Achmad Baiquni Sutomandolo, fisikawan atom atau ahli nuklir pertama di Indonesia yang juga Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) 1973-1984 adalah putra daerah yang lahir di Kota Solo pada 31 Agustus 1923, tepatnya di Keprabon. Dia termasuk dalam jajaran ilmuwan fisika atom internasional yang disegani.
Laman resmi BATAN menyebut pada 1950, ilmu fisika atom masih menjadi monopoli Amerika Serikat yang lima tahun sebelumnya menjatuhkan bom atom di Hiroshima, Jepang. Baru pada 1954, Presiden Eisenhower mengizinkan fisika atom diajarkan secara terbuka di perguruan tinggi.
Baiquni pada tahun itu sedang memperdalam ilmu fisika di Amerika Serikat dan kemudian ikut menekuni fisika atom. Mula-mula, ia belajar di Laboratorium Nasional di Argonne selama tujuh bulan dan berlanjut ke Universitas Chicago dengan mengambil jurusan fisika nuklir hingga meraih gelar PhD pada 1964.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sekembalinya ke tanah air, Baiquni kembali mengajar di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Pada 1973, Baiquni ditunjuk menjadi Dirjen BATAN hingga 1984. Selain itu, dia juga pernah menjadi Dubes Indonesia untuk Swedia (1985-1988), Rektor UNAS, dan dosen IAIN-Syarif Hidayatullah. Baiquni meninggal pada 21 Desember 1998 di usia 75 tahun.
Koran Suara Merdeka edisi Selasa, 17 Juli 1956, memuat profil Baiquni yang disebut hanya butuh waktu dua tahun untuk menuntaskan dua gelar sekaligus sebagai fisikawan nuklir dan Master of Science. Koran tersebut mewawancarai Baiquni yang tiba di Solo, beberapa hari setelah dinyatakan lulus. Berikut nukilan koran tersebut.
“Beberapa hari yang lalu, [Baiquni] telah tiba kembali di Solo. Seperti pernah kita kabarkan, beberapa waktu yang lalu Baiquni Sutomandolo sebagai satu-satunya putera Indonesia yang belajar sebagai ahli atom (nuciear physics) di Argonne Laboratory Illinois di Amerika Serikat.”
“Kini ternyata bahwa kembalinya ke tanah air, tidak saja hanya menggondol ijazah ahli atom, tetapi juga ijazah Master of Science (ahli ilmu pasti dan alam). Ijazah Master of Science itu didapat dari Universitas Chicago. Jadi, ia juga satu-satunya putera Indonesia yang bukan saja mendapat gelar ahli atom tapi juga gelar Master of Science dari luar negeri.”
“Salah satu prestasi pelajaran yang bisa diangggap mengangumkan tang dicapai oleh Baiquni ualah, bahwa ia sesudah menempuh gelar Bachelor of Science bisa mencapai gelar Master of Science hanya mengikuti pelajaran dalam waktu 9 bulan.”
“Padahal menurut ketentuan gelar yang terakhir itu baru bisa dicapai sesudah mengikuti pelajaran selama 2 tahun sesudah Bachelor of Science. Tetapi Balquni ternyata bisa menempuhnya hanya dalam waktu 9 buian di Universitas Chicago.”
“Dalam pertjakapanya dengan kita [Suara Merdeka], Baiquni mengatakan kegembiraanya bahwa ia bisa kembali ke tanah air dengan menggondol ijazah-ijazah tersebut. la mempunyai tekad untuk meneruskan kecakapan-kecakapannya yang didapat di luar negeri itu kepada pemuda-pemuda Indonesia.”
“Besar harapannya bahwa pemuda-pemida Indonesia akan membuka pikirannya untuk pengetahuan-pengetahuan ilmu alam dan pasti, sebab dalam abad modern seperti sekarang ini memang membutuhkan ahli-ahli ilmu-ilmu tersebut, yang di Indonesia sekarang ini sangat terasa akan kekurangannya.”
“Baiquni sendiri sebenarnya masih ingin lebih memperdalam pengetahuan-pengetahuannya lagi. Tetapi ia terpaksa mengalahkan keinginan-keingannya itu mengingat bahwa tenaganya pada waktu sekarang ini lebih bermanfaat untuk disumbangkan pada tanah airnya juga sedang membangun ini. Ia sekarang menjadi Assistent Docent dalam ilmu pasti dan alam di Universitas Gadjahmada (UGM) Jogja.”
Ahli Nuklir dalam Warna Hijau
Selain Koran Suara Merdeka, Majalah Tempo edisi 48/11 tanggal 28 Januari 1984 juga sempat memuat profilnya. Ia disebut sebagai Ahli Nuklir dalam Warna Hijau. Solopos menulis ulang sebagian profil Baiquni dari Majalah Tempo tersebut. Kala berita itu dimuat, di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia, tengah terjadi aksi unjuk rasa besar-besaran menentang penggunaan tenaga nuklir, baik untuk perang maupun hal lain.
Baiquni mengaku tidak memusuhi tenaga nuklir, bahkan melihat pemanfaatannya, untuk menghasilkan listrik, sangat menguntungkan. “Memang, sinar matahari, juga angin, bisa didapat dengan gratis,” katanya. “Tapi untuk memanfaatkan tenaga alami itu dibutuhkan biaya sangat besar. Instalasinya, reflektornya, dan penampung panasnya.”
Kalau nanti Indonesia sudah membutuhkan tenaga listrik besar-besaran, pilihan tinggal memakai batu bara atau nuklir. Baiquni memilih nuklir. Sebab, harga satu kg uranium hanya US$30, tapi energi yang bisa diperoleh sama dengan 30 ton batu bara seharga US$ 700.
Sudah cukup lama anggota organisasi Pusat Internasional untuk Fisika Teori (Italia) ini getol melakukan studi kelayakan untuk pembangunan Pusat Listrik Tenaga Nuklir di Lasem, Jawa Tengah. Kapasitas pusat listrik itu direncanakan sekitar 600 megawatt. Pertanyaan kini: Apakah pusat listrik tenaga nuklir ini nanti tidak membahayakan penduduk sekitar?
Bagi Baiquni, ayah enam anak dan seorang pemeluk Islam yang taat, jawabannya tegas: tidak. Dari tiga pusat nuklir yang dibawahkan Batan saat ini – Pusat Penelitian Bahan Murni dan Instrumentasi di Yogyakarta, Pusat Penelitian Teknik Nuklir di Bandung, dan Kompleks Penelitian Tenaga Atom dan Pengoperasian Unit Iradiator di Jakarta – kemungkinan terjadi kecelakaan, kebocoran radiasi misalnya, sangat kecil.
Lagipula, setiap instalasi yang menggunakan tenaga nuklir “Harus selalu mempunyai daya pengaman otomatis,” kata anggota Komite Ilmiah PBB untuk Akibat Radiasi Atom ini. “Pokoknya, kalau ada kelainan sedikit saja pada instalasi itu, semua peralatan berhenti bekerja dengan sendirinya.” Singkat kata, Baiquni yakin bahwa pemakaian tenaga nuklir bisa hemat dan aman. Bila dia berbicara tentang nuklir yang terbayang dalam kepalanya adalah nuklir untuk kepentingan damai – bukan perang.
Baiquni lahir di Keprabon, kawasan tengah kota di pinggir jalan protokol, Jl. Slamet Riyadi Solo. Tanggalnya 3i Agustus 1923. Sejak kecil, ia sudah memperoleh pendidikan agama. Pada usia kanak-kanak, ahli fisika atom ini sudah mampu membaca juz ke-30, sebelum ia bisa membaca menulis huruf latin.
Dan seperti kebiasaan anak-anak santri, ia pun masuk madrasah: belajar agama pada sore hari, setelah paginya bersekolah sekolah dasar. Malahan, ia melanjutkan menuntut ilmu agama di madrasah tinggi Mamba’ul Ulum, madrasah yang didirikan Paku Buwono X.
Barangkali karena dasar agamanya yang begitu kuat, maka Baiquni tak takut nuklir. “Tidak ada kontradiksi antara agama dan ilmu pengetahuan,” kata penulis buku Fisika Modern (1978) ini. “Keduanya berkaitan erat sekali.” Dan di dua dunia itu – dunia ilmu dan dunia agama – Baiquni punya peranan. Misalnya, ia pernah duduk dalam Dewan Kurator Universitas Asy-Syafi’iyyah, Jakarta. Ia pun sering kali diminta memberikan pengajian agama.
Keingintahuan Baiquni di bidang ilmu ternyata sama kuat dengan keimgintahuannya di bidang agama. Bila minatnya di bidang agama dibentuk oleh lingkungan keluarga, minatnya terhadap matematika dan fisika mungkin diperolehnya dari guru sekolah menengahnya.
Guru itu, tutur, sangat pintar bercerita tentang teori-teori fisika Einstein serta teori geometri Riemann dan Lobatschewski – seorang tokoh fisika modern dan dua tokoh matematika. “Apalagi kemudian Tuhan Yang Maha Esa menganugerahkan kesempatan agar saya memperdalam ilmu fisika.”
Apa masa depan baginya? Baiquni bukannya tak ngeri membayangkan perang nuklir meletus. Menurut perhitungannya, kini tiap orang di dunia kebagian empat ton bahan peledak. “Bayangkan, betapa dahsyat bila perang nuklir benar-benar terjadi,” kata Baiquni.
Meskipun demikian, Baiquni tak habis mengertl bila untuk keperluan damai pun tenaga nuklir ditentang. Sebab, katanya, menurut panitia khusus PBB yang mempelajari soal radiasi, manusia sehari-hari diserang radiasi. Yakni 68% dari sinar kosmos, batu-batuan di permukaan bumi, dan lain-lainnya. Lalu, 31% dari alat-alat medis, seperti peralatan sinar ronsen. Sekitar 0,6% dari percobaan senjata nuklir. Dan hanya 0,15% dari instalasi nuklir seperti pusat tenaga listrik.
Yang belum dijawab Baiquni, “Adakah jaminan bahwa manusia yang terkena radiasi – misalnya akibat instalasi listrik nuklir bocor – bisa disembuhkan? Baiquni mungkin memang belum punya jawaban. Barangkali, nuklir atau apapun bila digunakan untuk perang dan kejahatan akibatnya memang buruk.
Mariyana Ricky P.D, Jurnalis Solopos Media Group, menulis konten di media cetak dan media online.
Sumber: SoloPos, Selasa 17 Mei 2022