Metode Efisien Pemetaan Gambut Mulai Tergambar

- Editor

Jumat, 26 Januari 2018

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Lima finalis Indonesian Peat Prize membuktikan pemetaan rawa gambut bisa dilakukan dengan metode yang murah, cepat, dan mudah diaplikasikan serta direplikasi di sejumlah wilayah di Indonesia.
Kreasi teknologi peserta ini diharapkan bisa menjadi pengganti pemetaan Lidar atau pemetaan berbasis sinar laser yang detail tetapi berbiaya mahal.

Selama ini, Badan Restorasi Gambut (BRG) mengandalkan hasil peta berteknologi tinggi, Lidar, untuk keperluan perencanaan restorasi gambut. Sejak 2016, BRG baru bisa memetakan tujuh kawasan hidrologis gambut (KHG) dari 104 KHG di tujuh provinsi yang menjadi area kerja BRG dengan teknologi Lidar.

”Tampak terseok-seok karena teknologi Lidar sangat mahal,” kata Deputi Perencanaan dan Kerja Sama BRG Budi S Wardhana, Kamis (25/1), di Jakarta, di sela-sela media briefing lima finalis Indonesian Peat Prize yang diselenggarakan Badan Informasi Geospasial (BIG).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Ia mengatakan, metode yang dirancang para finalis ini bisa menjadi masukan bagi pemetaan rawa gambut secara nasional. Peta KHG saat ini masih mengandalkan skala 1: 250.000 yang rentan terdapat pergeseran dalam penetapan fungsi lindung dan budidaya.

KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Muhammad Nuriman dari Universitas Tanjungpura, Pontianak, mewakili tim GAG4PEAT dan SKYTEM TEAM, Kamis (25/1), di Jakarta, memaparkan metodenya dalam pemetaan gambut untuk tujuan restorasi. Metode yang memanfaatkan sifat elektromagnetik lahan ini masuk dalam lima finalis Indonesian Peat Prize yang diselenggarakan Badan Informasi Geospasial. Kompetisi ini digelar untuk mendapatkan metode pemetaan gambut yang akurat, mudah diaplikasikan dan direplikasi serta biaya terjangkau.

Kepala Pusat Penelitian Promosi dan Kerja Sama BIG Wiwin Ambarwulan mengatakan, teknologi pemetaan finalis ini bisa menjadi bahan standardisasi di BIG. Bahkan, antara metode satu dan yang lain bisa dikombinasikan untuk mendapatkan metode paling mumpuni.

Meningkatkan mutu
Ini diharapkan memperbaiki dan meningkatkan kualitas pemetaan gambut yang selama ini dilakukan beberapa instansi pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil. Peta gambut di Indonesia saat ini sangat minim dari sisi skala dan kelengkapan lokasi serta data terbarunya.

Sebagai contoh, peta gambut pada Program Perencanaan Fisik Regional untuk Transmigrasi pada 1989, Wetlands International pada 2004, dan Kementerian Pertanian pada 2011. Peta gambut yang terbarui menjadi penting karena ekosistem rawa gambut sangat mudah berubah ketika sudah terbuka.

Rawa gambut akan terekspos ke udara sehingga mengering yang rentan terbakar ataupun terjadi dekomposisi. Proses ini akan memengaruhi luasan dan kedalaman rawa gambut.

Ketidaktersediaan peta gambut yang mumpuni memperlambat restorasi di lapangan. Tak jarang, pemerintah yang berpatokan pada peta KHG menemukan kondisi lahan yang dikelola perkebunan ataupun hutan tanaman industri telah berubah atau tak sesuai dengan kondisi terkini. ”Arahan pemerintah kepada pemilik lahan menjadi kurang tajam terkait tindakan restorasi, seperti pembasahan kembali dan penanaman kembali yang harus dilakukan,” katanya.

Terkait ketersediaan peta, finalis dari konsorsium PT EXSA Internasional, Intermap Technologies Corporation, dan Forest Inform Pty Ltd memanfaatkan peta lama Orthophoto DEM tahun 1994 yang dimiliki BIG saat pengujian pemetaan di lahan gambut seluas 23.400 hektar di Kubu Raya, Kalimantan Barat.

Peta Orthophoto yang menjadi acuan pengambilan sampel dan transek (peta secara horizontal) ini menunjukkan areal itu memiliki kubah gambut hingga sedalam belasan meter. Namun, berdasarkan pengambilan sampel dan memadukan dengan peta satelit radar 2014 menunjukkan kubah gambut sedalam belasan meter itu telah menghilang dan kini tinggal kurang dari 10 meter. (ICH)

Sumber: Kompas, 26 Januari 2018

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?
Wuling: Gebrakan Mobil China yang Serius Menggoda Pasar Indonesia
Boeing 777: Saat Pesawat Dirancang Bersama Manusia dan Komputer
James Webb: Mata Raksasa Manusia Menuju Awal Alam Semesta
Harta Terpendam di Air Panas Ie Seum: Perburuan Mikroba Penghasil Enzim Masa Depan
Haroun Tazieff: Sang Legenda Vulkanologi yang Mengubah Cara Kita Memahami Gunung Berapi
BJ Habibie dan Teori Retakan: Warisan Sains Indonesia yang Menggetarkan Dunia Dirgantara
Masalah Keagenan Pembiayaan Usaha Mikro pada Baitul Maal wa Tamwil di Indonesia
Berita ini 4 kali dibaca

Informasi terkait

Sabtu, 14 Juni 2025 - 06:58 WIB

Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?

Jumat, 13 Juni 2025 - 13:30 WIB

Wuling: Gebrakan Mobil China yang Serius Menggoda Pasar Indonesia

Jumat, 13 Juni 2025 - 11:05 WIB

Boeing 777: Saat Pesawat Dirancang Bersama Manusia dan Komputer

Jumat, 13 Juni 2025 - 08:07 WIB

James Webb: Mata Raksasa Manusia Menuju Awal Alam Semesta

Rabu, 11 Juni 2025 - 20:47 WIB

Harta Terpendam di Air Panas Ie Seum: Perburuan Mikroba Penghasil Enzim Masa Depan

Berita Terbaru

Artikel

James Webb: Mata Raksasa Manusia Menuju Awal Alam Semesta

Jumat, 13 Jun 2025 - 08:07 WIB