Limit Chandrasekhar Mendasari Evolusi Kehidupan Sebuah Bintang

- Editor

Senin, 13 Maret 2017

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

SEMUA ilmu pengetahuan pada hakekatnya adalah benar. Namun semua tidak pernah lepas dari kelebihan dan kekurangan. Tanggapan terhadap artikel Siklus Bintang dan Limit Chandrasekhar tulisan saudara Sandi Setiawan yan dimuat Kompas Minggu, 2 Desember 1992, ini bukan dimaksudkan untuk menyalahkan artikel tersebut, tetapi untuk melengkapi, agar pengetahuan masyarakat tentang Limit Chandrasekhar dan siklus (evolusi kehidupan) bintang akan lebih tepat dan lengkap, meski masih jauh dari sempurna.

Kabut antar bintang
Menurut para astronom; bintang di langit yang jumlahnya milyaran itu diduga berasal dari sebuah kabut antar bintang (interstellar-cloud) yang mengelompok dan mengerut. Pengerutan kabut gas ini terjadi akibat adanya initeraksi gravitasi partikel gas tersebut. Pada proses pengerutan, sebagian energi potensial gravitasi dilancarkan sebagai radiasi dan seagian lainnya diubah menjadi energi kinetik atau energi panas. Jadi gumpalan kabut gas menjadi makin panas dan bercahaya. Bila massa gas itu cukup besar, akhirnya temperatur pusat bintang menjadi cukup besar untuk menghentikan pengerutan.

Bila bintang berkurang bahan bakamya yang berupa hidrogen cair di pusat bintang, maka tekanan di dalampun berkurang. Akibatnya, tekanan ini tida mampu lagi melawan berat lapisan luar bintang, sehingga bintang akan mengerut. Garis tengah bintangpun mengecil dan rapat massanya membesar. Makin kecil bintang itu makin berat lapisan luarnya karena tarikan gravitasi dan materi di sebelah alam menjadi semakin kuat (gaya tarik gravitasi berbanding terbalik dengan kuadrat jaraknya).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Yang jadi persoalan sekarang, apaka suatu bintang akan mengerut terus-menerus bila bahan bakarnya habis?

Tekanan Degenerasi
Di dalam bintang, temperatur sedemikian tinggi hingga semua atom terdapat dalam keadaan terionisasi (bermuatan listrik). Jadi dalam bintang terdapat inti-inti atom dan elektron bebas. Pada tahun 1926, Enrico Fermi seorang pionir fisika nuklir AS mengemukakan teori statistik kuantumnya.

Teori Fermi ini didasarkan pada hukum larang Wolfgang Pauli (Pauli’s exclusion principle) yang menyatakan: “Dalam sebuah atom tidak mungkin ada dua electron dengan arah spin dan kecepatan gerak yang sama, mempunyai bilangan kuantum dengan nilai yang sama. Dua elektron tersebut juga tidak dapat menempati suatu ruangan tertentu secara bersama-sama.” Jadi dapat dibayangkan seolah-olah electron itu dikelilingi dinding yang tidak tampak. Elektron lain yang serupa (mempunyai spin dan kecepatan yang sama) tak mungkin menerobos dinding itu. Namun dinding itu dapat menciut bila kecepatan dari elektron-elektron itu diperbesar.

Karena adanya dinding itu,elektron-elektron tidak dapat dihimpit begitu saja. Timbul persoalan pembagian tempat bagi electron-elektron itu. Selama kerapatana gas rendah tidak ada persoalan teknis, tetapi kalau kerapatan gas semakin tinggi, maka elektron akan semakin bertambah banyak. Padahal ruangan yang tersedia bagi elektron sangat terbatas. Akibatnya mereka dipaksa untuk melanggar larangan Pauli, yang menyebabkan elektron-elektron saling tumpang-tindih mengisi tingkat energi tinggi (pada ruangan yang sempit). Gas dalam keadaan demikian disebut dengan gas yang terdegenerasi.

Percobaan untuk menghimpit elektron-elektron akan dilawan oleh tekanan yang besar. Sejumlah elektron akan bergerak dengan kecepatan tinggi untuk menciutkan batas dindingnya. Kecepatan yang lebih tinggi pula yang dikenal dengan ‘tekanan degenerasi’. Tekanan degenerasi ini akan mampu melawan gaya gravitasi.

Limit Chandrasekhar
Seorang ahli astrofisika AS kelahiran India, Subrahmanyan Chandrasekhar, menghitung: Bila massa suatu bintang kurang dari 1,44 massa matahari, maka tekanan degenerasi elektron akan mampu mengerem pengerutan bintang. Bintang akan berhenti mengerut dan menjadi stabil. Bintang-bintang sejenis ini akan menjadi bintang Katai Putih (white dwarf). Karena bintang sejenis ini sudah tidak mempunyai sumber tenaga lagi, maka bintang ini akan mendingin. Akhirnya bintang itu akan menjadi bintang Katai Gelap (black dwarf), yang akhirnya tidak terlihat lagi.

Namun sebaliknya apa yang terjadi jika massa bintang itu lebih besar dari limit Chandrasekhar? Tekanan degenerasi electron tidak mampu mengerem pengerutan bintang. Pengerutan akan berlangsung terus, dan pada rapat massa yang tinggi itu akan terjadi neutronisasi inti atom. Inti atom bertambah kaya akan neutron. Jumlah neutron bebas itu pada akhirnya mempunyai sifat seperti elektron yang terdegenerasi. Bila massa bintang itu tidak terlalu besar, tekanan degenerasi elektron akan mampu menahan pengerutan bintang lebih lanjut. Bintang akan stabil dan menjadi bintang neutron.

Pada waktu itu limit massa di atas, dimana tekanan degenerasi neutron tidak mampu lagi menahan pengerutan, belum diketahui secara pasti. Baru pada tahun 1972 dua fisikawan AS, Ruffini dan Rhoades, dengan menggunakan teori relativitas umum Einstein, dan prinsip Kausalitas, menurunkan bahwa massa itu harus di bawah 3,2 massa matahari. Dengan kata lain, kalau sebuah bintang mampat mempunyai massa lebih besar dari 3,2 massa matahari, maka bintang mampat itu pasti bukan bintang Katai Putih atau bintang Neutron, Bintang itu pastilah sebuah ‘Lubang Hitam’(Black Hole).

Diameter Black Hole rata-rata 10 km, tetapi didalamnya terkandung materi sebanyak yang ada pada matahari. Di samping itu, karena medan gravitasinya yang sangat kuat, semua materi (termasuk cahaya) tidak bisa lepas dari permukaann. Akibatnya cahaya yang dipancarkan black hole tidak pernah sampai ke bumi. Semua materi dan cahaya yang lewat disekitar radius daerah bahaya singularitas Schawarzchild itu juga akan tersedot dan ditelannya.

Seandainya saja matahari dapat berubah menjadi black hole dengan jari-jari 6 km saja (jari-jari matahari 6.890.000 km), maka black hole tersebut akan mampu menyedot dan menelan bumi beserta planet-planetnya dalam tata surya kita. Tapi matahari tak akan menjadi black hole, karena massa matahan tidak melebihi batas terjadinya penghamburan materi, yaitu 1,44 kali massa matahari yang dikenal sebagai limit Chandrasekhar). Yang mungkin matahari menjadi sebuah bintang Katai Putih.

Para astronom bisa mengetahui adanya black hole di jagad raya ini melalui efek yang berpengaruh pada bintang di sekitarnya. Misalnya saja, beberapa tahun lalu dua astronom dari Ohio University, Bradly-Peterson berhasil melihat proses black hole menyeret sebuah bintang yang massanya lebih besar masuk ke radius Schawarzchild dan menelannya. Hal ini dapat dibuktikan dengan ditemukannya sejumlah gas hidrogen dan helium di dekat radius bahaya black hole (horizon event of black hole). Tentang nasib bintang yang ditelan black hole tersebut, para astronom belum mampu menerangkan secara gamblang, karena pengertian mereka tentang konsep materi masih belum cukup untuk menjelaskannya.

Bintang meledak
Dalam astronomi, bintangi-bintang yang bermassa besar (lebih dari 10 kali massa matahari) diharapkan akan meledak pada tahap akhir evolusi kehidupannya. Ledakan bintang (Supernova) itu terjadi karena dalam pusat bintang terjadi ketidakseimbangan. Akibat peristiwa penangkapan elektron dan pemancaran neutron, tekanan dalam bintang turun drastis. Dengan demikian pusat bintang runtuh kedalam dengan dahsyat, sedang bagian luar akan terlempar keluar(sentrifugal), dan pusat bintang yang runtuh menjadi sangat mampat.

Pada lahun 1934, dua astronom AS, Baade dan Fritz Zwicky, mengedepankan bahwa sisa bintang meledak(supernova) mungkm berupa bintang neutron. Hal ini didasarkan pada perhitungan fisis sederhana. Kalau sebuah bintang yang radiusnya tinggal puluhan kilo, maka energi potensial gravitasinya
yang bebas ternyata sama besarnya dengan energi yang dipancarkan oleh suatu ledakan supernova. Pada waktu itu teori Baade dan Zwicky dianggap suatu spekulasi dibidang astronomi.

Tetapi 35 tahun kemudian, 1967, orang benar-benar menemukan sebuah bintang berdenyut ‘Pulsar’ (Pulsating radio sourch) di Kabut Kepiting (Crab Nebula) yang merupakan bekas atau sisa bintang meledak itu. Ada juga pulsar lain yang ditemukan pada sisa supernova yaitu di rasi Vela. Diperkirakan ledakan supernova itu terjadi puluhan ribu tahun lalu.

Perhitungan hidrodinamika dengan bantuan komputer yang dilakukan Colgate dkk, menunjukkan pada saat ledakan supernova, bagian dalam bintang runtuh ke dalam membentuk bintang Neutron atau bahkan Black hole, sedang bagian luar bintang terlontar jauh, dan terlihat sebagai Kabut sisa ledakan bintang.

Pulsar
Sebagaimana telah disebutkan, obyek pulsar sebenarnya terbentuk dari sisa ledakan bintang (supernova) yang amat padat massanya. Menurut Dr. Wallalce Sargent dari Caltech dan Prof. Alec Boksenberg dari Universitas Collage, diameter pulsar ini diperkirakan hanya 15 km saja. Obyek ini berputar sangat cepat, periodik dan memancarkan radiasi sinar X serta gelombang radio secara kontinyu.

Menurut Sargen-Boksenberg sinyal-sinyal gelombang radio ini berasal dari kerucut radiasi energi tinggi yang berputar sangat cepat bersamaan dengan bintang itu. Energi yang dilepas pulsar tersebut menyebabkan tingkat rotasi bintang menurun, sinyal teratur, namun menanjak periodenya.

Hingga kini sudah ratusan pulsar yang telah ditemukan para astronom, namun pulsar yang paling menarik dan mengejutkan dunia astronomi adalah pulsar JP-1953 yang terdapat di konstelasi Cygnus. Mengapa? Karena tampanya setelah diamati tidak ada penurunan rotasi yang dapat dideteksi. Hal ini berarti pulsar tersebut merupakan obyek yang sangat tua sekali umurnya.

Diperkirakan umur pulsar ini sekitar 45 ribu juta tahun yang berarti ia lebih tua daripada sebagian besar alam semesta kita ini sebelumnya. Sekiranya analisis ini benar, maka pulsar JP-1953 berhasil survive menghadapi ledakan dahsyat dan bola api primordial (big bang) yang menyertai penciptaan alam semesta. Dalam model-model yang dikalkulasikan itu –yang paling sederhana dari peristiwa big bang– semua materi seharusnya kehilangan identitasnya.

(Amien Nugroho, peminat astronomi)

Sumber: Kompas, Desember 1992 – Januari 1993

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Gelombang Radio
Berita ini 41 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB