Migrasi manusia pada masa lampau, selain membawa produk kebudayaan, seperti bahasa dan budaya, juga membawa penyakit. Demikian pula migrasi Austronesia ke Nusantara sekitar 4.000 tahun lalu.
Dengan memahami migrasi penyakit, penelusuran mengenai asal-usul dan diaspora nenek moyang memiliki dimensi kekinian kuat. ”Saya setuju penelusuran asal-usul bangsa ini penting untuk mengetahui gambaran pemikiran, paham, ataupun anggapan tentang sikap suatu bangsa. Pengetahuan tentang asal-usul nenek moyang juga bermantaat bagi penguatan identitas bangsa Indonesia pada masa mandatang,” tutur Sangkot Marzuki ahli genetika Kepala Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, pembicara kunci simposium Diaspora Austronesia, di Badung, Bali Selasa (19/7).
Selain itu,manfaat kekinian lain, pengetahuan soal asal-usul nenek moyang itu sangat dibu tuhkan dalam mengatasi persoalan kesehatan. Migrasi nenek moyang juga membawa penyakit,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Sangkot, struktur genetika populasi manusia Indone sia saat ini secara garis besar dibagi menjadi tiga pola. Pertama, manusia Indonesia di bagian barat yang meliputi Bali, Jawa, dan Sumatera, Indonesia bagian timur atau Papua, serta bagian tengah yang meliputi Nusa Tenggara dan Kepulauan Maluku. ”Ternyata subtipe Virus hepatitis B di Indonesia juga mengikuti sebaran struktur populasi manusianya yang dipengaruhi diaspora nenek moyangnya,” tuturnya.
Oleh karena itu, desain dari suatu vaksin hepatitis B, kata Sangkot, seharusnya bisa mencangkup tiga subtipe Virus itu. Jika tidak, vaksin tidak efektif.
Deteksi dini
Deputi Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Herawati Sudoyo mengatakan, penelusuran asal-usul dan pengetahuan struktur genetik populasi sangat penting mendeteksi dini penyakit genetis fatal. Misalnya, penyakit talasemia, penyakit genetik paling banyak di Indonesia. Penyakit itu memicu kelainan darah atau anemia intensitas berat jika seseorang memiliki talasemia beta mayor, yang biasanya terjadi jika ibu atau ayahnya membawa genetika talasemia.
Seorang dengan talasemia beta mayor harus mendapat transfusi darah sepanjang hidup. ”Di negara seperti Siprus, yang talasemianya sangat tinggi, ada kewajiban calon pengantin diperiksa untuk mengetahui risikonya,”ujar Herawati.
Herawati menambahkan, contoh lain adanya sebaran penyakit yang khas, sesuai struktur populasinya, adalah penyakit Southeast Asia Ovalositosis (SAO). Penyakit itu merupakan mutasi sel darah merah khas di Asia Tenggara, yang terjadi dalam merespons penyakit malaria. Bagi orang Afrika, mutasi itu memicu munculnya anemia bulan sabit, yaitu sel darah merahnya berubah menjadi seperti bulan sabit. Adapun di Asia Tenggara, kata Herawati, respons terhadap malaria itu menyebabkan sel darah merah berbentuk oval dan menyebabkan anemia juga, yang lalu dikenal sebagai penyakit SAO ini.
Relevansi diaspora nenek moyang dengan penyakit juga penting untuk memahami pola penyakit diabetes melitus. Orang yang punya mitokondria T 16189 C cenderung terkena diabetes. Jenis mitokondria itu tertinggi dimiliki oleh orang Austronesia di Vanuatu, hampir 100 persen. Sementara itu, di Indonesia, populasi yang memiliki persentase mitokondria T 16189 C adalah masyarakat Nias dan Mentawai.
“Pentingnya mengetahui asal-usul dan diaspora nenek moyang juga sangat penting dalam pemberian obat. Efektivitas suatu obat harus disesuaikan dengan kemampuan penerima obat, yang sangat dipengaruhi latar belakang genetik seseorang. Orang yang metabolisme tubuhnya terhadap obat lambat akan mengalami kelebihan dosis,” ujarnya. (AIK/ABK)
Sumber: Kompas, 21 Juli 2016