Jumlah profesor di negara kita terlalu sedikit. Itu pun sebagian dinilai kurang berkualitas dan tidak produktif. Hal ini terkuak dalam Seminar Nasional Keprofesoran yang digelar Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, di Jakarta, Kamis (29/10), dan diberitakan Kompas (30/10).
Tak ada yang perlu dibantah. Tiga masalah di atas memang merupakan kenyataan yang terjadi di Indonesia. Namun, masalah sebenarnya adalah masalah kedua dan ketiga.
Masalah pertama—minimnya jumlah profesor—dapat dengan mudah diatasi melalui, misalnya, instruksi presiden yang meminta agar diangkat lagi sejumlah profesor sehingga rasio antara jumlah program studi dan jumlah profesor menjadi lebih tinggi. Caranya? Tentu dengan menurunkan persyaratan menjadi profesor. Namun, apakah cara ini akan menyelesaikan ketiga masalah? Apakah syarat profesor di republik ini sangat sulit sehingga jumlahnya menjadi minim? Masalah ini telah diulas oleh Agus Suwignyo (Kompas, 06/11/2015) yang memperlihatkan bahwa rasio profesor terhadap jumlah dosen di negara majupun tidak tinggi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Beratkah syarat jadi profesor
Jika dibandingkan dengan negara maju, seperti Jepang, Jerman, dan Amerika, secara umum syarat menjadi profesor di Indonesia terlalu mudah. Jangankan dengan Singapura, dibandingkan dengan Malaysia saja syarat profesor kita masih terlalu lunak.
Dalam acara diskusi tentang penulisan makalah ilmiah beberapa waktu lalu, saya berkesempatan bertemu dan sedikit berbincang dengan seorang profesor dari Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM). Fakultas tempat saya bekerja memiliki sejarah panjang dengan UKM karena dahulu beberapa profesor senior mereka pernah kuliah di sini. Namun, dalam beberapa dekade terakhir ini, situasi sudah terbalik: cukup banyak anggota staf kami yang memperoleh doktor di UKM. Selama ini, kami memang mengklaim bahwa kami sepadan dengan UKM meski jelas jauh di bawah Universiti Malaya (UM). Tampaknya, klaim ini harus segera dikoreksi jika melihat kondisi sekarang.
Saya sempat menanyakan apa syarat jadi profesor di UKM. Jawabannya tentu saja mengagetkan. Selepas profesor madya (mungkin sebanding dengan lektor kepala di tempat kita), untuk menuju profesor penuh, minimal harus memiliki 20 makalah ilmiah yang ditulis di jurnal internasional berfaktor dampak (ISI impact factor). Masih ada embel-embel lain, yaitu minimal dalam 10 makalah ilmiah sang calon profesor harus sebagai corresponding author dan sang calon harus memiliki indeks-h minimal 12. Belakangan, nilai ini dikoreksi menjadi sekitar 7 karena kolega mereka dari ilmu sosial sulit mendapatkan indeks-h 12 tersebut. Masih ada tambahan lain, seperti harus memperoleh dana hibah dengan jumlah minimal tertentu, serta untuk bidang yang relevan harus ada bukti kerja sama dengan industri.
Lebih memberatkan lagi adalah kenyataan bahwa jumlah profesor di satu universitas ditentukan ketersediaan dana universitas tersebut. Jadi, jika ada lebih dari satu calon yang memenuhi kriteria minimal di atas, sementara universitas hanya memiliki dana untuk satu profesor, salah satu yang terbaik akan ditunjuk untuk mengemban jabatan profesor tersebut.
Bandingkan dengan syarat profesor di Indonesia, yaitu minimal 850 kum yang notabene dapat dikumpulkan dari mengajar teratur dan rajin mengunjungi konferensi di dalam negeri. Sementara syarat tambahannya adalah satu makalah di jurnal ilmiah internasional bereputasi yang didefinisikan sebagai memiliki faktor dampak. Syarat yang jauh lebih lunak dibandingkan dengan Malaysia ini saja sudah menuai banyak protes. Di lain pihak, meski aturan yang dibuat Ditjen Pendidikan Tinggi (Dikti) ini merupakan syarat minimal dari pemerintah untuk universitas dari Sabang hingga Merauke, menambah satu lagi makalah di jurnal internasional sebagai syarat profesor di universitas nomor satu di negeri ini dianggap sudah zalim!
Jika situasi seperti ini terus dibiarkan, kapan universitas-universitas kita dapat setara dengan universitas negeri jiran? Mungkin 100 tahun lagi atau tidak akan pernah terjadi sama sekali.
Masalah utama di balik minimnya jumlah profesor adalah rendahnya mutu riset yang dilakukan. Masalah ini sudah berkali-kali saya lontarkan di harian ini (Kompas 13/8/2014, 30/8/2013, dan 29/10/2012). Akibat rendahnya mutu riset, hasil riset tidak dapat dipublikasi di jurnal internasional yang merupakan jurnal baku (standar) di komunitas ilmiah bersangkutan, tidak mudah untuk dipatenkan, dan akhirnya tidak laku dijual ke masyarakat pengguna. Sangat logis jika para dosen kita tidak banyak yang berkiprah di komunitas ilmiah internasional masing-masing.
Banyak hal yang mengakibatkan rendahnya mutu riset. Yang sering disalahkan adalah kurangnya dana serta fasilitas riset meski yang paling patut dicurigai adalah rendahnya ambisi untuk melakukan riset karena riset hanya dipakai untuk naik pangkat! Namun, ada satu hal yang masih luput dari perhatian, yaitu dalam hal riset kita sudah mengasingkan diri dari kancah internasional dengan mendefinisikan sendiri apa itu riset serta bagaimana menilai kinerja periset serta produk riset.
Akibatnya, kita jarang melihat apa yang dikerjakan oleh kolega kita di Malaysia, apalagi di negara maju, seperti Amerika, Jepang, dan Jerman. Ribut-ribut tentang faktor dampak (impact factor) jurnal, indeks-h, serta peringkat universitas merupakan bentuk kekagetan kita setelah sekian lama terasing dari dunia ilmiah internasional. Ternyata kriteria baku yang dipakai universitas riset kelas dunia sudah jauh dari kriteria yang kita definisikan sendiri.
Ada hal yang pantas dicatat dari tulisan Agus Suwignyo (Kompas, 06/11). Jika setiap profesor melakukan penelitian mandiri dan membimbing minimal dua mahasiswa pascasarjana, jumlah publikasi internasional Indonesia sudah lebih dari cukup untuk kebutuhan saat ini. Sayangnya, hal ini tidak terjadi. Di republik ini, profesor yang aktif meneliti sekalipun mayoritas mengandalkan mahasiswanya untuk mendapatkan data primer. Ironisnya, ini pun terjadi pada calon profesor!
Solusi masalah
Paling sedikit ada dua solusi yang dapat kita gunakan untuk keluar dari masalah ini. Pertama, kita harus memisahkan ”jabatan” profesor dari sistem kepangkatan dan penggajian pegawai negeri. Jabatan profesor dibuat seperti jabatan direktur yang memimpin sebuah kelompok penelitian dalam satu bidang ilmu, mengajar program pascasarjana di bidang tersebut, dan menghasilkan produk riset sesuai kriteria baku universitas riset kelas dunia.
Dengan demikian, profesor tak bisa lagi ”mengamen” ke mana-mana mencari tambahan penghasilan atau menjabat posisi struktural lain. Jika harus menjabat posisi lain, jabatan profesornya harus ditinggalkan dan diganti orang lain yang juga kompeten dalam bidang tersebut. Tentu saja solusi pertama ini mengharuskan kita membongkar sistem pendidikan tinggi serta sistem riset nasional yang berakar pada UU Nomor 12 Tahun 2012 serta UU No 18/2002. Namun, dengan digabungkannya Kementerian Ristek dan Ditjen Dikti dalam satu kementerian baru, membongkar serta merajut kembali kedua UU tersebut memang sudah seharusnya diagendakan saat ini.
Solusi kedua adalah dengan memanfaatkan definisi ”profesor paripurna” yang sudah ada dalam UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen (Kompas, 30/8/2013). Karena perguruan tinggi berhak menetapkan profesor paripurna, solusi kedua ini dapat mencontoh persyaratan profesor di UKM, dengan catatan bahwa jabatan profesor penuh (full professor) adalah profesor paripurna. Untuk mendukung proses ini, pemerintah tinggal memberikan block grant tambahan kepada perguruan tinggi yang dianggap strategis untuk jadi universitas riset guna ditagih hasilnya beberapa tahun kemudian.
Terry Mart, Fisikawan UI dan anggota AIPI
———————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 November 2015, di halaman 6 dengan judul “Menggugat Kinerja Profesor”.