Sepuluh perguruan tinggi terbaik di Amerika Serikat dikelola oleh badan swasta. Mereka lahir dan berkembang ratusan tahun dengan memanfaatkan dana abadi, endowment funds.
Cukup dengan bunga bank dan pendapatan sendiri, perguruan tinggi (PT) telah dapat membiayai operasionalisasi mereka untuk pendidikan yang berkualitas tinggi.Universitas Harvard, misalnya, memiliki dana abadi sebesar 36,4 miliar dollar AS, setara Rp 473,2 triliun.
Titipan dana dari keluarga kaya filantropis untuk riset di dunia pendidikan tinggi—seperti Rockefeller, John F Kennedy, dan Melinda Gates—telah dirasakan manfaatnya. Di Indonesia, menemukan filantropis seperti itu untuk pengembangan PT barang sangat langka. Padahal, persoalan PT di Indonesia tidak terlepas dari minimnya sumber pendanaan yang membuat mereka banyak yang sakit-sakitan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dilema PNBP
Di Indonesia, pembangunan kampus dan operasionalisasi 130 perguruan tinggi negeri (PTN) dibiayai keuangan negara. Bersumber terutama dari pajak, utang luar negeri, dan dari dana masyarakat. Tidak ada PTN yang kebagian titipan dana dari para filantorpis kaya sehingga PTN murni hidup dari skema pendanaan yang diatur menurut ketentuan keuangan negara.
Negara pun membuat PTN sebagai sebuah badan yang mengelola pemasukan melalui Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).Semakin besar PNBP, semakin besar alokasi dana untuk PT. Begitu formulasinya.
Dengan formula seperti ini, PT berlomba-lomba memperbanyak jumlah mahasiswa. Pada PT yang jumlah mahasiswanya banyak, visi kualitas bisa menjadi kabur untuk dicapai. Ini sebuah penjelasan kenapa tak kunjung muncul PTN Indonesia masuk ke dalam kelas 100 terbaik di Asia.
Dosen-dosennya berjuang dengan lelah, mengajar dari kelas ke kelas. Risetnya jadi tertinggal jauh. Para akademisi yang berpotensi juga habis waktunya menjabat untuk keperluan yang tidak sejalan dengan profesionalisme pengembangan akademik.
Semula banyak dosen yang berpotensi. Akhirnya banyak yang hilang dimakan waktu. Menjabat jauh lebih menjanjikan dibandingkan menekuni bidang keilmuan.Ruang kerja dosen banyak yang kosong, pusat riset hampir tidak muncul, kontrak- kontrak riset belum terinstitusi.
Akibatnya, masih banyak PTN yang sakit. Katakanlah nilai akreditasi institusi sebagai salah satu indikator dalam menilai kesehatan organisasi PT.Hingga Januari 2016, baru 18,2% PT yang mengajukan akreditasi institusi. Hanya 16 dari 52 PTN (30,7%) akreditasi institusi bernilai A.
Sementara dari 3.078 PT swasta (PTS), baru 111 (3,6%) mengajukan akreditasi institusi. Itu pun 4,5% saja yang mampu meraih akreditasi A. Sisanya B atau C. Masih ribuan yang belum mengajukan proses akreditasi. Sebagian besar PTS ini mengalami sakit. Belum termasuk yang dinyatakan berpraktik amburadul.
Mengerikan, memang, mengingat PTS tempat bagi lebih dari 70% mahasiswa Indonesia menggantungkan masa depannya. Namun, setelah mereka lalui, selesai melalui kuliah di PTS, nilai tambah keilmuan dan eskternalitas sosial jauh panggang dari api.
PTS yang sakit-sakitan karena banyak hal. Pertama, disorientasi pendiri yayasan. Dari kegiatan sosial murni bisa berubah jadi komersialisasi. Ini muncul ketika terjadi pergantian dewan pengurus, dewan pembina, atau pihak manajemen, sering muncul konflik kepentingan.Cukup sulit memetakan keberadaan PTS.
Namun, secara kasatmata, sekitar sepertiga PTS yang orientasinya masih luhur dan benar. Seperlima mengalami konflik kepentingan. Sisanya justru PTS dijadikan pundi-pundi pemasukan oleh pendiri, pengurus yayasan, atau manajemen sekolah. Ada untuk pembiayaan bisnis, kepentingan pribadi, atau sebagai sumber dana kampanye.
Kedua, PTS merasa kalah bersaing dengan PTN dari sisi kualitas mahasiswa, termasuk mutu jurusan yang dikelola. Karena dinamika waktu, jurusan-jurusan yang dulu favorit, sekarang mulai tidak laris. Organisasinya jalan dengan subsidi jurusan yang favorit. Sementara membuka jurusan yang laris manis terbentur pada persyaratan pemenuhan dosen yang memiliki kualifikasi akademik minimum S-2.
Ketiga, dosen di PTS hanya sedikit yang pas berfungsi sebagai dosen. Pihak yayasan bisa saja mengalokasikan pembiayaan untuk meningkatkan pendidikan dosen, tetapi ketika selesai pendidikan lanjutan mereka sering meninggalkan PTS pengirim. Sebab, masuk menjadi pegawai negeri jauh lebih menjanjikan.
Faktor jumlah mahasiswa terbatas, dosennya yang rendah kualitas, dan yayasan disorientasi adalah akar masalah yang membuat PTS banyak jatuh sakit dan tumbang. PTS yang mengalami kondisi ini sulit untuk maju ke arah yang lebih baik.
Diferensiasi misi PT
Pada kelompok PTS yang masih lurus dan benar orientasinya, model pembinaan yang dilakukan pemerintah masih mungkin. Di antaranya, pemerintah dapat menyediakan dosen berstatus pegawai negeri yang diperbantukan ke PTS, penyediaan dana riset terinstitusi, bantuan penyediaan laboratorium, serta pendampingan dalam pengembangan akademik.Namun, bagi PTS yang orientasinya bisnis, apalagi yang memiliki konflik internal, instrumen pembinaan di atas tidak mudah. Orientasi pembinaan mesti ditujukan untuk menyehatkan organisasi terlebih dahulu. Memperbaiki orientasi institusi, melengkapi data untuk kepentingan perencanaan.
Misi PTN ke depan fokusnya ditujukan memenuhi unsur Tri Dharma PT.PT berorientasi akademik memerlukan dosen yang bermutu, laboratorium yang berkembang, dan bahan perpustakaan yang lengkap, termasuk proses belajar-mengajar yang maju.Pada kelompok PTS yang sakit-sakitan, misi mereka tidak selalu harus berorientasi murni pendidikan akademik. Namun, justru fungsinya dapat diarahkan untuk menjawab tantangan bagaimana menyediakan pendidikan yang orientasinya untuk menghasilkan tenaga terampil.
Elfindri, profesor ekonomi SDM Universitas Andalasdan koordinator Kopertis X periode 2008-2010
—————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 Maret 2016, di halaman 7 dengan judul “Menyehatkan PTN-PTS”.