Masyarakat yang Mengedepankan Emosi

- Editor

Senin, 18 Januari 2016

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Selang 62 hari setelah serangan teror dan bom bunuh diri mengguncang Paris, Perancis, 13 November lalu, peristiwa serupa mengguncang Jakarta, Kamis (14/1). Meski pola serangan mirip dan pelaku diduga dari kelompok teror yang sama, Negara Islam di Irak dan Suriah, respons masyarakatnya jauh berbeda.

Skala teror dan jumlah korban dua peristiwa itu memang berbeda. Di Paris, lebih dari 128 orang tewas, sedangkan di Jakarta tujuh orang tewas, itu pun lima di antaranya diduga pelaku. Lokasi serangan di Paris tersebar di berbagai pusat keramaian berjauhan, sedangkan di Jakarta terpusat di kawasan Sarinah, Jakarta.

Serangan di Paris menimbulkan ketakutan massal, kewaspadaan tinggi, dan duka mendalam hingga beberapa hari. Di Jakarta, setelah bom bunuh diri meledak, masyarakat justru berkumpul mengerubungi korban. Mereka tak sadar potensi bahaya lain bisa saja masih ada.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Saat pelaku teror menembaki polisi, warga yang berkerumun kocar-kacir. Namun, itu tak berarti mereka menjauh menghindari lokasi. Mereka hanya bergeser sampai batas yang dilarang polisi demi menyaksikan duel antara polisi dan pelaku.

“Orang Indonesia mudah terpengaruh pada kesan pertama, tak melihat potensi bahaya di belakangnya,” kata Kepala Pusat Studi Otak dan Perilaku Sosial Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Sam Ratulangi, Manado, Taufiq Pasiak, Sabtu (16/1).

Kondisi mencekam itu juga tak membuat pedagang kaki lima yang berjualan di dekat lokasi beringsut. Mereka memilih menjaga dagangannya daripada rusak atau hilang dicuri. Bahkan pedagang yang lain justru mendekat. Bagi mereka, di mana ada kerumunan massa, di situ untung bisa didulang.

Di dunia maya dan sejumlah media massa, kengerian serangan teror menyebar tanpa sensor. Isu bom di beberapa lokasi lain kian menebar ketakutan meski nyatanya bohong. Dengan alasan kesetiakawanan, warga menyebar informasi tanpa memastikan kebenarannya terlebih dahulu.

“Selalu jadi pembawa kabar pertama meski belum tentu benar ialah naluri bawaan manusia,” ujarnya. Itu menunjukkan rendahnya empati masyarakat. Namun, pendidikan dan pergaulan bisa mengubah naluri itu.

Emosional
Peneliti Pusat Kesehatan Mental Masyarakat Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Rahmat Hidayat, Jumat, mengatakan, masyarakat Paris terlatih menghadapi berbagai bencana, mulai dari kebakaran hingga situasi kacau seperti serangan teror. Itu belum terbangun pada mayoritas warga Indonesia. “Reaksi masyarakat Indonesia yang pertama muncul terhadap teror murni didasari emosi semata, bukan keterlatihan,” ucapnya.

Jika masyarakat terlatih, mereka tak akan mudah termakan desas-desus atau ikut menyebar informasi yang belum tentu benar sehingga menimbulkan ketakutan massal.

Dominannya emosionalitas sebenarnya merupakan buah pahit budaya tenggang rasa dan segan. Meski nilai budaya tersebut positif, hal itu bisa berdampak negatif sehingga memunculkan maraknya korupsi dan gratifikasi.

Rahmat menambahkan, setelah warga bisa mengendalikan emosi, mereka mulai mengonsolidasikan kognisi. Pengecekan informasi mulai dilakukan sehingga mereka lebih tenang. Terlebih setelah mereka tahu polisi berhasil melumpuhkan pelaku teror dan saat tahu jumlah korban tak sebesar teror bom sebelumnya yang pernah mengguncang Jakarta.

Perhatian warga pun bergeser. Mereka tak hanya ingin tahu teror yang terjadi, tetapi juga mulai memperhatikan aktor yang menumpas teror. Maka, segala tindak-tanduk polisi atau aktivitas pedagang kaki lima yang ada di sekitar lokasi jadi perhatian.

Muncullah berbagai tanggapan yang jadi “pemanis” dalam penumpasan teroris itu, mulai dari polisi ganteng, model baju polisi, merek sepatu dan tas mereka, hingga ingin tahu merek minyak rambut yang dipakai hingga tampak klimis.

“Emosionalitas orang Indonesia yang tinggi membuat mereka mudah tertarik pada hal-hal atraktif dan tampilan fisik, baik yang mengagumkan atau menyedihkan,” kata Taufiq.

Kepercayaan diri
Berbagai informasi persuasif, seperti pedagang tetap berjualan di sekitar lokasi kontak senjata, kian meyakinkan warga bahwa situasi terkendali. “Di saat bersamaan, simpati dan percaya diri warga muncul,” ucap Rahmat.

Masyarakat pun mulai mengevaluasi kejadian. Setelah tahu situasi tak semencekam yang dikhawatirkan, aneka guyonan terkait aksi teror muncul.

Kemudian, warga memasuki fase psikologis pemulihan hingga memunculkan gerakan “Kami Tidak Takut”. Peristiwa teror itu memunculkan solidaritas dan kebersamaan dan memperkuat percaya diri sebagai bangsa.

“Munculnya solidaritas dan semangat bersama hadapi teror bisa jadi kekuatan budaya bangsa,” kata dosen Antropologi Universitas Indonesia, Sri Murni.

Rahmat menilai, cara orang Indonesia menghadapi situasi yang memicu stres berbeda dengan penduduk Barat. Sebagai masyarakat kolektif, dukungan sosial dan perhatian pada sesama di Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan masyarakat Barat yang individualis.

Namun, kolektivitas itu membuat sikap tak takut warga pada terorisme tak bisa dimaknai mereka berani melawan terorisme sendiri. “Karena ada orang lain menyatakan tak takut, mereka pun merasa tak takut,” ujar Taufiq.

Sikap mencontoh orang lain itu adalah turunan dari budaya paternalistik warga. Budaya itu bisa bermakna bagus karena mendorong gotong royong, tetapi juga bisa berdampak buruk karena membuat warga tak peka bahaya dan bergantung kepada orang lain.

Memaknai peristiwa
Cara memaknai peristiwa (locus of control), termasuk kejadian menakutkan, antara warga Indonesia dan Barat pun berbeda. Masyarakat Barat punya locus of control internal, artinya segala yang terjadi pada diri mereka adalah buah dari perbuatan mereka.

Sementara masyarakat Indonesia punya locus of control eksternal yang berarti ada nasib dan takdir. Ketika mendapat sesuatu tak menyenangkan atau tak diinginkan, warga merasionalkan sebagai takdir yang tak bisa dihindari.

“Orang Indonesia cenderung unconditional positive acceptance, menerima tanpa syarat atas yang mereka alami,” kata Rahmat.

Hal itu membuat warga tak terlalu rewel dengan ada atau tidaknya peran pemerintah dalam mengatasi bencana. Masyarakat lebih mudah menerima apa yang terjadi pada mereka.

Penerimaan itu juga membuat emosi masyarakat lebih cepat pulih dalam menghadapi bencana dibandingkan masyarakat Barat. Namun, itu juga bisa membuat kesadaran mereka terhadap bencana rendah dan amat mudah menggantungkan nasibnya kepada orang lain.

Menurut Sri, respons warga Indonesia pada teror yang tak menimbulkan duka panjang tak terlepas dari “kenyang”-nya mereka dengan berbagai bencana. Serangan bom di kawasan Sarinah bukan yang pertama, berbagai serangan teror atau bencana alam lebih masif pernah mereka alami atau dengar.

“Semua memori bencana yang dialami, dibaca, ataupun ditonton terekam dan jadi acuan untuk merespons dan mengantisipasi bencana yang terjadi,” ujarnya.

Taufiq menambahkan, bombardir berita kematian, kecelakaan, atau sadisnya kejahatan yang diperoleh warga tiap hari melalui media massa dan media sosial turut menurunkan kepekaan mereka terhadap bencana. Mereka jadi tak mudah terkejut dengan hal-hal mengerikan, seperti bom, mutilasi, ataupun kematian.

Meski demikian, Rahmat menilai, paradigma masyarakat dalam menghadapi bencana harus diubah. Pemerintah mesti hadir mengubah warga yang emosional menjadi lebih rasional dalam menghadapi bencana, tak hanya meminta masyarakat untuk sabar dan tawakal.

“Karakter budaya adiluhung yang mengajarkan sabar dan tawakal tetap harus dipelihara, tetapi mitigasi bencana dan kemampuan mengelola risiko tetap harus diajarkan,” ucapnya.

Taufiq menambahkan, sistem pendidikan yang baik dan mengutamakan logika bisa menjadi jalan untuk mengubah paradigma masyarakat menghadapi bencana. Rasionalitas itu juga akan membuat masyarakat lebih selektif menerima dan menyebarkan informasi yang melimpah sehingga tak lagi memicu kepanikan massal.–M ZAID WAHYUDI
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 Januari 2016, di halaman 9 dengan judul “Masyarakat yang Mengedepankan Emosi”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes
Kalender Hijriyah Global: Mimpi Kesatuan, Realitas yang Masih Membelah
Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?
Wuling: Gebrakan Mobil China yang Serius Menggoda Pasar Indonesia
Berita ini 8 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Rabu, 2 Juli 2025 - 18:46 WIB

Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa

Jumat, 27 Juni 2025 - 08:07 WIB

Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes

Jumat, 27 Juni 2025 - 05:33 WIB

Kalender Hijriyah Global: Mimpi Kesatuan, Realitas yang Masih Membelah

Berita Terbaru

Fiksi Ilmiah

Bersilang Nama di Delhi

Minggu, 6 Jul 2025 - 14:15 WIB

Artikel

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Sabtu, 5 Jul 2025 - 07:58 WIB