Kaum Muda Cenderung Pilih Buku Elektronik
Dunia digital memberikan peluang bagi industri buku untuk meningkatkan minat generasi muda mengonsumsi bahan-bahan bacaan bermutu. Karena itu, penulis dan penerbit hendaknya pandai memanfaatkan media sosial sebagai sarana promosi.
“Ketika internet pertama kali muncul, banyak penerbit konvensional yang merasa terancam. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, penerbit dan penulis belajar bahwa media digital merupakan teman dan bisa menyokong keberlangsungan perbukuan,” kata redaktur senior Kompas, St Sularto, ketika memberi ulasan dalam diskusi bulanan Komunitas Penulis Penerbit Buku Kompas, di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (19/5).
Topik diskusi bulan Mei adalah ”Buku Vs Media Sosial: Membangkitkan Selera Literasi untuk Dunia.” Para pembicara diskusi adalah penulis serial novel Negeri Lima Menara, Ahmad Fuadi; penggagas tabloid anak Berani; Witdarmono; dan pengelola rubrik Kompasiana. Pepih Nugraha. Bertindak sebagai pembawa acara adalah Peter Carey, sejarawan Inggris dan penulis buku Takdir Riwayat Pangeran Diponegara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ahmad mengungkapkan, kesuksesan kariernya sebagai penulis sangat berutang kepada keberadaan media Sosial. ”Melalui media sosial, saya bisa menjalin pertemanan dan membangun komunitas dengan penulis-penulis lain dan dengan pembaca,” ujarnya.
Jaringan pertemanan dan komunitas yang dibangunnya memungkinkan Ahmad mempromosikan buku lebih efektif daripada sekadar memasang iklan di toko buku. Ia juga gemar menuliskan beberapa kutipan dari karya-karyanya di akun Facebook dan TWitter.
Kutipan-kutipan itu dinilainya menimbulkan rasa penasaran bagi para pengguna media sosial. Agar bisa membaca kelanjutan bagian cerita tersebut. mereka harus membeli novel-novel karya Ahmad.
“Cara ini terbukti bisa menarik minat pembaca-pembaca muda yang lahir di zaman digital. Mereka tidak lagi membaca dengan menyentuh buku, tetapi melalui peralatan elektronik seperti komputer ataupun telepon pintar,” ujar Ahmad.
Buku elektronik (e-book), menurut dia juga berperan besar dalam upaya menjangkau generasi muda. Diakuinya, kian sedikit generasi muda yang membeli buku cetak karena tidak praktis untuk dibawa-bawa. Mereka memilih membeli buku elektronik yang diunduh ke telepon pintar.
“Membaca novel menjandi semakin praktis. Konsumen tidak perlu repot keluar rumah untuk mengunjungi toko buku. Novel pun bisa dibawa ke mana saja,” kata Ahmad.
Keluarga
Witdarmono menuturkan, pada 2006, sudah ada gerakan membaca selama 15 menit setiap hari di sekolah. Namun, hanya beberapa sekolah yang menerapkannya.
Oleh karena itu, meskipun menghargai kebiiakan pemerintah sekarang yang mewajibkan siswa membaca 15 menit setiap hari sebelum pelajaran di sekolah, kebijakan tersebut dinilainya belum bisa optimal. Upaya menciptakan iklim membaca juga harus dilakukan di keluarga.
”Keluarga hendaknya tegas dalam mendefinisikan kegunaan gawai. Jika gawai memang hanya digunakan untuk bekerja, sebaiknya orangtua tidak memakai gawai ketika sedang bersantai dengan anak“ ujar Witdarmono.
Selain itu, menurut dia, penggunaan gawai perlu difokuskan pada aktivitas membaca. (DNE)
Sumber: Kompas, 20 Mei 2016