minggu, 13 Maret 2022 - 17:24 WIB

Gelombang Radio

Berita Terbaru

US-POLITICS-TRUMP

Berita

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Feb 2024 - 14:23 WIB