Mary Zurbuchen; Menemukan Jarum di Tumpukan Jerami

- Editor

Jumat, 8 Juni 2012

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Pemimpin dengan visi masa depan harus dicari di seluruh pelosok negeri. Mereka terpapar pada kondisi serba kurang, tetapi terus berkarya bersama komunitas, menantang proses, mendorong semangat untuk mencari solusi keluar dari keterbatasan.

Semua orang mengharapkan jenis pemimpin baru Indonesia pasca-Soeharto,” ujar Mary Zurbuchen (62), Direktur International Fellowship Program (IFP) The Ford Foundation (FF) untuk kawasan Asia dan Rusia, di Jakarta, suatu siang.

Tak mudah mendefinisikan kriteria ”pemimpin baru”. Menurut Zurbuchen, salah satu tipenya bisa dilihat pada sosok Subiarto. Lelaki yang dilahirkan tahun 1976 itu berasal dari keluarga petani miskin di suatu desa di timur Aceh.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Untuk membiayai kuliahnya, Subiarto bekerja menjadi kuli bangunan. Ia membangun komitmen sosialnya dengan mengajar Matematika untuk anak- anak miskin. Subiarto lulus S-1 bidang Matematika dari Universitas Syiah Kuala.

Subiarto lolos seleksi IFP Cohort I karena memenuhi kriteria penerima beasiswa program itu. Ia berasal dari keluarga marjinal, aksesnya terbatas, tetapi bisa melakukan perubahan dengan sumber daya yang ada. Ia pemimpin dalam arti sebenarnya, ia menggunakan pengetahuannya untuk mengubah situasi kebodohan dan ketidakberdayaan, serta mengatasi segala hambatan. Dia melebihi harapan keluarga dan lingkungannya.

Subiarto menyelesaikan S-2 bidang Statistik dan Matematika Terapan di Universitas Birmingham, Inggris. ”Dalam perjalanan pulang, ia singgah ke Mekkah, beribadah haji,” kenang Zurbuchen, ”Ia tiba di Jakarta awal Oktober. Namun, Subiarto dan keluarganya hilang ketika Aceh diterjang tsunami. Kami tak bisa lagi menemukannya.”

Ketidaksetaraan akses

Mary Zurbuchen meyakini, kesempatan belajar sampai pendidikan tinggi membawa kebaikan bagi masyarakat. Pertanyaannya, siapa mendapat kesempatan itu? Ia tahu, ketidaksetaraan akses dan kesenjangan yang sangat dalam merupakan masalah serius di Indonesia.

”Agar pengetahuan yang luas digunakan untuk membangun yang di bawah, definisi ’merit’ harus diubah, tak hanya dengan hasil testing kecerdasan intelektual. Ada unsur lain yang bisa diperkuat melalui proses pendidikan tinggi,” katanya.

Bagi Zurbuchen, kepemimpinan ideal di Indonesia—secara geografi adalah negara kepulauan dengan tingkat keberagaman tinggi—adalah pemimpin berbasis komunitas dengan komitmen sosial yang dihidupi. Namun, tak mudah menemukan mereka di tengah hiruk-pikuk politik kekuasaan di ruang publik.

Upaya mencari mereka dimulai sejak awal 2000-an. Beasiswa pascasarjana IFP adalah alatnya. FF menyediakan 355 juta dollar AS sebagai komitmen keadilan sosial di pendidikan tinggi melalui beasiswa IFP pada 22 negara tempat FF bekerja, di Asia, Afrika, Amerika Latin, dan Rusia. Ini berlangsung tahun 2001-2013.

”Prinsip dasarnya memperluas akses ke perguruan tinggi, mencakup kelompok yang aksesnya ke pendidikan lanjutan sangat kecil, menjunjung nilai keragaman, dan mengembangkan pengetahuan yang akan menuju pada keadilan sosial,” katanya.

Menurut Zurbuchen, masalah di tingkat lokal dengan konteks terbatas juga ditemukan di belahan mana pun di dunia. Pengetahuan mengenai solusi yang dimungkinkan bisa dicapai karena di zaman globalisasi ini semua berkaitan.

”Pengetahuan mutakhir yang terbaik di satu bidang harus bisa dicapai oleh kalangan mana pun, tak hanya lapisan tertentu. Ini menyangkut soal akses,” katanya.

Bukan beasiswa biasa

Dengan rambu-rambu itu, kriteria umum program beasiswa, seperti young, the best, and the brightest, tak berlaku. ”Penerima beasiswa tertua adalah pengacara hak asasi manusia dari Siberia. Usianya 71 tahun,” kata Mary Zurbuchen.

The Indonesian International Education Foundation, yang menjalankan program IFP, menjemput bola dengan mencari calon sampai ke pelosok Nusantara. Proses seleksi berlangsung lima kali di tingkat regional dan nasional. Juga ada program khusus bahasa Inggris selama setahun bagi yang diterima sebelum kuliah dimulai. ”Dengan proses yang transparan, terjaring 14 fellow berkebutuhan khusus,” ujarnya.

Sebanyak 288 fellow telah menyelesaikan studinya, 75 lainnya sedang menyelesaikan studinya di luar negeri. Sekitar 69 persen berasal dari luar Jawa dengan angka kegagalan tiga sampai lima kasus. Itu pun, kata Zurbuchen, lebih disebabkan masalah pribadi.

Meski program IFP di Indonesia berakhir tahun 2012, Zurbuchen berharap prosesnya bisa diadopsi untuk program beasiswa lain. ”Proses itu mempercepat terwujudnya keadilan sosial di bidang pendidikan, dan masyarakat yang makin terbuka wawasannya,” katanya.

Rumah kedua

Bagi Zurbuchen, Indonesia adalah ”rumah kedua”. Setelah menjadi guru sukarelawan di Bali awal 1970-an, ia kembali bermukim di Bali selama 2,5 tahun untuk riset disertasinya pada tahun 1977. Sejak itu, ”Saya bukan lagi warga AS yang sama seperti sebelum berangkat.”

Ada cerita unik terkait dengan hal itu. Ketika hendak meninggalkan Indonesia, seorang sinse mengatakan, Zurbuchen akan terus berhubungan dengan Indonesia.

”Ternyata memang saya bolak-balik ke sini, bahkan bermukim lama di sini,” kenang ibu dua anak itu, yang kembali ke Indonesia dua-tiga kali setahun sejak IFP di Indonesia, ”Indonesia adalah rumah kedua, yang melengkapi penziarahan saya.”

Mary Zurbuchen bergumul intens dengan persoalan di Asia Tenggara dan di Indonesia sejak tahun 1984. Dengan latar seperti itu, ia sangat memahami persoalan di Indonesia.

Ia tahu kait-mengait antara rendahnya kualitas pembangunan manusia dengan kemiskinan, rendahnya tingkat partisipasi pendidikan, kurangnya partisipasi perempuan, tingginya angka kematian ibu, kurangnya kesadaran dan fasilitas kesehatan, rendahnya kesadaran lingkungan, dan maraknya korupsi.

”Negeri ini telah memberi begitu banyak buat saya. Saya ingin menulis pengalaman saya terkait perubahan di Indonesia, ” ujar Zurbuchen yang tahun ini genap 40 tahun mengenal Indonesia. (Maria Hartiningsih )

Sumber: Kompas, 8 Juni 2012

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Dr. Jonas E Penemu Obat Anti Polio
Antoni Van Leewenhoek 1632 – 1723
Purbohadiwidjoyo Geologiwan
Jane Goodall, Ilmuwan Terkemuka Inggris Tanpa Gelar Sarjana
Prof. Dr. D. Dwidjoseputro, M.Sc. Sosok Guru dan Guru Besar Biologi Sesungguhnya
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
IPB University Punya Profesor Termuda Berusia 37 Tahun, Ini Profilnya
Haroun Tazieff, Ahli vulkanologi, dan Otoritas Tentang Bahaya Alam
Berita ini 2 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 14 Juni 2023 - 14:35 WIB

Dr. Jonas E Penemu Obat Anti Polio

Rabu, 14 Juni 2023 - 14:30 WIB

Antoni Van Leewenhoek 1632 – 1723

Minggu, 14 Mei 2023 - 14:17 WIB

Purbohadiwidjoyo Geologiwan

Minggu, 11 September 2022 - 16:13 WIB

Jane Goodall, Ilmuwan Terkemuka Inggris Tanpa Gelar Sarjana

Kamis, 26 Mei 2022 - 16:33 WIB

Prof. Dr. D. Dwidjoseputro, M.Sc. Sosok Guru dan Guru Besar Biologi Sesungguhnya

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB