Sayang sekali perbincangan tentang keprofesoran yang diselenggarakan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi baru-baru ini (Kompas, 30-31 Oktober 2015) tidak menyentuh inti persoalan mengapa kinerja perguruan tinggi di Indonesia secara umum tetap loyo di tengah persaingan perguruan tinggi dunia. Padahal, alokasi anggaran Ditjen Dikti telah meningkat dalam sepuluh tahun terakhir.
Salah satu indikator ”keloyoan” itu adalah hanya ada satu perguruan tinggi (PT) tahun ini, yaitu Universitas Indonesia, yang masuk dalam daftar 800 universitas terbaik dunia versi Times Higher Education Survey (THES) 2015/2016. Itu pun di peringkat kategori terbawah: 600-800. Kita tahu pemeringkatan seperti THES bukan patokan mutu yang baku, tetapi ia memperjelas gambaran keterpurukan PT di Indonesia.
Ada ironi besar. Hampir setiap minggu diselenggarakan seminar dan kuliah umum berlabel ”internasional” di kampus-kampus, di Jawa dan luar Jawa, dengan pembicara dari luar Indonesia. Kesempatan dosen-dosen mengikuti konferensi ataupun ”penyegaran akademik” di luar negeri juga semakin terbuka.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Selain itu, yang paling mencolok dalam beberapa tahun terakhir adalah banyaknya lokakarya pengelolaan jurnal ataupun pelatihan publikasi dosen pada jurnal-jurnal internasional bereputasi. Dan, itu lengkap dengan berbagai fasilitas dana untuk biaya pendamping (sic!), biaya proofreader bahasa Inggris, sampai insentif publikasi kepada dosen bahkan ketika artikelnya baru akan dikirimkan dan belum tentu akan diterbitkan oleh jurnal mana pun. Akan tetapi, mengapa semua upaya ini tidak juga mendongkrak international visibility PT Indonesia di kancah dunia? Ke mana saja para profesor kita?
Bukan perkara jumlah
Sejauh ini banyak pihak telah menyadari bahwa upaya-upaya memperbaiki kinerja akademik PT sering dilandasi cara pandang tambal sulam dan kemauan politik setengah hati. Namun, yang jarang dibincangkan secara langsung, kendati mungkin telah disadari, adalah praktik di jantung kehidupan akademik sehari-hari, yaitu para dosen dan profesor secara umum kian berorientasi capaian-capaian medioker dan pragmatis. Fenomena kosongnya kampus (Kompas, 30/10/2013) tampaknya terus berlanjut dan kian akut.
Jumlah profesor yang cuma sekitar 2,3 persen, yaitu 5.133 orang, dari total 220.426 dosen tetap dan tidak tetap di seluruh PT di Indonesia saat ini (Kompas 31/10/2015) mungkin salah satu masalah. Namun, itu bukan faktor utama, apalagi satu-satunya yang menyebabkan PT kita loyo dalam kiprah internasional.
Di sejumlah negara maju, jumlah profesor selalu relatif sedikit dibandingkan komposisi keseluruhan tenaga pengajar di PT. Di Inggris, misalnya, menurut Higher Education Statistics Agency, hanya sekitar 10 persen dari total 194.245 dosen tetap dan tidak tetap PT tahun 2014 berstatus full professor. Di Jerman, menurut Higher Education Development Association, jumlah profesor terus turun sehingga dalam periode 1996-2005 rata-rata rasio profesor dan mahasiswa mencapai 1:60, rekor terendah dalam sejarah akademik Jerman setelah runtuhnya Tembok Berlin. Meskipun begitu, Pemerintah Federal Jerman membiarkan beberapa posisi professorship di bidang humaniora, linguistik, dan sastra tetap lowong selama 10 tahun terakhir karena efisiensi. Di Amerika Serikat, jumlah profesor universitas cenderung stagnan meskipun jumlah mahasiswa meningkat, sebagaimana ditulis National Center for Education Statistics.
Australia mungkin satu-satunya negara maju yang mengalami kenaikan jumlah profesor secara fantastis. Menurut The Australian (18/11/2009), jumlah profesor dan associate professor di Australia meningkat hampir 70 persen dalam 12 tahun (1996-2008). Peningkatan ini disebabkan oleh kebijakan pemerintah membuka lowongan posisi professor/associate professor dengan status kontrak berjangka.
Selain itu, pemerintah memutuskan menyematkan gelar ”profesor sementara” untuk akademisi-akademisi yang sedang mengemban tugas administratif di kampus meskipun secara keilmuan mereka belum profesor. Meskipun awalnya diapresiasi, proliferasi jabatan ”profesor” di Australia itu kini menciptakan persoalan serius menyangkut nasib mereka yang kontrak kerjanya telah habis. Persaingan antarprofesor menjadi sangat sengit, cenderung kasar (lihat, misalnya, tulisan ”Academic Assholes and the Circle of Niceness” di thesiswhisperer.com). Beberapa rekan di Sydney, Canberra, dan Melbourne mengaku selalu tertekan dan merasa tidak aman secara finansial karena setiap dua tahun harus mencari lowongan baru dengan persyaratan yang semakin ketat.
Data itu menunjukkan bahwa di negara-negara maju relatif sedikitnya jumlah profesor tidak selalu menjadi fokus perhatian. Di negara-negara itu perhatian utama dalam meningkatkan kinerja PT adalah soal mutu capaian para profesor dan efek spiral dari keprofesorannya. Profesor dituntut (bukan oleh peraturan ketat, tetapi oleh tekanan pergaulan di lingkungan komunitas keilmuannya) untuk menghasilkan publikasi bermutu hasil penelitian primer secara rutin.
Tidak mengherankan, di konferensi-konferensi kita menjumpai para Indonesianis kawakan, seperti Anthony Reid, MC Ricklefs, Peter Carey, Leonard dan Barbara Andaya, Vincent Houben, dan William Liddle, masih memaparkan penelitian dengan temuan-temuan empiris baru karya mereka sendiri. Bukan sekadar daur ulang ataupun memanfaatkan data hasil kerja mahasiswanya.
Selain itu, besaran dana penelitian yang dibawa dari sumber-sumber di luar kampus sering menjadi indikator tidak resmi pengakuan keprofesoran seseorang. Melalui dana pihak ketiga, seorang profesor memiliki keleluasaan mengembangkan penelitian bidang keahlian dalam skema payung dengan merekrut mahasiswa dan melibatkan dosen-dosen yunior.
Untuk memacu kinerja akademisi, negara-negara maju memperhatikan secara serius proporsi beban kerja mereka. Di Inggris, tahun 2014, sebagian besar dosen (yaitu 94.480 orang atau 48 persen dari total jumlah dosen) mengemban tugas mengajar dan meneliti, diikuti kategori dosen pengajar saja 52.575 orang (27 persen), dan dosen peneliti 45.580 orang (23,4 persen). Hanya sedikit dosen yang mengemban tugas administratif-manajerial, yaitu 1.605 orang (0,83 persen).
Di Amerika Serikat, tahun 2010, hanya 13,7 persen dari 1.787.955 tenaga pendidik PT (termasuk community college) mengemban tugas administrasi. Selebihnya berfokus pada kerja pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat.
Di Jerman, profesor sangat terbantu oleh sistem ”habilitasi” (habilitation). Sistem ini mengharuskan calon-calon profesor ”nyantrik” atau magang dulu selama beberapa tahun kepada seorang profesor sebidang ilmu, sebagai bagian dari proses mereka mencapai posisi ”profesor”. Dengan begitu, profesor dan calon profesor dapat berbagi tugas mengajar dan meneliti.
Seandainya…
Seandainya seluruh 5.133 profesor yang kita miliki saat ini sungguh-sungguh berkinerja dengan capaian mutu akademik yang baik, efeknya lebih dari cukup (meskipun masih relatif kecil dibandingkan jumlah total dosen) untuk menaikkan pamor keilmuan Indonesia dalam komunitas akademik internasional. Indikator capaian mutu tersebut sebenarnya ”sederhana”, yaitu publikasi hasil penelitian primer profesor pada jurnal internasional, publikasi mahasiswa bimbingan, dan jumlah dana penelitian dari luar yang berhasil dibawa profesor ke kampusnya.
Jika setiap dua tahun setiap profesor menghasilkan satu publikasi internasional yang sungguh bermutu dan minimal dua mahasiswa S-3-nya melakukan hal yang sama, maka setiap dua tahun ada sekitar 15.000 publikasi internasional bermutu diterbitkan dengan nama akademisi dan institusi Indonesia. Efek spiral keprofesoran ini akan semakin besar jika setiap profesor mampu mendatangkan dana penelitian sehingga ia dapat merekrut lebih banyak mahasiswa doktoral dan melibatkan kolega-kolega mudanya dalam penelitian post-doktoral. Sayang sekali kondisi di Indonesia saat ini tidak seperti itu.
Hingga saat ini, di Indonesia, jabatan ”profesor” yang sangat bergengsi tidak selalu diimbangi kinerja akademik dengan efek spiral yang signifikan bagi peningkatan mutu akademik. Banyak profesor telah lama meninggalkan kerja penelitian yang sesungguhnya, mungkin sejak tahun-tahun pertama setelah menjadi doktor. Di konferensi-konferensi bidang ilmu, jika ada profesor Indonesia turut sebagai penyaji, bicaranya ”compang-camping” bukan saja karena kemampuan bahasa Inggris terbatas, melainkan juga karena makalah yang disajikannya serba abstrak dengan pendekatan kedaluwarsa dan miskin data primer yang baru.
Keluhan umum selama ini adalah para profesor dan dosen terjebak dalam tugas-tugas administratif yang sangat membebani. Namun, jika diamati, banyak profesor dan dosen sebenarnya menikmati tugas-tugas administratif itu bagaikan kecanduan. Fenomenanya, cukup banyak profesor berusaha memperoleh posisi struktural baru setelah menyelesaikan masa tugas suatu jabatan struktural, alih-alih kembali ke habitat penelitian.
Karena makna simbolik ”profesor” yang sentral dalam dunia akademik, rasanya kinerja keilmuan para profesor perlu ditata ulang terlebih dahulu sebelum gagasan peningkatan mutu perguruan tinggi diterapkan dalam peraturan yang mengenai semua dosen.
Agus Suwignyo, Pedagog Cum Sejarawan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada
—————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 6 November 2015, di halaman 6 dengan judul “Menggugat Profesor”.