Simulasi oleh para peneliti memprediksi iklim di belahan Bumi bagian selatan, seperti Afrika dan India, relatif terlindung dengan pendinginan suhu tidak mencapai lebih dari 4 derajat celsius.
Letusan dahsyat supervolcano Toba di Sumatera 74.000 tahun lalu menyebabkan gangguan iklim parah di banyak wilayah di dunia. Namun, hasil studi terbaru menunjukkan dampak dari letusan gunung Toba tidak memengaruhi iklim secara signifikan di wilayah tempat tinggal manusia purba. Peneliti pun memperkirakan manusia purba bisa bertahan hidup dan selamat dari dampak letusan Toba tersebut.
Letusan super-Toba adalah letusan gunung berapi terbesar dalam 2 juta tahun terakhir. Para ahli vulkanologi memperkirakan, saat meletus, Toba mengeluarkan 720 hingga 1.300 mil kubik magma dan abu vulkanik mencapai 25 mil atau 40.225 kilometer.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Letusan juga menyebabkan perubahan cuaca ekstrem dan membuat suhu Bumi turun drastis selama satu dekade. Perubahan suhu tersebut diperkirakan membunuh sebagian besar tanaman dan makhluk hidup di Bumi, termasuk manusia purba.
Akan tetapi, hasil studi terbaru tentang gangguan iklim global setelah letusan super-Toba menunjukkan terdapat beberapa wilayah yang tidak mengalami perubahan cuaca ekstrem. Studi bersama para peneliti vulkanologi dari sejumlah universitas ternama tersebut terbit di jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences, 5 Juli 2021.
Asisten profesor di Departemen Ilmu Bumi dan Planet di Rutgers University-New Brunswick, Amerika Serikat, Benjamin Black, menyampaikan, beberapa catatan arkeologi dan paleoklimatologi dari Afrika tidak menunjukkan adanya dampak signifikan dari letusan Toba. Para peneliti kemudian menggunakan sejumlah simulasi model iklim untuk mengetahui dampak letusan tersebut.
Penelitian ini menganalisis 42 simulasi model iklim global dengan sejumlah parameter, seperti besarnya emisi belerang, waktu tahun letusan, latar belakang keadaan iklim setempat, dan ketinggian injeksi belerang. Pendekatan ini memungkinkan tim peneliti menjelaskan beberapa hal yang tidak diketahui terkait dengan letusan.
”Penggunaan pendekatan probabilistik ini bertujuan untuk memahami kemungkinan adanya beberapa daerah yang tidak terlalu terpengaruh oleh letusan Toba. Aspek yang mendasari penggunaan pendekatan ini salah satunya karena kurangnya pengetahuan kami tentang keadaan iklim,” ujar Benjamin yang merupakan penulis utama studi tersebut dikutip dari situs resmi Rutgers University, Senin (12/7/2021).
Dari hasil simulasi dan pendekatan tersebut, diperkirakan terjadi variasi perubahan iklim yang signifikan di setiap regional setelah terjadi letusan Toba. Simulasi memprediksi iklim di belahan Bumi bagian selatan, seperti Afrika dan India, relatif terlindung dengan pendinginan suhu tidak mencapai lebih dari 4 derajat celsius.
Wilayah belahan Bumi selatan merupakan tempat manusia purba hidup di zaman tersebut. Para peneliti memandang, tidak terjadinya perubahan suhu dingin yang ekstrem akibat letusan Toba di wilayah tersebut membuat manusia purba mampu bertahan hidup.
Sebaliknya, wilayah bagian Bumi utara, seperti Amerika Utara, Eropa, dan Asia, mengalami pendinginan suhu lebih dari 4 derajat celsius. Bahkan, pendinginan suhu di tingkat regional dapat mencapai 10 derajat celsius.
Namun, Benjamin menyarankan agar mengevaluasi dan melakukan penelitian lanjutan terkait efek letusan Toba pada populasi manusia purba di wilayah bagian Bumi utara. Sebab, hasil penelitian telah mengungkap bahwa manusia purba Neanderthal dan Denisovans juga tinggal di kawasan yang saat ini masuk wilayah Eropa dan Asia.
Letusan eksplosif lain
Para peneliti mencatat, pendekatan simulasi iklim ini dapat digunakan untuk lebih memahami letusan eksplosif masa lalu dan masa depan lainnya. Di sisi lain, temuan dalam studi ini tidak hanya dapat memberikan analisis tambahan tentang dampak letusan Toba, tetapi juga membantu mengurangi risiko dari letusan gunung berapi.
”Kami tidak hanya melakukan analisis forensik dampak letusan Toba, tetapi juga memahami ketidakrataan efek letusan yang sangat besar pada masyarakat saat ini. Pada akhirnya, studi ini akan membantu mengurangi bahaya lingkungan dan sosial dari letusan gunung berapi di masa depan,” ujar Anja Schmidt, peneliti dan pengajar vulkanologi di University of Cambridge, Inggris, dilansir dari Daily Mail.
Oleh PRADIPTA PANDU
Editor: ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 12 Juli 2021