Lubang Hitam di Pusat Bimasakti Dikelilingi Ribuan ”Blanet” Seukuran Bumi

- Editor

Kamis, 6 Agustus 2020

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Dunia yang aneh dan baru bagi manusia diduga mengelilingi lubang hitam di pusat galaksi kita, Bimasakti. Obyek antariksa baru itu dinamai ”blanet” alias black hole planet atau planet yang mengelilingi lubang hitam.

KOMPAS/NASA/JPL-CALTECH—Konsep artis tentang lubang hitam supermasif. Korona atau mahkota cahaya yang menyelubungi lubang hitam bisa menciptakan kilatan sinar-X di sekitar lubang hitam. Saat cahaya korona bersatu (kiri), maka korona akan menjadi lebih terang hingga akhirnya memancarkan sinar-X dari lubang hitamnya (tengah dan kanan). Di dalam korona inilah diduga terdapat banyak blanet alias planet yang mengelilingi lubang hitam supermasif.

Dunia yang aneh dan baru bagi manusia diduga mengelilingi lubang hitam di pusat galaksi kita, Bimasakti. Obyek antariksa baru itu dinamai ”blanet” alias black hole planet atau planet yang mengelilingi lubang hitam.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Semesta kita dipenuhi oleh lubang hitam supermasif, benda yang sangat masif dengan kekuatan gravitasi mahadahsyat. Lubang hitam supermasif itu mengikat galaksi-galaksi untuk bergerak bersama-sama. Sejumlah lubang hitam itu terkadang memancarkan kolom materi di antara kedua kutubnya, membentuk semburan jet yang sangat terang dan bisa disaksikan dari berbagai penjuru antariksa.

Gravitasi yang sangat besar dari lubang hitam diduga juga mengikat ribuan blanet di sekitarnya. Blanet adalah istilah yang digunakan astronom untuk menyebut planet yang mengorbit lubang hitam. Karakter blanet diyakini tidak berbeda jauh dengan planet yang mengelilingi bintang-bintang, termasuk planet-planet di tata surya kita.

Blanet terbentuk dari awan debu yang mengelilingi lubang hitam. Awan debu ini berada di piringan akresi materi yang memutari lubang hitam. Awan debu dan piringan akresi materi itu berada dalam jarak tertentu yang memungkinkan mereka tidak tersedot ke lubang hitam. Batas jarak yang membuat sebuah benda tersedot atau tidak tersedot ke lubang hitam itu dinamakan horizon peristiwa (event horizon).

Sama seperti planet, blanet juga memiliki wujud yang mirip dengan planet. Ada blanet yang tersusun dari batuan seperti Bumi meski ukurannya 10 kali lebih besar dari Bumi, tetapi ada pula blanet yang tersusun atas gas raksasa seperti planet Neptunus. Namun karena blanet berada di dalam piringan akresi materi yang melahirkannya, blanet tidak bisa dilihat.

Keberadaan blanet itu diungkapkan sejumlah astronom Jepang yang dipimpin Keiichi Wada dari Universitas Kagoshima, Jepang. Mereka memublikasikan studinya tentang teori pembentukan blanet itu di The Astrophysical Journal pada 26 November 2019 dan di jurnal arXiv pada 30 Juli 2020.

KOMPAS/NASA/JPL-CALTECH—Konsep artis tentang lubang hitam supermasif dengan piringan akresi materi yang mengelilinginya. Cahaya ungu yag menyelubungi lubang hitam itu adalah korona atau mahkota cahaya yang mengandung partikel berenergi tinggi hingga dapat memancarkan sinar-X. Di dalam korona itulah diduga banyak terdapat blanet atau planet yang mengelilingi lubang hitam supermasif.

Blanet umumnya mengelilingi lubang hitam supermasif (supermassive black hole/SMBH), yaitu lubang hitam yang massanya terentang dari ratusan ribu hingga miliaran kali massa Matahari. Namun, tidak semua lubang hitam supermasif memiliki blanet.

Pembentukan
Membentuk gumpalan materi sebagai calon blanet tentu tidak semudah membentuk calon planet (protoplanet) di sekitar bintang. Kerapatan debu dan gas yang ada di piringan akresi lubang hitam jauh lebih kecil atau jauh kurang masif dibandingkan kumpulan debu dan gas yang ada di sekitar bintang-bintang muda.

Selain itu, korona atau mahkota cahaya yang mengelilingi lubang hitam di luar batas horison peristiwa, termasuk cahaya di piringan akresi lubang hitam, sangat panas dan terang hingga es dipastikan sulit terbentuk. Padahal, es merupakan salah satu bahan utama pembentukan planet.

Dalam pembentukan planet, partikel-partikel debu yang terselubungi es dan mengitari bintang akan saling bertabrakan. Tabrakan itu membuat partikel debu cenderung menggumpal.

Seiring bertambahnya waktu, kata Wada seperti dikutip Livescience, Selasa (4/8/2020), gumpalan itu akan semakin besar hingga menimbulkan gaya gravitasi yang cukup untuk menarik lebih banyak debu. Konsekuensinya, gumpalan debu itu akan semakin bertambah besar hingga membentuk planet berbatu.

Mirip dengan kondisi pembentukan planet, tanpa air beku atau karbon dioksida beku alias es kering (dry es), sangat sulit membentuk blanet. Dari sejumlah studi, sejumlah lubang hitam memiliki ”garis salju” di piringan akresi materi yang mengelilinginya. Di wilayah ”garis salju” itu suhunya cukup memungkinkan untuk terbentuknya es.

”Di luar garis salju, partikel debu juga diselubungi es. Akibatnya, mereka sangat mudah menggumpal saat terjadi tabrakan dengan partikel debu lainnya,” kata Wada.

Di luar garis salju itu, blanet batuan dapat dengan mudah terbentuk dari gumpalan debu besar. Pembentukan blanet itu bisa memakan waktu 10 juta tahun. Jika calon blanet batuan itu mampu menarik cukup banyak gas, mereka bisa membentuk blanet gas. Namun, semua itu tidak akan terbentuk tanpa adanya lapisan es tipis yang menyelubungi bulir-bulir debu di piringan akresi lubang hitam.

Karena itu, lubang hitam supermasif yang relatif redup dan dingin akan lebih memungkinkan memiliki blanet. Lubang hitam supermasif dengan karakter seperti itu, salah satunya ada di pusat galaksi kita, Bimasakti. Karena itu, lubang hitam di pusat Bimasakti kemungkinan memiliki ribuan blanet.

Keberadaan blanet itu dinilai Wada bukan sebagai hal yang mengejutkan. Piringan protoplanet mirip dengan piringan materi yang berputar mengelilingi lubang hitam. Namun, belum ada yang melakukan studi tentang potensi pembentukan planet di sekitar lubang hitam.

”Kemungkinan besar hal itu terjadi karena para peneliti keplanetan kurang banyak mengetahui tentang inti galaksi aktif (active galactic nuclei/AGN). Demikian pula sebaliknya,” katanya.

Inti galaksi aktif adalah daerah yang menyelubugi lubang hitam supermasif di pusat galaksi. Bagian ini umumnya memiliki kecerlangan sangat tinggi, lebih terang dibandingkan cahaya galaksi yang mengelilinginya.

Wada hingga kini masih bekerja untuk mendetailkan teori pembentukan blanet. Model pembentukan blanet yang pertama disusunnya dianggapnya terlalu halus atau fluffy hingga menjadi planet yang besar, tapi kerapatannya sangat rendah. Namun, model blanet terbarunya memiliki kerapatan yang lebih tinggi hingga lebih mendekati model planet yang sesungguhnya.

Selain itu, mereka juga membangun kembali pemahaman tentang sebaran debu di sekitaran lubang hitam supermasif. Keberadaan debu di sekitar lubang hitam supermasif itu lebih tersebar dibandingkan debu yang mengelilingi bintang. Debu-debu itu akan menggumpal di dalam lapisan gas tipis di piringan akresi lubang hitam.

KOMPAS/NASA—Model Galaksi Bimasakti dilihat dari atas.

Namun, sulit untuk membayangkan bagaimana bentuk permukaan blanet. Hal yang pasti, pola orbit blanet akan sangat aneh. Saat mengitari lubang hitam supermasif, blanet akan saling berjauhan dengan blanet lainnya. Jaraknya pun dengan lubang hitamnya akan sangat jauh, bisa mencapai puluhan tahun cahaya.

Jarak yang memisahkan lubang hitam supermasif dengan blanet itu tidak sama seperti jarak Bumi dan Matahari yang hanya berjarak 8 menit cahaya. Sebagai perbandingan lainnya, jarak Matahari ke bintang tetangga terdekatnya, yaitu Alfa Centauri, hanya 4,2 tahun cahaya. Karena itu, jarak yang sangat jauh dari lubang hitam induknya dan jarak yang berjauhan dengan blanet lainnya akan membuat blanet terlihat sebagai obyek tunggal atau sendirian.

Wada menambahkan, hingga kini belum ada cara untuk mengetahui apakah blanet juga mampu menopang kehidupan seperti di Bumi. Jika mengacu pada kehidupan di Bumi, radiasi sinar ultraviolet dan sinar-X yang dipancarakan dari cahaya yang menyelubungi lubang hitam supermasif dan piringan akresinya dipastikan akan membuat kehidupan sulit hidup.

Meski demikian, peluang adanya kehidupan yang mampu menoleransi sinar ultraviolet dan sinar-X serta berbagai hal ekstrem lainnya tetap ada. Waktu yang akan membuktikan, apakah manusia menghuni sendiri semesta yang mahaluas ini atau ada bentuk kehidupan lain yang berbagi kosmos dengan manusia.

Oleh MUCHAMAD ZAID WAHYUDI

Editor: ICHWAN SUSANTO

Sumber: Kompas, 6 Agustus 2020

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Berita ini 9 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:17 WIB

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 16:09 WIB

Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Rabu, 24 April 2024 - 13:06 WIB

Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel

Rabu, 24 April 2024 - 13:01 WIB

Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina

Rabu, 24 April 2024 - 12:57 WIB

Soal Polemik Publikasi Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Minta Semua Pihak Objektif

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB