LIPI Targetkan Enam Obat pada 2030

- Editor

Rabu, 27 Mei 2015

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Jumlah Peneliti Ideal 200.000 Orang
Pada tahun 2030, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menargetkan hasilkan enam obat yang bersumber dari keanekaragaman hayati Indonesia. Target itu dinilai paling realistis mempertimbangkan waktu dan sumber daya, baik dana, sumber daya manusia, maupun teknologi.
“Rinciannya, kami menargetkan ada satu-dua obat biosimilar, dua-tiga obat herbal, dan tiga-empat obat diagnostik,” kata Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan hayati LIPI Enny Sudarmonowati, Selasa (26/5), dalam acara “Peran Pusat Penelitian Biologi LIPI dalam Menggali Keanekaragaman Hayati Indonesia dan Potensinya” di Bogor, Jawa Barat. Acara itu juga memaparkan hasil ekspedisi tim LIPI di Mekongga, Sulawesi Tenggara; Lengguru, Papua Barat; Enggano, Bengkulu; dan Tambora, NTB.

Obat biosimilar merupakan obat yang identik dengan obat- obat yang masa berlaku patennya akan habis. Obat herbal adalah ekstrak bahan herbal dengan pembuatan terstandardisasi. Sementara obat diagnostik berfungsi membantu deteksi dini suatu penyakit.

Enny mengatakan, penetapan target itu mempertimbangkan besarnya investasi yang harus ditanamkan dan waktu yang panjang. Untuk obat biosimilar, misalnya, negara maju saja perlu waktu 8-9 tahun mulai dari eksplorasi hingga menghasilkan obat komersial. Adapun waktu menghasilkan obat herbal relatif singkat, yakni 5 tahun.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Riset menghasilkan obat harus melalui uji toksisitas, praklinis, dan klinis untuk mengetahui mekanisme obat secara benar. Peneliti kimia bahan alam LIPI, Andria Agusta, mengatakan, jika Indonesia menargetkan menghasilkan obat seperti di negara maju, waktu dari eksplorasi hingga selesai uji klinis bisa berkali lipat, jadi puluhan tahun. “Waktu 8-9 tahun tadi dikalikan 2, 3, atau 4, bergantung dari faktor, seperti kondisi perhatian pemerintah dan kelengkapan alat,” katanya.

Andria menyebutkan, salah satu tantangan adalah dana riset di Indonesia yang masih minim sehingga belum bisa membantu percepatan penemuan obat. Berdasarkan data 2013, total belanja penelitian dan pengembangan nasional hanya 0,09 persen dari PDB. Porsi itu sulit naik karena hingga kini dana dari pemerintah tetap jadi tumpuan utama, yakni 70 persen dari belanja litbang, sedangkan kontribusi industri hanya 30 persen (Kompas, 30/4).

Andria mencontohkan, ia sedang meneliti senyawa Episitoskirin A sebagai bahan obat antibakteri dan antikanker. Ia memperkirakan, timnya masih butuh waktu 1-2 tahun untuk menyelesaikan uji praklinis. Untuk mencapai tahap obat jadi, tim masih harus menjalankan uji klinis, yakni mengujicobakan calon obat kepada manusia.

Jika bisa memperoleh dana, uji klinis bisa memakan waktu 5-7 tahun dengan melewati empat tahap. Investasi jelas besar mengingat pada tahap pertama butuh belasan pasien. Tahap akhir harus ada ribuan pasien.

Minim peneliti
Di tengah target itu, jumlah peneliti mulai dari proses eksplorasi hingga penelitian potensi manfaat di Indonesia masih sangat minim. Apalagi jika dibandingkan dengan jumlah sumber daya hayati Tanah Air yang melimpah. Andria mengatakan, dari tumbuhan saja terdapat 7.500 jenis yang secara tradisional diketahui berkhasiat kesehatan.

Enny menuturkan, spesimen koleksi LIPI yang belum tersentuh penelitian potensi manfaat pun masih banyak. Tidak hanya untuk obat, tetapi juga potensi pangan dan energi.

Secara total, LIPI mengoleksi 900.000-an spesimen tumbuhan dan tiga jutaan spesimen hewan. Dari kelompok mikroba, fasilitas Indonesia Culture Collection (Ina-CC) LIPI menyimpan berbagai jenis mikroba, seperti bakteri, kapang, khamir, aktinomisetes, dan mikroalga yang masing-masing 89-725 strain.

Sayangnya, kata Enny, jumlah peneliti di Indonesia, termasuk dosen, hanya 20.000 orang. Dari jumlah itu, yang resmi memegang jabatan fungsional peneliti lebih kurang 9.000 orang.

Kepala Pusat Penelitian Biologi LIPI Witjaksono menambahkan, dengan jumlah penduduk lebih dari 250 juta, Indonesia idealnya punya 200.000 peneliti. Salah satu cara meningkatkan jumlah adalah melonggarkan moratorium penerimaan calon aparatur sipil negara, khusus jabatan peneliti. (JOG)
—————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 Mei 2015, di halaman 14 dengan judul “LIPI Targetkan Enam Obat pada 2030”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel
Seberapa Penting Penghargaan Nobel?
Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024
Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI
Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin
Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Berita ini 7 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:50 WIB

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:46 WIB

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:41 WIB

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:31 WIB

Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:22 WIB

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB