Lautan di Kutub Utara yang selama ini identik dengan zona terkucil nan dingin ternyata memiliki koragaman mikroorganisme sangat tinggi. Sekitar 200.000 virus telah ditemukan di lautan global, sebanyak 42 persen di antaranya hanya ada di Kutub Utara. Kabar baiknya, virus ini kebanyakan menyerang bakteri, bukan manusia.
Data ini diperoleh dari ekspedisi Tara Oceans, yang dilakukan sejumlah peneliti dari kurun 2009 hingga 2013, seperti dilaporkan di jurnal Cell edisi Kamis (25/4/2019). Selama penelitian ini, telah dikumpulkan 145 sampel air dari berbagai lokasi di seluruh dunia, pada kedalaman air dari 0 hingga 4.000 meter. Para ilmuwan mengumpulkan berbagai organisme, mulai dari telur ikan hingga virus.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Virus yang ditemukan kemudian diisolasi dan dibandingkan secara genetik. Para peneliti mengidentifikasi 195.728 spesies virus dan mengklasifikasikannya menjadi lima wilayah global yang merupakan rumah bagi komunitas virus yang berbeda. Keragaman tertinggi ditemukan di perairan dangkal, sedang, dan tropis, diikuti oleh perairan Arktik.
Kebanyakan virus yang ditemukan ini adalah kategori bacteriophages, yang menyerang bakteri, bukan manusia. “Jadi Anda bisa berenang di lautan dan tidak khawatir tentang itu,” kata Ahmed Zayed, ahli mikrobiologi di Ohio State University, yang turut dalam kajian ini, seperti dikutip sciencenews.
Bacteriophages dan dan virus lainnya telah membunuh sekitar 20 persen bakteri di lautan setiap hari. Proses itu mencegah karbon yang ada dalam bakteri masuk ke rantai makanan, dan sebagai gantinya melepaskan karbon kembali ke laut untuk mikroorganisme lainnya. Beberapa spesies di antaranya juga mengkonsumsi karbon dioksida. Mikroba ini pada akhirnya menghasilkan bentuk karbon yang tidak dapat didaur ulang dan tetap disimpan di laut.
Kajian ini juga menemukan, virus dapat berperan penting dalam mencegah perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia karena secara tidak langsung memerangkap karbon. Sebelumnya keberadaan virus di lautan ini jarang dimasukkan dalam simulasi iklim.–AHMAD ARIF
Editor YOVITA ARIKA
Sumber: Kompas, 27 April 2019