Kisah cokelat dan kopi begitu erat mewarnai setengah perjalanan hidup Misnawi (61), seorang peneliti pascapanen. Sejak memulainya 33 tahun silam, bergabung di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Jember, Misnawi bagai tak pernah puas. Puluhan riset tentang kopi dan cokelat telah dipecahkan, tetapi ia terus bergegas meriset beragam produk lainnya.
Ketidakpuasan itu didasari obsesi sederhana. ”Saya ingin mengolaborasikan riset dan masyarakat serta dunia usaha,” ujar Misnawi, Kepala Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (Puslitkoka), akhir November lalu.
Sudah umum ada anggapan dunia riset di dalam negeri masih eksklusif. Banyak ilmuwan tenggelam di belakang meja atau dalam ruang laboratorium. Kenyataannya, hasil-hasil riset itu menjadi karya laboral yang tersia-siakan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Misnawi tak mau Puslitkoka berjalan di jalur tersebut. Ia selalu menekankan, setiap peneliti harus punya sikap kreatif dan inovatif. Terlebih lagi, peneliti harus melebur. Sikap itulah yang ia contohkan kepada rekan-rekan peneliti.
Dengan semangat itulah dia mempertemukan riset dengan dunia usaha. Salah satu leburan riset dengan dunia usaha yang sudah berhasil ia lakukan adalah cokelat. Selama ini, cokelat hanya dimanfaatkan sebagaicamilan dan bahan minuman. Cara pengolahannya pun konvensional. Di tangan timnya, biji cokelat hingga limbahnya pun bisa dimanfaatkan.
Hasil penelitian yang dimulai 18 tahun lalu mengungkap begitu banyak manfaat cokelat. Banyak orang hanya memanfaatkan bijinya untuk difermentasi, disangrai, lalu diolah jadi bubuk dan batangan cokelat.
Dengan pemanfaatan seperti itu, kulit, kandungan minyak, dan beragam senyawa penting pada kakao akan terbuang begitu saja. Penelitian Misnawi menghasilkan bawah kulit kakao dapat dimanfaatkan sebagai bahan permen karet. Kandungan gula pada kulit buah kakao juga dapat dimanfaatkan sebagai produk minuman. Dia juga menemukan kulit halus yang meliputi biji cokelat memiliki kandungan serat tinggi. Kandungan itu sangat diperlukan tubuh dan bisa dimanfaatkan sebagai bahan campuran es krim.
Misnawi juga menemukan kandungan lemak pada biji kakao yang tidak difermentasi sehingga bisa diolah menjadi virgin coco butter. ”Lemak cokelat ini rupanya sangat bermanaat untuk produk kecantikan, mulai dari sabun, scrub, hingga bahan kosmetik lainnya,” kata Misnawi.
Penelitian masih berlanjut. Ia menemukan biji cokelat yang telah diambil lemaknya, mengandung folifenol (polyphenol) tinggi. Folifenol ditemukan secara alami pada tumbuhan dan memiliki beragam manfaat, seperti antioksidan yang berkhasiat meningkatkan kemampuan anti-inflamasi dan kekebalan tubuh. ”Bahan-bahan yang semula terbuang akibat proses fermentasi biji cokelat kini bisa dimanfaatkan dengan sangat beragam, termasuk untuk dunia kedokteran dan kecantikan,” ujarnya.
Lalu, bagaimana dengan sisa kakao yang telah habis dimanfaatkan folifenol dan lemak cokelatnya? Menurut Misnawi, ampas kakao masih bisa diolah menjadi bahan cokelat batangan dan bubuk melalui teknologi penyangraian.
Dimanfaatkan
Meski penelitian tentang kakao masih berjalan hingga sekarang, sejumlah hasil riset telah dimanfaatkan dunia usaha. Sejumlah kalangan memanfaatkan lemak cokelat hasil penelitiannya untuk mengembangkan industri kosmetik. Sisanya dimanfaatkan untuk memproduksi cokelat batangan, cokelat bubuk, sabun berbahan dasar cokelat, hingga berbagai penganan lain dari cokelat. Produk-produk itu dikomersialisasi. Selebihnya diolah menjadi beragam produk bermerek Vicco (Village Cocoa Company) yang dikelola Koperasi Sekar Arum, milik Puslitkoka. Pemasarannya memanfaatkan outlet Coco Park. Lokasinya terletak di area wisata berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan tak jauh dari laboratorium Puslitkoka.
Misnawi membuka Puslitkoka untuk umum lewat Coco Park. Setiap orang bisa berkunjung dan melihat budidaya dan pengolahan cokelat dan kopi. Area ini juga memanjakan pengunjung yang ingin tahu keberagaman kakao dan kopi.
Puslitkoka juga mengenalkan dan memproduksi produk hilir cokelat dan kopi mulai dari makanan, produk sabun, hingga minyak untuk kosmetik. Semuanya dengan harga terjangkau dengan kualitas baik. Misnawi memang ingin menyampaikan bahwa tanah ini adalah penghasil produk yang berkualitas tinggi dan tak perlu merogoh kocek dalam-dalam untuk memperolehnya karena kita hidup di tengah-tengahnya.
Misnawi bertekad mengungkap lebih banyak lagi nilai tambah yang bisa dihasilkan dari sebuah komoditas. Tak hanya cokelat, pengembangan serupa dilakukan pada kopi. Tujuannya, agar harga komoditas lebih terjamin. ”Agar tidak mudah dipermainkan pemain besar, kita harus bisa membuat produk-produk alternatif,” ujarnya.
Ia pun mendorong 40 peneliti di Puslitkoka untuk mengembangkan upaya serupa dalam menjalankan penelitian. ”Risetnya harus strategis dan bisa dimanfaatkan,” katanya.
Tak sampai di situ, Misnawi mendorong Puslitkoka lebih terbuka pada petani dan pelaku usaha kecil. Salah satunya dengan membuka kelas-kelas produksi bagi calon pengusaha cokelat, pengusaha kopi, dan kalangan pembudidaya.
Mulai tahun depan, Puslitkoka membuka pusat inkubasi dan bisnis yang disebut Pondok Teknopreneur bagi calon wirausaha kopi dan kakao. ”Kami siapkan beasiswa dan ruang untuk pendampingan bagi calon-calon pengusaha,” ujarnya.
Berkat penelitian menyeluruhnya tentang kakao, Misnawi pada Desember lalu menjadi satu-satunya peneliti dari Indonesia yang mendapatkan penghargaan Fraunhofer-DAAD (The German Academic Exchange Service) Technopreneur 2017. Penghargaan itu diberikan Pemerintah Jerman kepada periset Indonesia.
Dari sebuah penelitian, Misnawi tak hanya mengangkat nilai kakao. Ia juga turut memberi harapan petani, pengusaha kecil, serta industri cokelat dan kopi Indonesia.–AB ANGGER PUTRANTO/SIWI YUNITA CAHYANINGRUM/IRMA TAMBUNAN
Sumber: Kompas, 2 Januari 2018